Menuju konten utama

Polisi Menjabat di Luar Struktur Polri Perlu Pengawasan Ketat

Pengangkatan pejabat tinggi kepolisian di luar struktur Polri perlu dibarengi dengan pengawasan berlapis dari warga.

Polisi Menjabat di Luar Struktur Polri Perlu Pengawasan Ketat
Calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri menjalani uji kepatutan dan kelayakan di ruang rapat Komisi III DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (12/9/2019). ANTARA FOTO/Nova Wahyudi/ama.

tirto.id - Cukup banyak pejabat tinggi (pati) Polri yang duduk di luar struktur kepolisian selama pemerintahan Jokowi. Contoh terbaru adalah Firli Bahuri, yang pada Jumat (13/9) kemarin dipilih secara aklamasi menjadi Ketua KPK periode 2019-2023 oleh Komisi III DPR. Berdasarkan hasil voting, Firli meraup 56 suara, mengalahkan sembilan peserta fit and proper test lainnya.

Karier Firli di kepolisian menanjak dalam 10 tahun terakhir. Pada 2010, misalnya, ia diangkat menjadi Asisten Sekretaris Pribadi (Sespri) Presiden, setelah sebelumnya menjabat Wakapolres Jakarta Pusat. Dua tahun kemudian, usai menunaikan tugasnya di Polda Jateng, Firli dikirim ke Istana sebagai ajudan Boediono, Wakil Presiden kala itu.

Dari Istana, Firli kemudian duduk di kursi Wakapolda Banten, Kepala Biro Pengendalian Operasi Staf Operasi Polri, Wakapolda Jateng, Kapolda NTB, hingga akhirnya Deputi Penindakan KPK. Beberapa bulan yang lalu, Firli ditarik Polri untuk ditugaskan di Sumatera Selatan, menempati posisi Kapolda.

Kendati begitu, rekam jejak Firli tak lepas dari kontroversi. Kala menjabat sebagai deputi di KPK, Firli diduga melakukan pelanggaran etik yang berat, yakni bertemu Tuan Guru Bajang (TGB) Zainul Majdi yang tengah diperiksa KPK sehubungan kasus Newmont.

Menyusul Kawannya yang Lain

Firli bukan pejabat kepolisian pertama yang duduk di luar struktur Polri. Contoh lainnya adalah Setyo Wasisto yang diangkat sebagai Inspektur Jenderal (Irjen) Kementerian Perindustrian pada akhir 2018 kemarin.

Sebelum dilantik, Setyo merupakan Kadiv Humas Mabes Polri. Ia ditunjuk menggantikan Haris Munandar lewat Surat Keputusan Menperin tertanggal 2 November 2018.

“Tentunya ini merupakan suatu tugas baru dan saya harus menyesuaikan diri secepatnya. Ada budaya organisasi yang baru,” jelas Setyo, usai pelantikan. Ia menambahkan bakal berfokus pada pengawasan rencana kerja dan kegiatan di tiap direktorat di Kemenperin.

Dalam sambutannya, Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto menilai posisi Inspektur Jenderal sebagai jabatan strategis di internal Kemenperin. Sebab, kata Airlangga, jabatan itu memiliki tanggung jawab dalam pengawasan dan pengawalan program pemerintah di sektor perindustrian—terutama objek vital nasional serta kawasan industri strategis.

Sekitar delapan bulan sebelum Setyo dilantik, Presiden Joko Widodo mengangkat Heru Winarko untuk menjabat sebagai Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN), menggantikan Budi Waseso. Heru diangkat berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 14 Tahun 2018 tentang Pemberhentian dan Pengangkatan Kepala BNN.

Jokowi menyatakan Heru dipilih karena faktor integritas. Harapannya, di bawah komando Heru, BNN menjadi "lembaga yang lebih profesional dari sebelumnya". Heru merupakan lulusan Akademi Kepolisian 1985 yang pernah menjabat di Mabes Polri, Kemenko Polhukam, hingga KPK—sebagai Deputi Penindakan.

“Yang paling penting dari sisi integritasnya. Karena peredaran narkoba, duitnya gede sekali, omzetnya gede sekali, gampang menggoda orang untuk berbuat tidak baik,” terang Jokowi.

Masih di tahun yang sama, kompatriot Setyo dan Heru, Syafruddin, juga ditunjuk untuk menduduki pos di luar struktur kepolisian. Tak tanggung-tanggung, jabatan yang ia emban adalah Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB).

Syafruddin diangkat berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 142 Tahun 2018. Ia menggantikan Asman Abnur yang mengundurkan diri setelah PAN, partai tempatnya bernaung, tidak tergabung dalam koalisi Jokowi.

