Menuju konten utama

Polisi & Jaksa Tak Paham UU KDRT di Kasus Istri Marahi Suami Mabuk

Komnas Perempuan menilai polisi & jaksa tak paham penggunaan UU Penghapusan KDRT karena mengriminaliasi perempuan korban KDRT.

Polisi & Jaksa Tak Paham UU KDRT di Kasus Istri Marahi Suami Mabuk
Ilustrasi KDRT. foto/istockphoto

tirto.id - Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyesalkan tindakan aparat penegak hukum yang melakukan proses pidana terhadap V, warga Karawang yang dituntut 1 tahun penjara atas kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) psikis kepada suaminya, CYC, pria asal Taiwan.

"Kondisi ini merupakan cermin ketidakmampuan Aparat Penegak Hukum, khususnya kepolisian dan kejaksaan, dalam memahami relasi kuasa dalam kasus-kasus KDRT," kata Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi melalui keterangan tertulisnya, Selasa (16/11/2021).

Kasus ini berawal dari laporan V terhadap CYC atas kasus penelantaran istri dan anak pada September 2020. V kesal dan kerap memarahi suaminya itu karena suka pulang ke rumah dalam keadaan mabuk. CYC kemudian ditetapkan sebagai tersangka pada Desember 2020.

Setelah itu, CYC melaporkan V dengan tuduhan melakukan KDRT psikis dan mengusir dari rumah. Nahasnya, V ditetapkan sebagai tersangka pada Januari 2021 oleh Pengadilan Negeri Karawang, Jawa Barat.

Komnas Perempuan menilai bahwa penggunaan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) untuk mengriminaliasi perempuan korban KDRT merupakan kesalahan penerapan hukum.

Meski tidak hanya melindungi perempuan, UU PKDRT mengenali kerentanan khas perempuan sebagaimana tampak pada: Huruf c pertimbangan UU PKDRT, menyatakan bahwa: "korban kekerasan dalam rumah tangga, yang kebanyakan adalah perempuan, harus mendapat perlindungan dari negara dan/atau masyarakat agar terhindar dan terbebas dari kekerasan atau ancaman kekerasan, penyiksaan, atau perlakuan yang merendahkan derajat dan martabat kemanusiaan".

Aminah menuturkan, UU PKDRT merupakan pengaturan yang memiliki kekhasan spesifik yang mensyaratkan pemeriksaan pada konteks relasi kuasa antara pelaku dan korban.

"Penerapan UU PDKRT tanpa memperhatikan relasi timpang berbasis gender akan menempatkan hukum sebagai alat kekuasaan dalam relasi suami-istri yang berimplikasi pada bungkamnya perempuan korban dan mengaburkan makna keadilan," ucapnya.

Atas peristiwa itu, Komnas Perempuan mendorong Ketua Pengadilan Negeri Karawang c.q. Majelis Hakim yang Memeriksa Perkara PBH V untuk mengimplementasikan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 3 tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum.

Kemudian menggunakan putusan cerai No. 71/Pdt.G/2019/PN Kwg jo. No. 250/PDT/2020/PT BDG yang telah berkekuatan hukum tetap sebagai dasar pertimbangan untuk melihat secara utuh kondisi perkawinan keduanya dan relasi kuasa diantara terlapor dan pelapor dan memutus bebas sebagai presenden untuk menghentikan tindak kriminalisasi terhadap perempuan korban KDRT.

Kemudian meminta Kepolisian Republik Indonesia mengeluarkan panduan penanganan kasus KDRT dimana kedua belah pihak saling melaporkan dengan sangkaan pelanggaran UU PKDRT untuk satu peristiwa yang sama.

Lalu, Kepolisian Resort Karawang melanjutkan proses hukum atas laporan V dengan nomor Laporan Polisi No. LP/B.92/II/2020/Jbr/Res Krw/Sek Krw tentang tindak pidana pemalsuan tanda tangan dan Laporan Polisi No. LPB/844/VII/2020/JABAR dengan dugaan tindak pidana KDRT dan penelantaran anak yang dilaporkan oleh V.

