Menuju konten utama
Kebijakan Energi

Polemik Konversi Kompor Gas ke Listrik yang Akhirnya Dibatalkan

Pemerintah dinilai sebaiknya memberikan pilihan beragam ke masyarakat daripada memaksa konversi gas ke kompor listrik.

Polemik Konversi Kompor Gas ke Listrik yang Akhirnya Dibatalkan
Ilustrasi Penggunaan Kompor Listrik. (FOTO/PLN)

tirto.id - “Berhubung saya ibu-ibu yang urusin kompor di dapur, jadi saya mengerti betul butuh kompor yang seperti apa. Kita lihat harga kompor induksi Rp1,5 juta, apakah sudah termasuk wajan, panci dan apakah tersedia berbagai ukuran? Belum lagi harga panci dan wajan kompor induksi itu mahal.”

Pernyataan tersebut diungkapkan anggota Komisi VII DPR RI, Raden Wulansari atau Mulan Jameela dalam rapat dengar pendapat dengan Kementerian Perindustrian, Jumat (23/9/2022). Mulan menyoroti rencana konversi gas LPG 3 kg ke kompor induksi atau kompor listrik yang diwacanakan pemerintah.

Dalam rapat tersebut, istri musisi Ahmad Dhani itu juga menyinggung akan banyak masalah lain yang muncul dari wacana ini, seperti biaya tagihan listrik yang membengkak hingga kekacauan masakan Indonesia yang dinilai tidak cocok bila dimasak menggunakan kompor induksi.

“Tetap tidak bisa lepas dari kompor gas. Masakan Indonesia beda dengan masakan orang bule, apalagi kalau ada hajatan. Mana cukup wajannya?” kata Mulan mempertanyakan.

Keberatan Mulan dalam rapat di Komisi VII DPR sempat viral di media sosial dan mendapat respons positif dari publik, khususnya dari emak-emak. Berdasarkan informasi terkini, PT PLN (Persero) per Selasa, 27 September 2022 akhirnya menunda rencana konversi ini.

Konversi Gas ke Kompor Listrik Diklaim Baru Uji Coba

Menteri Koordinator bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto berdalih, pemerintah belum mengambil kebijakan untuk konversi LPG ke kompor induksi, meski sudah ada upaya pembagian kompor listrik di beberapa daerah. Pemerintah baru melakukan uji coba di Bali dan Solo.

“Pemerintah belum memutuskan terkait program konversi kompor LPG 3 kg menjadi kompor listrik induksi,” kata Airlangga dalam konferensi pers dari Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta Pusat, Jumat (23/9/2022).

Airlangga berdalih program tersebut tidak dijalankan pada 2022 dengan alasan pembahasan anggaran program tersebut belum dibicarakan dan belum disetujui DPR.

Padahal sehari sebelumnya atau Kamis (22/9/2022), Menteri ESDM, Arifin Tasrif mengatakan, pemerintah ingin mengkonversi kompor gas ke kompor injeksi sebagai upaya peningkatan permintaan listrik karena listrik Indonesia oversupply.

“Menyalurkan oversupply. Kalau oversupply harus bayar take or pay. Ini, kan, beban," kata Tasrif kala itu.

Pro dan kontra pun muncul dari kebijakan tersebut. Pengamat energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Fahmi Radhi menilai, kebijakan mendorong kompor listrik tepat. Namun, Fahmi meminta upaya tersebut bukan dilakukan untuk mengalihkan oversupply listrik dari PLN ke warga.

“Sebagai program konversi LPG 3 kilogram ke kompor listrik cukup tepat, tapi jangan sampai program itu dimaksudkan untuk mengalihkan beban oversupply PLN ke masyarakat,” kata Fahmi kepada reporter Tirto, Selasa (27/9/2022).

Fahmi menilai perlu ada alternatif energi lain bila kebijakan konversi kompor induksi ini diterapkan. Ia menilai perlu ada pengembangan bauran energi lain atau diversifikasi yang terdiri atas gasifikasi batu bara menjadi gas tabung, jaringan gas alam atau jargas hingga kompor LPG non-subsidi.

Pemerintah, kata Fahmi, sudah tepat menunda pelaksanaan konversi. Sebab, kata dia, saat ini masih banyak masalah teknis yang harus diselesaikan seperti pelanggan harus minimal punya daya listrik 1.300 VA dan masalah pemadaman listrik yang masih terjadi di beberapa daerah.

Semestinya Diversifikasi, Bukan Konversi

Sementara itu, ekonom dari INDEF, Nailul Huda menilai, pemerintah sebaiknya memberikan pilihan beragam kepada masyarakat daripada mengedepankan konversi gas 3 kilogram ke kompor listrik.