Sebelumnya, Syafruddin adalah Wakapolri. Pangkat terakhirnya yaitu komisaris jenderal. Usai diangkat, Syafruddin langsung mengundurkan diri dari Trunojoyo, walaupun masa baktinya masih tersisa sampai Mei 2019.

“Kemarin, Pak Wakapolri sudah melayangkan surat pengunduran diri selaku anggota Polri dan otomatis juga jabatan sudah tidak melekat di beliau,” ungkap Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Pol M. Iqbal. “Otomatis untuk memenuhi persyaratan itu [menjadi Menteri PAN-RB] beliau harus mengundurkan diri. Itu mekanisme yang berlaku di kepolisian.”

Empat tahun silam, ada nama Budi Waseso yang dipilih menjadi Kepala BNN. Ia menjabat selama tiga tahun. Usai masa kerjanya di BNN selesai, Buwas, sapaannya, diangkat sebagai Direktur Utama (Dirut) Badan Usaha Logistik (Bulog) serta Ketua Kwartir Nasional (Kwarnas) Pramuka. Pangkat terakhirnya di kepolisian ialah komisaris jenderal.

Saat menjabat sebagai Kepala BNN, Buwas dikenal sering mengeluarkan pernyataan kontroversial. Ia, misalnya, memerintahkan untuk menembak mati para pengedar narkoba, seperti yang dilakukan Rodrigo Duterte di Filipina. Selain itu, Buwas juga pernah mengusulkan agar lapas dijaga oleh buaya.

“Penanganan tindak pidana luar biasa tidak bisa biasa saja. Pengendalian narkoba itu dilakukan dari dalam lapas. Narkotika kejahatan luar biasa dan uangnya luar biasa. Kalau yang jaga buaya, saya membuat konsep itu tidak main main. Itu bukan kewenangan saya. Tapi, cara saya membantu membuat inovasi,” terang Buwas. “Saya lebih gila dari Duterte. Tapi, saya tidak punya kewenangan untuk itu.”

Pada 2015, Ronny Sompie ditunjuk oleh Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly untuk menduduki kursi Direktur Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM. Semasa masih aktif di kepolisian, Ronny pernah menjabat sebagai Kapolda Bali dan Kadiv Humas Mabes Polri.

Ada pula Suhardi Alius, yang oleh Jokowi dilantik menjadi Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Ia menggantikan Tito Karnavian yang naik jabatan sebagai Kapolri. Ia pernah mengisi pos Kabareskrim dan Sekretaris Utama Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas).

Infografik Polisi Hijrah Jabatan

Infografik Polisi Hijrah Jabatan. tirto.id/Quita

Boleh dan Ada Aturannya, tapi…

Dalam Undang-Undang Nomor Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (PDF), terutama di Pasal 28 ayat (3), telah disebutkan bahwa anggota Polri dapat menduduki jabatan di luar struktur kepolisian.

Ketentuan tersebut dipertegas lagi di Peraturan Kepala (Perkap) Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2017 tentang Penugasan Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia di Luar Struktur Organisasi Kepolisian Negara Republik Indonesia (PDF). Para pejabat Polri, menurut Pasal 5, bisa menempati kementerian, lembaga, badan, atau komisi.

Untuk menjabat di luar kepolisian, terdapat mekanisme yang mesti ditempuh, seperti yang termaktub dalam Pasal 19. Mekanisme itu antara lain surat permohonan dari instansi atau lembaga terkait, sebelum akhirnya dilanjutkan dengan uji kompetensi dan diputuskan lewat sidang Dewan Pertimbangan Karier.

Ada setidaknya lima prinsip yang harus diperhatikan ketika ingin menempatkan pejabat Polri di luar struktur kepolisian: legalitas, selektif prioritas, objektif, profesional, dan kerja sama. Kelima prinsip ini wajib dipegang teguh, terutama oleh internal kepolisian.

Tapi, masalahnya, internal kepolisian sendiri kadang tak konsisten dalam memenuhi prinsip-prinsip yang sudah diputuskan oleh regulasi. Soal profesionalitas, misalnya. Beberapa nama pati yang ditunjuk untuk menempati jabatan di luar kepolisian seringkali tak punya kompetensi sesuai bidangnya.

Ini terlihat jelas dalam kasus Syafruddin (Menpan-RAB), Buwas (Kepala Bulog), serta Setyo (Irjen Kemenperin). Ketiga jabatan tersebut, sebetulnya, bisa ditempati oleh orang-orang dari kelompok sipil yang punya kemampuan mumpuni, yang cocok dengan latar belakangnya.

Menunjuk ketiga nama itu, untuk menempati posisi yang butuh pemahaman luas terhadap isu yang dihadapi, adalah sebuah perjudian yang cukup besar. Kinerja ketiganya berpotensi tak maksimal karena mereka tak tangkas dan cakap dalam mengatasi permasalahan di lembaga yang dipimpinnya sebab tak punya latar belakang yang relevan.