"Pihak Kejaksaan Agung untuk mengoptimalkan pengawasan dalam menggunakan Pedoman Kejaksaan Nomor 1 Tahun 2021 tentang Akses Keadilan bagi Perempuan dan Anak dalam Penanganan Perkara Pidana," tuturnya.

Selanjutnya Komnas Perempuan meminta Komisi Yudisial untuk memantau persidangan kasus V untuk memastikan pelaksanaan PERMA 3 Tahun 2017 demi tegaknya keadilan.

"Komisi Kepolisian dan Komisi Yudisial memeriksa ulang penanganan kasus V sebagai langkah koreksi berulangnya kejadian kriminalisasi terhadap perempuan korban kekerasan, khususnya korban KDRT," tuturnya.

Kejagung Ambil Alih Penanganan Perkara

Sementara itu, Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin memerintahkan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Fadil Zumhana untuk melakukan eksaminasi khusus terkait dengan penanganan perkara ini.

Dilansir dari Antara, Senin 15 November 2021, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Leonard Eben Ezer Simanjuntak mengatakan pelaksanaan eksaminasi khusus terhadap penanganan perkara KDRT dengan terdakwa V dilakukan dengan mewawancarai sembilan orang, baik dari pihak Kejaksaan Tinggi Jawa Barat, Kejaksaan Negeri Karawang, maupun jaksa penuntut umum (P-16 A).

Dari eksaminasi itu, diperoleh sejumlah temuan. Pertama, dari tahap prapenuntutan sampai tahap penuntutan, Kejaksaan Negeri Karawang ataupun Kejaksaan Tinggi Jawa Barat dinilai tidak memiliki sense of crisis, yaitu kepekaan dalam menangani perkara.

Kedua, mereka tidak memahami Pedoman Nomor 3 Tahun 2019 tentang Tuntutan Pidana Perkara Tindak Pidana Umum.

"Pada ketentuan Bab II pada Angka 1 butir 6 dan butir 7, pengendalian tuntutan pidana perkara tindak pidana umum dengan prinsip kesetaraan yang ditangani di Kejaksaan Agung atau Kejaksaan Tinggi dilaksanakan oleh kepala kejaksaan negeri atau kepala cabang kejaksaan negeri sebagaimana dimaksud pada butir (1) dengan tetap memperhatikan ketentuan pada butir (2), (3), dan butir (4),” kata Leonard.

Ketiga, jaksa penuntut umum di Kejaksaan Negeri Karawang telah melakukan penundaan pembacaan tuntutan pidana sebanyak empat kali dengan alasan rencana tuntutan belum turun dari Kejaksaan Tinggi Jawa Barat.

Namun, faktanya rencana tuntutan baru diajukan dari Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Karawang ke Kejaksaan Tinggi Jawa Barat pada hari Rabu (28/10) diterima di Kejaksaan Tinggi Jawa Barat pada hari Kamis (29/10), dan disetujui berdasarkan tuntutan pidana dari Kejaksaan Tinggi Jawa Barat dengan nota telepon, Rabu (3/11).

Akan tetapi, pembacaan tuntutan pidana oleh jaksa penuntut umum baru dilakukan pada hari Kamis (11/11).

"Keempat, tidak memedomani Pedoman Nomor 1 Tahun 2021 tentang Akses Keadilan bagi Perempuan dan Anak dalam Perkara Pidana," kata Leonard.

Selain itu, baik Kejaksaan Negeri Karawang maupun Kejaksaan Tinggi Jawa Barat juga tidak memedomani "Tujuh Perintah Harian Jaksa Agung" sebagai norma atau kaidah dalam pelaksanaan tugas penanganan perkara itu.

"Hal ini dapat diartikan tidak melaksanakan perintah pimpinan," kata Leonard.

Baca juga artikel terkait KASUS KDRT atau tulisan lainnya dari Riyan Setiawan

tirto.id - Hukum
Reporter: Riyan Setiawan
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Bayu Septianto