Menuju konten utama

Polemik Vonis AGH dalam Kasus Penganiayaan terhadap David Ozora

Anak yang terlibat dalam pelanggaran hukum dinilai tidak bisa dianggap itu merupakan sepenuhnya pilihan rasional anak.

Polemik Vonis AGH dalam Kasus Penganiayaan terhadap David Ozora
Tersangka Mario Dandy Satrio (kiri), Shane (kanan), dan pemeran pengganti tersangka AG (tengah) memperagakan adegan saat rekonstruksi kasus penganiayaan Cristalino David Ozora di Perumahan Green Permata Residance, Pesanggrahan, Jakarta, Jumat (10/3/2023). Rekonstruksi tersebut memperagakan 40B adegan kasus penganiayaan terhadap Cristalino David Ozora. ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga/tom.

tirto.id - AGH, anak 15 tahun yang berhadapan dengan hukum dalam kasus penganiayaan terhadap David Ozora, akan mengajukan kasasi. Hal ini ditempuh usai Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menguatkan putusan tingkat pertama.

“Menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 4/Pidsus Anak/2023/PN Jakarta Selatan, tanggal 10 April 2023 yang dimohonkan banding tersebut," kata Hakim Ketua Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, Budi Hapsari pada 27 April 2023.

Artinya AGH harus menjalani vonis 3,5 tahun penjara di Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (LPKS). Koalisi Anti Kekerasan Berbasis Gender Terhadap Anak Perempuan (AG-AP) pun mendorong keadilan untuk proses hukum AGH.

Lucky Endrawati, ahli hukum pidana dari Universitas Brawijaya berpendapat, merujuk kronologis kasus berdasar dokumen dan informasi yang ia peroleh, peran AGH hanya menelepon.

“(Perihal) kualifikasi 'turut serta' itu ada perbuatan yang harus dilakukan oleh seseorang yang pantas untuk mendapat kualifikasi 'turut serta'," kata Lucky dalam konferensi pers daring, Rabu, 10 Mei 2023.

Kualifikasi pertama ialah dia memiliki kesadaran dengan maksud untuk bekerja sama melakukan tindak pidana. Padahal kenyataannya, AGH tidak begitu. Kedua, kerja sama perbuatan memang dilakukan untuk melanggar norma dalam undang-undang hukum pidana.

Logikanya, kata Lucky, bila AGH melakukan perbuatan kerja sama, pasti dia tidak mau diajak untuk menganiaya korban. Lucky juga menyorot ihwal penyidikan polisi hingga persidangan, yang tidak ada sama sekali menyertakan dokumen hasil penilaian kemasyarakatan (HPK).

“Dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak itu sangat jelas sekali. Kalau hakim tidak mempertimbangkan atau hakim wajib mempertimbangkan menggunakan HPK dalam putusannya," terang Lucky.

Kata "wajib" ini berkonsekuensi. Jika tidak menggunakannya, kata dia, maka putusan batal demi hukum.

“Boro-boro HPK, hasil asesmen Asosiasi Psikologi Forensik tidak digunakan sama sekali dalam konstruksi Pasal 184 ayat (1) KUHAP terkait alat bukti, sama sekali tidak digunakan," lanjut dia. Hal ini menunjukkan tidak ada kemauan, bukan kemampuan.

Lucky juga mempertanyakan Komisi Yudisial dalam perkara anak. Ia sebut, Komisi Yudisial jangan hanya menjadi pengawas, tapi tak bisa menindak hakim atau bertindak untuk memperbaiki sistem peradilan pidana anak.

Jenis pidana yang dijatuhkan kepada AGH dianggap keterlaluan, karena ia divonis 3,5 tahun. Ini menunjukkan hakim sangat tidak mempunyai perspektif anak. Lucky menegaskan putusan pidana kurungan ini jangan menjadi faktor kriminogen (penyebab terjadinya tindak pidana) anak ketika dewasa.

“Hakim sangat tidak jeli, tidak teliti, tidak cermat, dan tidak memahami bagaimana kedudukan status anak," tutur Lucky.