Kuncinya adalah Pengawasan

Wakil Direktur Imparsial, yang juga fokus pada isu reformasi di tubuh Polri, Ghufron Mabruri, menyatakan bahwa sekalipun penempatan para pati di luar pos Polri sudah diatur dalam undang-undang, tapi ada tiga aspek lain yang harus diperhatikan.

“Integritas, rekam jejak, dan kompetensi,” ujarnya saat dihubungi Tirto Minggu (16/9) malam. “Tiga faktor itu jadi faktor yang penting, yang menentukan apakah para pejabat di Polri layak untuk menempati jabatan di luar struktur.”

Sayangnya, sekali lagi, faktor-faktor itu kurang didengarkan pansel capim KPK dan DPR ketika meloloskan nama Firli. Rekam jejak serta integritas Firli yang diduga terjerat kasus pelanggaran etik nyaris tak berpengaruh terhadap penilaian. Firli tetap lolos dan akhirnya ditetapkan sebagai ketua baru KPK.

Integritas dan rekam jejak yang buruk itu seperti merepresentasikan kinerja kepolisian. Data dari Lokataru Foundation, yang dihimpun dari 2016 sampai 2019, menyebut ada tiga hal yang disorot dalam kinerja Polri.

“Yaitu penanganan kasus pelanggaran hukum, penetapan kebijakan yang berpotensi mengancam kebebasan sipil, serta keterlibatan [polisi] dalam aksi-aksi kekerasan terhadap warga,” ungkap Anis Fuadah, peneliti Lokataru.

Dalam penanganan kasus pelanggaran hukum, ambil contoh, Lokataru mencatat ada 790 peristiwa kekerasan oleh polisi selama periode Juni 2016-Mei 2017. Jumlah itu melonjak dibandingkan periode 2015-2016. Ratusan peristiwa kekerasan itu menyebabkan 1.096 orang terluka, 268 orang meninggal dunia, 2.255 ditahan, dan 95 orang mengalami tindakan lainnya.

Lokataru juga mengkritik insiden 182 extrajudicial killing akibat operasi penegakan hukum jelang Asian Games 2018 digelar. Tercatat ada 236 korban tembak di tempat dan 73 kasus penyiksaan yang diterapkan saat investigasi atau ketika hukuman berjalan.

Ini belum soal keterlibatan Polri dalam konflik agraria di mana, menurut laporan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), mereka menjadi aktor kekerasan terhadap warga di 28 kasus—dari total 659 pada 2017.

Temuan serupa turut pula dikeluarkan oleh Ombudsman RI. Laporan yang masuk ke meja lembaga pengawas ini, dari Januari hingga Agustus 2019, memperlihatkan kepolisian menjadi pihak yang kinerjanya sering dikeluhkan.

“Sampai dengan Senin lalu, pengaduan yang masuk ke kita sekitar 7.000, [sementara] tiap tahunnya [ada] 10.000. Terbanyak pengaduan terkait pertanahan, kedua polisi. Polisi banyak diadukan, karena polisi setiap hari berinteraksi dengan masyarakat, baik di lalu lintas, pengungkapkan kasus, atau juga perlakuan semena-mena,” jelas Alvin Lie, salah satu anggota Ombudsman, pada 22 Agustus silam.

Data-data di atas menunjukkan betapa para petinggi di Polri belum bekerja secara proporsional. Bila kemampuan mereka di institusinya sendiri saja tidak maksimal, dan cenderung berdampak negatif bagi kepentingan orang banyak, lantas bagaimana ketika mereka memimpin lembaga di luar strukturnya?

“Pandangan publik terhadap kepolisian seharusnya bisa jadi pertimbangan presiden dan juga DPR ketika mengangkat pejabat kepolisian di pos-pos di luar struktur,” terang Ghufron.

Ghufron menambahkan mekanisme pengawasan berlapis perlu diupayakan guna menjaga para pejabat kepolisian ini bekerja di lembaga maupun instansi pemerintahan lainnya. Tujuannya agar kinerja mereka tetap profesional dan jauh dari penyelewengan kekuasaan.

Mengangkat para pati kepolisian untuk pos-pos di luar struktur Polri tidak menjadi masalah selama relevan dengan tugas, pokok, dan fungsi Polri itu sendiri: penegakan hukum. Seperti yang terjadi, misalnya, pada pos BNN maupun BNPT.

Namun, ketika pengangkatan itu justru salah sasaran dan mengangkangi prinsip-prinsip tertulis dalam aturan, “reformasi” seolah tak bermakna lagi. Dan ini terjadi pada kasus Firli.

Baca juga artikel terkait POLRI atau tulisan lainnya dari Faisal Irfani

tirto.id - Hukum
Penulis: Faisal Irfani
Editor: Windu Jusuf