Menuju konten utama

Polisi Bela Penyiram Novel: Malaadministrasi & Konflik Kepentingan

Dua terdakwa menyiram air keras ke mata Novel Baswedan saat sedang tak bertugas menjadi anggota polisi.

Penyidik KPK Novel Baswedan (tengah) selaku korban menjadi saksi dalam sidang lanjutan kasus penyiraman air keras terhadap dirinya dengan terdakwa Ronny Bugis dan Rahmat Kadir Mahulette di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Jakarta, Kamis (30/4/2020). ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/nz

tirto.id - Tim Advokasi Novel Baswedan melaporkan dugaan malaadministrasi yang dilakukan Mabes Polri dalam pemberian bantuan hukum untuk dua terdakwa penyiram air keras terhadap Novel Baswedan ke Ombudsman Republik Indonesia. Bukan hanya mencurigai malaadministrasi, mereka juga mencurigai adanya konflik kepentingan yang dapat mengarah pada indikasi pengondisian perkara.

Apalagi seorang Kepala Divisi Hukum Polri, Irjen Rudy Heriyanto Adi Nugroho harus turun tangan untuk membela Ronny Bugis dan Rahmat Kadir, dua terdakwa yang juga merupakan bagian dari Korps Bhayangkara.

"Kami berpendapat keputusan Mabes Polri yang memberikan pendampingan hukum secara institusional kepada Ronny Bugis dan Rahmat Kadir ialah tidak sah secara hukum dan berpotensi adanya konflik kepentingan," ujar Staf Divisi Advokasi Kontras Andi Muhammad Rezaldi di kantor Ombudsman Republik Indonesia, Jakarta, Senin (29/6/2020).

Dalih Polri, dasar pendampingan ialah Peraturan Kapolri Nomor 2 Tahun 2017 tentang Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia. Menurut Andi seharusnya mereka merujuk kepada Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2003 tentang Pelaksanaan Teknis Institusional Peradilan Umum bagi Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Andi mengatakan dasar hukum pendapat Tim Advokasi yaitu Pasal 13 ayat (2) PP tersebut yang menyebutkan “Kepolisian Negara Republik Indonesia wajib menyediakan tenaga bantuan hukum bagi tersangka atau terdakwa anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang disangka atau didakwa melakukan tindak pidana yang berkaitan dengan kepentingan tugas.”

Nyatanya, penyiraman air keras dilakukan dua terdakwa saat sedang tak bertugas. Hal itu berdasar fakta persidangan yang diakui oleh terdakwa bahwa motif mereka menyerang Novel karena adanya masalah pribadi.

Bila Polri tetap memaksakan pendampingan hukum secara institusional, sangat jelas terlihat Polri turut serta terlibat penyiraman air keras ke Novel Baswedan. Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 2 Tahun 2017, menurut Andi tidak bisa menjadi rujukan karena regulasi tersebut hanya mengatur tata cara pemberian bantuan hukum terhadap anggota Polri yang berhadapan dengan hukum.

Pasal 3 ayat (1) Perkap itu menjamin pihak yang berhak mendapatkan bantuan hukum yaitu institusi Polri; satuan fungsi/satuan kerja; pegawai negeri pada Polri; dan keluarga besar Polri.

Ayat (2) menguraikan siapa yang dimaksud keluarga besar dalam ayat (1) huruf d yakni keluarga pegawai negeri pada Polri; purnawirawan Polri; pensiunan Pegawai Negeri Sipil Polri; warakawuri; wredatama; dan duda/janda dari anggota Polri/Pegawai Negeri Sipil Polri.

Selain itu, Pasal 25 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat menyatakan “Advokat yang menjalankan tugas dalam sidang pengadilan dalam menangani perkara pidana wajib mengenakan atribut sesuai dengan peraturan perundang-undangan.” Setelah pemberlakuan aturan itu istilah ‘penasihat hukum’ sudah tidak berlaku lagi dan yang berhak mengenakan atribut toga sekaligus pendampingan hukum di pengadilan ialah seorang advokat, bukan polisi.

"Tidak bisa anggota Polri menggunakan atribut/toga advokat dan melakukan pendampingan hukum di dalam pengadilan, polisi dan advokat merupakan profesi yang berbeda. Untuk menjadi advokat harus memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam UU tersebut," terang Andi.

Rudy Heriyanto merupakan alumni Sekolah Inspektur Polisi Sumber Sarjana 1993. Ia pernah menjabat Direktur Reskrimum Polda Metro Jaya menggantikan Krishna Murti pada Agustus 2016. Saat menjabat Dirkrimum Polda Metro Jaya inilah, Rudy sempat menangani kasus penyiraman air keras terhadap Novel yang terjadi pada 11 April 2017.

Memang Rudy merupakan mantan penyidik dalam kasus penyiraman air keras ini. Namun keberadaan Polri sebagai kuasa hukum terdakwa dinilai pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar sebagai pelanggaran atas undang-undang advokat. Selain memang jelas terlihat adanya konflik kepentingan dalam kasus ini.

"Kok bisa abaikan kode etik Polri hanya untuk membela pelaku kejahatan?" ujar Fickar kepada reporter Tirto, Senin (22/6).

Fickar pun tidak banyak berharap dengan persidangan ini. Sebab katanya, "proses persidangan sudah terlalu jauh penyimpangan dari fakta sebenarnya."

Sementara itu pada 14 Mei lalu, Kadiv Humas Polri Irjen Pol Argo Yuwono menegaskan salah satu tugas Divisi Hukum Mabes Polri memang memberikan pendampingan kepada anggota polisi yang bermasalah dengan hukum. Namun menanggapi pelaporan Tim Advokasi Novel ke Ombudsman, Argo saat dihubungi Tirto, Selasa (30/6/2020) dengan singkat memilih menjawab “Menunggu sidang selesai atau inkrah.”

Didukung Kompolnas

Dukungan bantuan hukum itu pun dianggap wajar oleh Komisioner Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Poengky Indarti. Menurut Poengky Polri punya dasar hukum pemberian bantuan hukum sesuai dengan aturan PP Nomor 3 Tahun 2003 dan Perkap Nomor 2 tahun 2017. Anggota Polri yang disangka melakukan tindak pidana juga berhak mendapat bantuan hukum, kata Poengky.

Saat dihubungi Tirto, Selasa (30/6) Poengky juga mempersilakan Tim Advokasi Novel Baswedan melaporkan Polri ke Ombudsman karena hal tersebut merupakan hak warga negara.

Mendapatkan laporan dari Tim Advokasi Novel Baswedan, Anggota Ombudsman Republik Indonesia Ninik Rahayu siap untuk mengklarifikasi laporan tersebut.

“Kami akan mengklarifikasi dan meminta keterangan pihak terkait,” ujar dia ketika dihubungi Tirto, Selasa (30/6).

Baca juga artikel terkait KASUS NOVEL BASWEDAN atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Hukum
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Bayu Septianto
-->