“Artinya masyarakat bebas memilih, mau menggunakan kompor apa? Selain itu, subsidi untuk gas tiga kilogram jangan dicabut karena sifatnya bukan konversi, tapi memberikan pilihan kepada masyarakat,” kata Huda kepada Tirto.

Huda menilai konversi juga tidak boleh memberatkan masyarakat seperti kenaikan tarif dasar listrik (TDL). Pemerintah juga tidak boleh membebani masyarakat dan memaksa mereka untuk mengganti alat masak demi memenuhi target tersebut.

Huda menilai, rakyat tidak bisa konversi penuh karena dampak terlalu besar. Ia menekankan, masyarakat harus diberi kebebasan dalam menentukan alat memasaknya. Sementara bagi warga yang mau memakai kompor induksi, pemerintah sebaiknya memberikan insentif.

“Misalkan berikan diskon alatnya, atau diskon listrik untuk pengguna kompor listrik. Itu bisa membuat masyarakat tertarik untuk pindah. Karena saya melihat tidak urgen masyarakat untuk pindah ke kompor listrik,” kata Huda.

Hal senada diungkapkan peneliti kebijakan publik dari IDP-LP, Riko Noviantoro. Ia menilai gagasan pemerintah melakukan konversi kompor gas menjadi kompos listrik tidak perlu dipaksakan. Sebab, kata dia, banyak hal yang perlu dipersiapkan pemerintah untuk mendorong kebijakan tersebut.

"Saya nilai konversi ini kebijakan yang tergesa-gesa,” kata Riko kepada reporter Tirto.

Riko beralasan proses konversi kompor gas ke kompor listrik perlu kajian yang mendalam, terutama pada ketersediaan jaringan, keamanan hingga nilai keekonomian.

Untuk memenuhi hal itu, Riko meyakini, butuh dua hingga lima tahun persiapan. Kompor induksi butuh penyesuaian dengan situasi konsumen baik dari sisi geografis dan sosio-ekonomi.

“Kasus ini beda dengan konversi minyak ke gas di mana infrastruktur gas sudah lama disiapkan,” kata dia.

Di sisi lain, kata Riko, variabel listrik juga akan mengganggu ekonomi rakyat. Ia mengingatkan bahwa kebijakan harus diambil dengan melihat situasi publik, bukan demi kepentingan politik.

“Kebijakan ini sepertinya kebut legacy saja agar ada kesan pemerintah sekarang banyak terobosan,” kata Riko.

Riko justru menilai, pemerintah sebaiknya mengambil kebijakan diversifikasi energi bila memang ingin mengurangi beban subsidi LPG 3 kg. “Prinsipnya kalau pemerintah mau keluarkan kebijakan, maka jangan bebani rakyat,” kata Riko.

Namun, Riko mengingatkan bahwa kebijakan publik masa depan adalah mengedepankan ramah lingkungan. Listrik adalah salah satu upaya ramah lingkungan sehingga tetap saja harus tetap mendorong agar masyarakat secara sukarela mau beralih ke kompor listrik.

Konversi Kompor Gas ke Listrik Akhirnya Batal

PLN sebagai perusahaan BUMN yang bertugas mengeksekusi program ini, akhirnya mengumumkan bahwa konversi kompor gas ke kompor induksi batal dilaksanakan dalam waktu dekat ini. Mereka berdalih ingin memberikan kenyamanan kepada publik.

“PLN memutuskan program pengalihan ke kompor lisrik dibatalkan. PLN hadir untuk memberikan kenyamanan di tengah masyarakat melalui penyediaan listrik yang andal,” kata Direktur Utama PLN, Darmawan Prasodjo dalam keterangan tertulis, Selasa (27/9/2022).

Darmawan juga menegaskan tarif listrik tidak akan mengalami kenaikan. Ia mengatakan, “Tidak ada kenaikan tarif listrik. Ini untuk menjaga peningkatan daya beli masyarakat dan menjaga stabilitas ekonomi.”

Darmawan menegaskan bahwa pemerintah tidak akan mengubah daya listrik 450 VA ke 900 VA.

“Keputusan pemerintah sudah sangat jelas. Tidak ada perubahan daya dari 450 VA ke 900 VA dan PLN siap menjalankan keputusan tersebut. PLN tidak pernah melakukan pembahasan formal apa pun atau merencanakan pengalihan daya listrik 450 VA ke 900 VA. Hal ini juga tidak ada kaitannya dengan program kompor listrik,” kata Darmawan.

Baca juga artikel terkait KONVERSI KOMPOR LISTRIK atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz