Menuju konten utama

Polemik Mi Instan: Esensi Gandum dan Perubahan Pola Pangan RI

Indonesia merupakan konsumen kedua mie instan terbesar di dunia. Fakta ini secara implisit menjabarkan perubahan pola pangan dan esensi gandum bagi RI.

Polemik Mi Instan: Esensi Gandum dan Perubahan Pola Pangan RI
Header Pergeseran Pola Pangan di Indonesia. tirto.id/Tino

tirto.id - Belakangan ini, mi instan besutan Indofood, yakni Indomie ramai menjadi perbincangan di beberapa negara karena faktor kesehatan.

Badan Pengawas Obat dan Makanan Nigeria (NAFDAC) menyampaikan bahwa mereka sedang melakukan penyelidikan dengan mengambil sampel acak atas Indomie, termasuk bumbunya, serta merek mi instan lain yang beredar, merujuk cuitan resmi NAFDAC di Twitter pada Selasa (2/5/2023)

Tindakan ini diambil sebagai respos dari penemuan Departemen Kesehatan Taipei, pada Senin (24/04/2023), memeriksa 30 produk makanan yang beredar di toko-toko dan supermarket lokal.

Hasilnya, terdapat dua produk yang dianggap berbahaya untuk dikonsumsi akibat mengandung Etilen Oksida (EtO). Yaitu Indomie Rasa Ayam Spesial asal Indonesia dan Mie Kari Putih Ah Lai asal Malaysia.

Etilen Oksida umumnya ditemukan pada bermacam produk seperti poliester, tekstil, deterjen hingga pestisida. Zat tersebut sangat berbahaya jika dihirup apalagi dikonsumsi. Ia bisa memicu berbagai jenis kanker.

Pemerintah Taiwan kemudian memerintahkan distributor agar menarik keduanya dari peredaran. Sementara itu, pihak importir dijatuhkan denda berkisar 60.000-200 juta dolar Taiwan atau setara Rp28,62 juta-Rp95,4 miliar (asumsi kurs Rp477/dolar taiwan).

Larangan Taiwan direspons santai Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Melalui pernyataan resmi, otoritas RI menyatakan bahwa Indomie Rasa Ayam Spesial tetap aman dikonsumsi karena sudah memenuhi persyaratan sebelum beredar.

Syarat yang dimaksud adalah Batas Maksimal Residu (BMR). Mengacu pada Keputusan Kepala BPOM Nomor 229 Tahun 2022, BMR 2-CE ditetapkan sebanyak 85 mg/kg (ppm). Sedangkan kadar 2-CE yang terdeteksi pada bumbu Indomie Rasa Ayam Spesial hanya 0,34 ppm, sehingga jauh di bawahnya.

Selaku produsen Indomie Rasa Ayam Spesial, manajemen PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (ICBP) buka suara mengenai larangan Taiwan. Mereka menjamin seluruh produknya telah sesuai dengan standar keamanan pangan Codex Standard for Instant Noodles dan BPOM RI.

Mie Instan dan Esensi Gandum Bagi RI

Terlepas klaim kedua belah pihak, faktanya kita adalah negara kedua yang paling doyan mengonsumsi mi instan setelah Tiongkok. Berdasarkan data World Instant Noodles Association, penduduk RI mengonsumsi 13,27 miliar bungkus pada 2021, porsinya naik 4,98% dari 2020.

Dari data tersebut, diketahui bahwa mi instan begitu populer bagi orang Asia. Jumlahnya mendominasi permintaan di dunia. Di bawah Indonesia ada Vietnam, India, Jepang, AS, Filipina, Korea Selatan dan Thailand. Sedangkan Malaysia, yang satu di antara produk mi instannya juga dilarang Taiwan, duduk di peringkat 14.

Pada umumnya, komposisi mi instan terdiri atas tepung terigu yang bahan bakunya terbuat dari gandum. Sejak setahun terakhir, pasokan komoditas tersebut mengalami hambatan di tengah konflik geopolitik Rusia-Ukraina. Akibatnya, negara-negara pengimpor gandum kecipratan getah.

Mengacu pada data Statista, Tiongkok merupakan produsen gandum terbanyak di dunia pada tahun pemasaran 2022/2023 setelah mampu menghasilkan 137,7 juta metrik ton. Urutan selanjutnya ditempati Uni Eropa, lalu India, Rusia, AS dan Australia. Sedangkan Ukraina duduk di peringkat ke sembilan di bawah Pakistan.

Saking vitalnya gandum di sektor pangan dalam negeri, Presiden Joko Widodo bahkan rela jauh-jauh terbang ke kawasan Eropa Timur pada pertengahan 2022 lalu. Selain membawa misi perdamaian, kedatangan Jokowi – sapaan populer Presiden RI – juga bertujuan melobi Rusia dan Ukraina agar kembali menyediakan kebutuhan serealia untuk negara kita.