Dampak Jangka Panjang

Muhamad Bill Robby, staf Riset dan Advokasi Pusat Kajian dan Advokasi Perlindungan dan Kualitas Hidup Anak (Puskapa) Universitas Indonesia berujar, anak yang terlibat dalam pelanggaran hukum tidak bisa dianggap itu merupakan sepenuhnya pilihan rasional anak.

“Karena dalam perilaku pelanggaran hukum pasti berkaitan dengan masalah struktural," ucap dia.

Lantaran berkaitan dengan struktural, maka akan ada anak yang lebih rentan ketimbang anak lain. Perkara struktural bukan hanya soal kemiskinan, tapi bisa juga penelantaran anak, pengasuhan yang tidak memadai, akses pendidikan yang tidak berkualitas dan sebagainya.

Anak yang berhadapan dengan hukum bisa menelurkan efek negatif. “Berisiko terganggu akses layanan pendidikan, kesehatan, kesejahteraan anak. Mungkin bisa menjauhkan anak dari peluang hidup yang lebih baik," kata Bill.

Kasus AGH ini juga bisa menjadi pembelajaran bagi publik. Proses hukum terhadap seorang anak bisa mengalami dobel kerentanan atas kasusnya, tapi bisa juga kerentanan yang ditimbulkan oleh media pada perkara AGH, banyak media yang menyebut ia sebagai biang kerok penganiayaan David.

“Reviktimisasi terhadap anak terjadi pada kasus ini," ujar Spesialis Perlindungan Anak & Advokasi ChildFund Indonesia, Reny Haning.

Kemudian dari sisi kerugian ranah pendidikan, bahkan anak seolah harus menghadapi "putusan" dari pihak sekolah. Pihak sekolah malu memiliki siswa yang berhadapan dengan hukum. Tentu ini juga berpengaruh kepada mental anak.

"Publik tak bisa menutup mata bahwa itu terjadi hari ini, bukan saja pada kasus AGH. Bahkan ketika anak belum sampai proses peradilan, baru (berstatus) terduga saja, sekolah serta-merta mengeluarkan (anak)," jelas Reny.

Masyarakat juga bisa mendorong lembaga pembinaan khusus anak untuk menyediakan infrastruktur dan kebutuhan pendidikan lainnya meski anak sedang menjalani hukuman.

Menyudutkan AGH sebagai Perempuan

Koordinator Reformasi Hukum Federasi LBH APIK Indonesia, Ratna Batara Munti juga menyorot kasus AGH. Dalam beberapa pemberitaan dan respons publik, AGH dicap anak perempuan tidak benar karena berhubungan badan dengan Mario Dandy.

Ratna menyatakan hal tersebut sangat memojokkan dan menyudutkan AGH sebagai seorang perempuan. "Cara pandang seperti ini sangat bias, sangat stereotipe gender, mengobjektivitas tubuh dan seksualitas perempuan dikotakkan sebagai perempuan baik atau tidak baik," ucap dia.

“Tidak melihat dia sebagai anak perempuan yang rentan. Ini sangat tipikal dalam masyarakat patriarki dan misoginis. Ini sangat berpengaruh karena nilai patriarki masuk dalam ranah sistem hukum," lanjut Ratna.

Ia juga mengamati dakwaan jaksa dan putusan hakim yang hanya mempertimbangkan fakta yang disodorkan jaksa.

Penegak hukum dinilai menutup mata terhadap fakta-fakta yang disampaikan oleh AGH, para saksi lain, bahkan Mario Dandy dan Shane Lukas selaku penganiaya.

“Semua itu seakan tidak ada, bahkan rekaman kamera pengawas tidak ditayangkan, tidak diulas, tidak jadi pertimbangan. Padahal itu sangat kasat mata, (bisa) menangkal tuduhan misoginis terhadap AGH,” kata dia.

Pertimbangan dan putusan hakim sangat bertentangan dengan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum. Ratna menganggap hakim mengabaikan soal relasi gender dan relasi kuasa dalam kasus ini.

Baca juga artikel terkait KASUS PENGANIAYAAN atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Hukum
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Abdul Aziz