Menuju konten utama

Polisi Virtual Memicu Warganet Semakin Takut Berkomentar

Ketakutan warganet menyuarakan pendapat diprediksi semakin memuncak lewat polisi virtual.

Polisi Virtual Memicu Warganet Semakin Takut Berkomentar
Ilustrasi Influencer. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Polisi virtual mulai berjalan pekan lalu. Pendekatan baru dari kepolisian didasari Surat Edaran nomor SE/2/11/2021 yang diteken oleh Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo. Tugas mereka adalah mengingatkan warganet ketika unggahannya berpotensi melanggar Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Namun kerja polisi virtual disanksikan efektivitasnya. Wakil Koordinator II Kontras Rivanlee Anandar berpendapat Polri perlu transparan terhadap kinerja polisi virtual. Selama ini publik belum diberi tahu mengenai prosedur pemantauan. Dalam pelaksanaannya, perlu dijelaskan pula komposisi personel yang bekerja. Lalu berkaitan penilaian sebuah konten, apa saja parameternya. Tanpa transparansi, bisa saja polisi melebihi kewenangan dengan menghakimi warganet.

"Negara sebisa mungkin menahan diri untuk menjatuhkan sanksi atas kebebasan berekspresi karena itu berdampak pada demokrasi dan HAM secara lebih luas," kata pengurus Kontras, Rivanlee kepada Tirto, Jumat (26/2/2021).

Kendati ada syarat yang perlu diterapkan polisi virtual, keberadaannya sebetulnya tidak diperlukan. Karena dengan pengawasan media sosial oleh polisi virtual, Rivan menilai masyarakat semakin takut berpendapat di media sosial.

Dalam beberapa survei menunjukkan masyarakat takut berkomentar di media sosial. Survei Komnas HAM pada Juli-Agustus 2020, ada 29 persen responden mengaku takut mengkritik pemerintah, 36,2 persen responden takut menyampaikan kritik lewat internet. Profil responden yang takut melebar hingga kalangan akademisi. Survei serupa dari Indikator Politik Indonesia periode 24-30 September 2020 memaparkan 69,6 persen responden menyatakan setuju atau sangat setuju bahwa sekarang warga makin takut menyatakan pendapat.

"Keberadaan virtual police justru ironis karena ketakutan berkomentar disambut dengan pemantauan oleh negara yang akan mengakibatkan orang semakin enggan untuk berkomentar," ujar Rivan.

Munculnya polisi virtual bertepatan dengan wacana revisi UU ITE yang digulirkan oleh Presiden Joko Widodo pada 15 Februari 2021. Pekan lalu polisi mencatat 12 peringatan telah dilayangkan kepada warganet. Jumlahnya mungkin bertambah hingga awal pekan ini.

Ketua Program Studi Magister Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada, Novi Kurnia mengharuskan polisi virtual menjaga netralitas, objektivitas dan keadilan. Ia mengingatkan agar polisi virtual tidak terus-menerus mengintervensi kehidupan sosial masyarakat secara digital. Masyarakat punya hak bersuara yang harus dipahami oleh kepolisian.

"Modelnya ini 'kan sistem peringatan, apakah dalam prosesnya mendapatkan hak baik sebelum dan sesudah dimonitor," kata Novi, melansir Antara.

Ia menambahkan polisi virtual harus tetap memperhatikan sejumlah aspek dalam pelaksanaannya, mulai dari posisi, proses, transparansi, perlindungan data diri, hak pengguna digital, hingga kolaborasi moderasi konten.

Polisi Virtual untuk Bersihkan Dunia Maya

Peringatan dari Polri, tidak hanya dilakukan oleh jajaran di level pusat, kepolisian daerah juga berpatroli. Salah satu penerima pesan polisi virtual berada di Jawa Timur. Salah satu akun Instagram dikirimi pesan oleh Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Jawa Timur. Isi pesan yakni "Kami dari Ditreskrimsus. Akun atau postingan Anda, diduga melanggar UU ITE. Kami sarankan untuk menghapus postingan saudara. Terima kasih".

Praktik ini dinilai oleh Komisi Kepolisian Nasional, lembaga yang dibentuk mengawasi Polri, sebagai langkah baik demi pencegahan. Juru bicara Kompolnas, Poengky Indarti menegaskan sangat mendukung Polri melakukan tindakan pencegahan melalui polisi virtual dan patroli siber sebagai cara mengedukasi publik. Realitas saat ini masyarakat saling mengadu dengan UU ITE. Untuk itu, cara baru polisi mengawasi media sosial, menurut Kompolnas bisa menambah pemahaman masyarakat terhadap UU ITE dan menekan jumlah konflik serta pelaporan.

“Selain polisi virtual, saya berharap Binmas melalui Bhabinkamtibmas juga dapat dilibatkan untuk mengedukasi masyarakat, tapi tentu saja Bhabinkamtibmas harus diberikan penguatan sebelum ditugaskan membantu edukasi,” kata dia ketika dihubungi Tirto, Kamis (25/2).

Kepala Divisi Humas Polri Irjen Pol Argo Yuwono mengklaim patroli di media sosial agar dunia digital bersih, sehat dan produktif. Polisi virtual akan mengedukasi dan mengimbau pengunggah konten di media massa. Jika ada unggahan terindikasi melanggar pidana. Maka konten itu harus segera dihapus dalam 1x24 jam.

Baca juga artikel terkait POLISI VIRTUAL atau tulisan lainnya dari Mohammad Bernie

tirto.id - Hukum
Reporter: Mohammad Bernie & Adi Briantika
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Zakki Amali