Berdasarkan data Badan Pusat Statisik (BPS), Indonesia mengimpor 11,2 juta ton gandum sepanjang 2021. Jumlahnya meningkat 8,6% dari 2020.

Meskipun dari sisi volume hanya jutaan ton, namun jika dilihat dari nilainya mencapai puluhan triliun rupiah. Merujuk kalkulasi OEC, pada tahun 2021, Ibu Pertiwi menggelontorkan dana sekitar USD2,9 miliar atau setara Rp42,63 triliun untuk mengimpor bahan baku mi instan ini (asumsi kurs Rp14.700/USD).

Sejauh ini, kebutuhan gandum Indonesia mayoritas diimpor dari Australia, Ukraina, Kanada dan sejumlah negara lainnnya termasuk Amerika Serikat dan Rusia.

Pergeseran Pola Pangan

Sebagai negara dengan sumber daya alam yang berlimpah, tidak semestinya bagi Indonesia untuk menghabiskan dana yang cukup banyak untuk mengimpor gandum, bahkan harus sampai khawatir terhadap krisis suplai gandum.

Sejak berabad-abad lalu, nenek moyang kita sudah terbiasa mengonsumsi aneka macam tanaman liar maupun semi liar sebagai cara untuk bertahan hidup. Hutan merupakan “swalayan” sumber makanan bagi masyarakat.

Berdasarkan data yang dirangkum Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), Indonesia punya sekitar 5.529 jenis sumber daya hayati tumbuhan pangan. Negara ini dikaruniai setidaknya 100 tipe tumbuhan karbohidrat, 100 kacang-kacangan, 450 buah-buahan serta 250 sayur-sayuran dan jamur.

Infografik Pergeseran Pola Pangan di Indonesia

Infografik Pergeseran Pola Pangan di Indonesia. tirto.id/Tino

Di Sumatera Utara contohnya. Dulu, penduduk lokal mengonsumsi lebih dari 44 spesies tumbuhan pangan. Di Sumatera Barat ada 106 jenis, di Bali bali ada lebih dari 86 spesies, di Lombok ada 22 spesies dan di Baliem terdapat 224 spesies ubi jalar dan 4,7 juta hektare sagu.

Pergeseran pola pangan orang Indonesia mulai terlihat tujuh dekade terakhir, dari yang awalnya beragam kini menjadi seragam. Sejak saat itu, beras menjadi bahan pangan yang tak tergantikan bagi orang Indonesia.

Pada 1954, setengah dari penduduk Indonesia atau sebanyak 53,5% mengonsumsi beras. Sebagian lagi memakan singkong, jagung dan sisanya umbi-umbian.

Tiga dekade kemudian, terjadi perubahan signifikan. Jumlah penduduk yang mengonsumsi beras mulai mendominasi dengan 81,1%. Selebihnya singkong dan jagung. Pergeseran terus berlanjut hingga pada 2017 porsinya menjadi beras sebanyak 74,6% dan gandum 25,4%.

“Jika merujuk pada data Badan Pangan Nasional, perubahan pola konsumsi pangan terjadi sejak era Orde Baru,” ujar Said Abdullah dari KRKP kepada Tirto, Sabtu (29/4/2023).

Pergeseran pola konsumsi sejatinya tidak terjadi secara tiba-tiba. Namun, kebijakan pemerintah mempercepat tren tersebut. Pada zaman Orde Baru, konsumsi beras menguat. Akan tetapi, kenaikan itu sempat tidak diimbangi dengan produksi dalam negeri.

Akibatnya, impor menjadi pilihan sejak 1970-an dan terus menguat. Pemerintah RI lalu berupaya menerapkan diversifikasi pangan dengan mendorong produk turunan gandum sebagai alternatif beras.

Pergeseran juga dipercepat perubahan pada sisi hulu. Makin hari, tren produksi tanaman pangan dalam negeri cenderung monocrop, yaitu sistem tanam tanaman yang sama secara terus menerus selama beberapa musim.

Kondisi itu menyebabkan tanaman pangan lokal semakin terpinggirkan. Di samping lahannya tergerus oleh kepentingan komoditas pertanian lain, penyusutan juga terjadi akibat perhatian dan insentif yang kurang.

“Kebijakan pangan yang dibuka lebar dan diletakkan pada pasar menyebabkan arus pangan dari luar juga semakin tinggi. Oleh karenanya, importasi pangan kita terus meningkat,” ujar Said.

Baca juga artikel terkait PANGAN atau tulisan lainnya dari Nanda Fahriza Batubara

tirto.id - Ekonomi
Penulis: Nanda Fahriza Batubara
Editor: Dwi Ayuningtyas