Menuju konten utama
Kasus Perkosaan Anak 15 Tahun

Polisi Diminta Dalami Dugaan Eksploitasi Seksual Anak di Sulteng

Seorang anak berusia 15 tahun diperkosa oleh 11 orang dewasa—tiga di antaranya merupakan kepala desa, guru, dan anggota Brimob—di Parigi Moutong, Sulteng.

Polisi Diminta Dalami Dugaan Eksploitasi Seksual Anak di Sulteng
Ilustrasi. FOTO/Istimewa

tirto.id - Eks komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Retno Listyarti menyebut kasus dugaan pemerkosaan anak 15 tahun oleh 11 orang dewasa—tiga di antaranya merupakan seorang kepala desa, guru, dan anggota Brimob—di Parigi Moutong, Sulawesi Tengah, merupakan tindak pidana kekerasan seksual.

Pasalnya, menurut Retno, tak ada dalih “suka sama suka” dan “atas dasar persetujuan” dengan anak di bawah umur. Ia menyebut bahwa Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dengan tegas menyebut pelaku bisa dituntut hukuman 5 sampai 15 tahun penjara.

“Kalau pelakunya orang terdekat korban seperti guru, maka hukumannya dapat diperberat sepertiga. Apalagi menurut keterangan korban, ada unsur bujuk rayu, seperti dijanjikan sesuatu. Dalam hal ini, pihak kepolisian perlu mendalami apakah anak korban merupakan korban eksploitasi seksual anak,” kata Retno lewat keterangan tertulis, Rabu (31/5/2023).

“Tentu hal ini bisa ditelusuri dari pernyataan dan hubungan antara ke 11 terduga pelaku, yang 10 di antaranya sudah ditetapkan sebagai tersangka,” tambahnya.

Apalagi, tambah Rento, korban diketahui tinggal sendiri karena kedua orang tuanya bercerai sehingga korban sangat butuh pekerjaan agar dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari. Kata dia, kondisi korban sangat rentan dieksploitasi pihak tak bertanggungjawab.

“Anak korban mulai bekerja di rumah makan sekretariat pemuda adat di Desa Sausu, Taliabo pada April 2022. Dan korban tidak mengetahui bahwa di rumah makan tersebut ada pelayan perempuan yang membuka layanan prostitusi. Hal ini tentu perlu diselidiki lebih dalam oleh pihak kepolisian,” katanya.

Ia meminta otoritas pejabat dan masyarakat luas untuk mendukung korban dengan percaya dahulu pada korban. Pasalnya, kata Retno, korban tidak mungkin mengarang cerita kejahatan seksual.

Retno menjelaskan korban yang masih berumur 15 tahun tanpa pengasuhan orang tua tentu belum bisa berpikir dewasa. Ia juga belum mengerti resiko sehingga mudah mendapat bujuk rayu dan iming-iming, apalagi dari orang yang dikenalnya.

“Komentar-komentar di media sosial sebaiknya yang positif untuk menguatkan korban bukan menyalahkan anak korban,” katanya.

Di sisi lain, Retno menyayangkan hingga saat ini KPAI—lembaga yang dirinya jabat periode lalu—belum bersuara apapun terkait kasus ini. Padahal, menurut dia, lembaga itu wajib memastikan proses hukum berjalan dan juga memastikan anak korban mendapat perlindungan khusus dan terpenuh hak-haknya.

Hak-hak yang dimaksud Retno seperti: hak atas pemulihan kesehatan, hak atas pemulihan psikologi, dan ha katas melanjut pendidikannya.

“KPAI justru belum menunjukkan ketegasan sikapnya, padahal korban masih usia anak dan berpotensi mengalami kerusakan alat reproduksi, mengingat tubuh anak korban memang belum siap melakukan hubungan seksual,” katanya.

Menurut Retno, KPAI harus memastikan bahwa Pemerintah Daerah memenuhi hak-hak korban. “Yang sudah tidak tinggal bersama orangtua, padahal masih usia anak, agar dapat melanjutkan pendidikan dan program keluarga harapan (PKH) untuk dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari dan dipastikan dapat dirawat atau diasuh oleh salah satu orangtuanya atau difasilitasi pengasuhan pengganti,” tambahnya.

Baca juga artikel terkait KASUS PERKOSAAN ANAK atau tulisan lainnya dari Haris Prabowo

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Haris Prabowo
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Gilang Ramadhan