Menuju konten utama

Polemik Etnisitas antara Batak dan Mandailing

Pada 1922 muncul kasus pekuburan Sungai Mati: orang Batak dilarang dikubur di pemakaman orang Mandailing.

Polemik Etnisitas antara Batak dan Mandailing
Perkampungan Karo; 1825. FOTO/Wikicommon

tirto.id - Relasi antara "etnis" Mandailing dan Batak kerap problematis. Baru-baru ini, sejumlah Raja Panusunan di Mandailing Natal, Sumatera Utara, beserta organisasi masyarakat setempat mengeluarkan petisi yang menyatakan bahwa Mandailing bukanlah Batak. Menurut mereka, Mandailing tidak memiliki kaitan dengan Batak.

Pernyataan serupa bukan pertama kali ini muncul. Dalam blog, artikel berita, dan semesta pembicaraan di internet lainnya, berseliweran pembicaraan soal “Mandailing bukan Batak”. Di sisi lain, bermacam artikel yang menegaskan “Mandailing adalah Batak” ataupun memasukkan Mandailing sebagai "sub-etnis" Batak juga ditemukan secara mudah.

Dalam laporan penelitian berjudul “Sikap Etnik Mandailing Dalam Memandang Pencantuman Kata Batak di Depan Kata Mandailing Terhadap Identitasnya Pada Masa Kini”, Ismar Muda berkesimpulan masyarakat Mandailing sudah terpolarisasi. Ada yang mengaku sebagai Mandailing tulen, ada juga yang mengaku bagian dari sub-etnis Batak.

Menurut Ismar, salah satu faktor mereka menolak Mandailing bagian dari Batak adalah karena mereka menganggap marga-marga, peninggalan artefak, bahasa dan aksara Mandailing muncul jauh lebih tua daripada Batak.

Sementara itu, orang-orang Mandailing yang menyebut Mandailing bagian dari Batak adalah anak-anak muda dan orang tua yang sudah terpengaruh dengan arus informasi media dan buku-buku. Referensi yang mereka baca umumnya membagi Batak atas beberapa sub-etnis.

Baca juga: Diaspora Orang Batak dan Lapo di Jakarta

Pembagian Batak menjadi beberapa kelompok sub-etnis pun tidak lepas dari polemik. Pada Agustus 1990, peneliti asal Perancis yang menempuh studi di Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales, Daniel Perret, mewawancarai cendekiawan Melayu dari Medan bernama Tengku Luckman. Dia menyatakan bahwa orang Karo bukanlah orang Batak. Menurutnya, dimasukkannya Karo sebagai sub-etnis Batak dilakukan oleh Belanda.

Pada Januari 1992, Perret menemui Siti Omas br. Manurung, seorang Toba istri putra pendeta-raja Batak terakhir dari keturunan Sisingamangaraja, guna melakukan penelusuran lebih lanjut. Kepada Perret, Siti malah mengatakan, semua orang, baik Karo maupun Simalungun, mengakui dirinya sebagai Batak dan Belanda yang telah membuat terpisahnya kelompok-kelompok tersebut.

Kisah unik lain seputar etnisitas pun dituturkan Asra Wijaya (24). Kepada Tirto, Asra mengungkapan, jika ditinjau dari ikatan marga, ayahnya adalah seorang Lubis, sedangkan ibunya bermarga Nasution. Lazimnya, kedua marga tersebut masuk bagian Mandailing.

“Namun, keluarga saya bilang kami ini orang Melayu, bukan Batak, bukan Mandailing, ataupun Minangkabau. Padahal menurut saya kami ini Mandailing karena memiliki marga Nasution dan Lubis, tetapi mereka menganggap Lubis dan Nasution itu Melayu,” ujar Asra.

Asra menuturkan ada tiga wilayah di kecamatan tempat dia tinggal. Mayoritas penduduknya bermarga Mandailing. Menariknya, ada dua wilayah yang mengidentifikasi diri sebagai Mandailing dan satu wilayah mengidentifikasi diri sebagai Melayu.

Dianggap Kanibal Oleh Para Penjelajah

Pada 1995, Perret meluncurkan hasil penelitian mengenai etnisitas Batak dan Melayu di Sumatera. Penellitian tersebut disusun dalam buku berjudul La Formation d’un Paysage Ethnique: Batak & Melayu de Sumatra Nord-Est. Buku ini kemudian diterjemahkan dalam bahasa Indonesia pada 2010 dengan judul Kolonialisme dan Etnisitas: Batak dan Melayu di Sumatera Timur Laut.

Etnisitas memang menjadi persoalan tersendiri menurut Perret. Menurutnya, studi etnologi dan antropologi kerap merujuk penelitian mengenai kelompok-kelompok etnis yang tidak pernah dipertanyakan tepat atau tidaknya penerapan konsep "etnis" tersebut pada yang bersangkutan.

“Dengan langsung menerima kelompok etnis sebagai suatu kenyataan, maka etnisitas ditafsirkan sebagai ‘perasaan menjadi bagian dari’ yang seolah-olah dibawa sejak lahir, dan yang mendasari sebuah identitas budaya ‘primordial’ yang dapat diamati melalui sejumlah ciri dari awal dianggap tepat oleh pengamat,” ujar Perret.

Dalam kasus Batak, para penjelajah asing kerap menggunakan istilah “Batak” tanpa kehati-hatian.

Pedagang sekaligus penjelajah dari Italia, Nicolo de’ Conti, yang pernah tinggal di kota Samudra (Sumatera) pada tahun 1430, menjadi orang pertama yang menyebutkan nama “Batech”. Kata itu merujuk nama tempat yang dikaitkan dengan sebuah populasi kanibal dan gemar berperang.

Keberadaan masyarakat kanibal ini sebelumnya pernah disinggung oleh ahli peta bumi Yunani Ptolemaeus pada abad ke-2 M. Dia melukiskan bagian utara Sumatera sebagai pulau yang dihuni orang pemakan manusia. Catatan Marco Polo yang pernah singgah di bagian utara Sumatera pada 1291-an pun menyebut keberadaan masyarakat penganut paganisme, biadab, dan kanibal.

Baca juga: Cerita Memburu Kepala di Nias

Catatan seperti ini yang kemudian digunakan orang Eropa perambah daratan Sumatera untuk membuat peta batas etnis-etnis di sana. Pada 1783, dalam bukunya yang berjudul History of Sumatra, William Marsden memberikan deskripsi tentang geografi politik “Kerajaan Orang Battas”. Ia membuat perbedaan antara penduduk “carrow” (Karo) dan “Batta” (Batak).

Kemudian pada 1823, John Anderson menjelajahi pedalaman pesisir timur laut Sumatera. Ia menyebut nama-nama suku seperti Mandailing, Kataran, Pappak, Tubba, Karau-karau, Kappak, dan Alas. Pada 1874, dalam Die Battalander auf Sumatra, F. Junghuhn membuat peta batas-batas ‘Tanah Batak’. Dia menjelaskan bahwa di Tanah Batak terdapat ratusan negeri.

Betapapun banyak perbedaan di antara sub-etnis ataupun luasnya wilayah Tanah Batak, kanibalisme menjadi faktor yang digunakan para pembuat peta etnis tersebut untuk membedakan Batak dan Melayu.

“Jadi kami beranggapan bahwa sebutan ‘Batak’ tidak muncul dengan sendirinya, tetapi dari pertentangan dengan identitas Melayu. Seluruh penduduk pedalaman dimasukkan dalam kategori ‘Batak’ yang merujuk pada orang-orang pedalaman, bukan Melayu, bukan Islam,” ujar Perret.

Baca juga: Si Bule Junghuhn, Kawah Putih dan Kina

Memilih Mandailing, Meninggalkan Batak

“Pada kenyataannya individu selalu membentuk dan membentuk kembali identitas kelompoknya dan identitasnya sendiri dengan mengedepankan ciri khas budaya yang memungkinkannya menyesuaikan diri sebaik mungkin dengan situasi sosial tertentu,” sebut Perret.

Akar menguatnya identitas Mandailing pun tidak luput dari situasi sosial. Bahkan jejaknya bisa dilacak: pandangan yang membedakan Batak dan Melayu amat berpengaruh pada pengidentifikasian orang bagian selatan Tapanuli yang merantau ke pesisir timur laut Sumatera. Dalam pandangan pemerintah kolonial, mereka dianggap sebagai "Batak". Padahal orang-orang ini beragama Islam dan sebagian di antaranya lulusan sekolah misi Kristen.

Akibatnya, pada dekade terakhir abad ke-19, satu per satu individu dan kelompok mulai memilih Mandailing sebagai identitas mereka dan menolak menjadi bagian dari Batak.

“Mengenai sebabnya barangkali dapat diajukan kemungkinan bahwa pada saat itu kalangan elit yang mendapat pendidikan Barat di bagian selatan Tapanuli sudah dapat membaca publikasi dan hasil penelitian orang Barat yang tidak memberikan gambaran menguntungkan mengenai ‘suku Batak’,” sebut Perret.

Baca juga:

Infografik indetitas batak

Beberapa peristiwa dapat dijadikan contoh. Pada akhir 1919, beredar sebuah undangan rapat di Medan guna membahas mengenai masalah-masalah adat "bangsa Batak". Menyitir Pewarta Deli 15 Oktober 1919, orang Mandailing menolak turut serta dalam pertemuan tersebut dan menyatakan bahwa pertemuan itu tidak ada sangkut-pautnya dengan adat dan bangsa Mandailing.

Setahun kemudian, polarisasi identitas juga terjadi di Sjarikat Tapanuli – perusahaan yang menerbitkan Pewarta Deli. Dalam suatu pemungutan suara, Perret mencatat, para pemegang saham "Batak" hanya memberikan suara pada orang-orang Batak, sementara para pemegang saham "Mandailing" memberikan suara kepada orang-orang Batak dan Mandailing. Orang Mandailing tidak puas dan mereka pun membentuk sebuah perusahaan sendiri, yakni Sjarikat Mandailing pada Desember 1921.

Diketuai oleh Mohammad Noech, salah satu keputusan pertama Sjarikat Mandailing adalah melarang orang non-Mandailing menjadi anggotanya.

Salah satu peristiwa yang juga menjadi penanda polarisasi Batak dan Mandailing adalah kasus pekuburan Sungai Mati. Pada April 1922, para pengurus pemakaman menetapkan hanya “bangsa Mandailing”, atau yang berasal dari Mandailing, atau pun yang mengaku sebagai Mandailing saja yang boleh dikuburkan di pemakaman yang berstatus tanah wakaf dan digunakan sejak 1889 itu.

Suatu hari di bulan Agustus 1922, orang Batak dari Sipirok dikabarkan sedang melakukan penguburan. Putra mahkota kesultanan Tengku Besar melarang pemakaman tersebut. Tetua para penggali kubur Haji Abdul Majid menentang larangan itu dengan menyatakan bahwa “bangsa Mandailing” tidak ada. Katanya, Mandailing adalah bangsa baru yang hanya ada di Medan.

Pada sore harinya ada sekitar seribu orang Mandailing berjaga mencegah proses pemakaman Batak itu. Setelah ada keputusan dari Istana, jasad orang Batak itu pun akhirnya dikuburkan di luar pemakaman, dekat Sungai Kerah.

Mandailing yang Menyempil di Nagari Minang

Laki-laki yang baru saja menamatkan studinya di Institut Teknologi Bandung itu berbicara pelan di ujung telepon. Kepada Tirto, Asra kembali menjelaskan situasi kampung halamannya yang berada di Kabupaten Pasaman Barat, Sumatera Barat (Sumbar). Sebelum 2003, Pasaman Barat masuk dalam wilayah administrasi Kabupaten Pasaman. Setalah dilakukan pemekaran, Pasaman Barat akhirnya menjadi kabupaten tersendiri.

“Saya menganggap diri saya Mandailing. Saya baca buku Tuanko Rao karya Mangaradja Onggang Parlindungan. Disebutkan di sana ada orang-orang Batak, sekitar 12 suku, yang merantau dan pada akhirnya tinggal dalam wilayah Tapanuli Selatan,” ujar Asra.

Baca juga:

Namun, narasi lain mengenai asal-usul Mandailing juga berkembang. Asra menceritakan, tatkala tinggal di Pasaman Barat orang-orang sebayanya menganggap Mandailing itu bagian dari orang-orang Minangkabau yang dahulu merantau ke wilayah utara (Batak). Anggapan ini berasal-usul dari penjabaran kata “mandailing”. Kata tersebut dianggap berasal dari kata “mandeh” yang dalam bahasa Minangkabau berarti "ibu" dan kata “hiling” yang merujuk pada kata hilang.

Rivalitas antara Mandailing dan Minangkabau pun mencuat ke politik pengelolaan kabupaten. Bupati pertama Pasaman Barat Baharudin adalah orang Minangkabau. Kala dia menjabat, dia mengganti nama kecamatan Simpang Empat menjadi Simpang Ampek. Kata "ampek" adalah ucapan bahasa Minangkabau untuk menyebut angka "empat". Baharudin juga mengganti nama wilayah Air Bangis menjadia Aia Bangih.

“Bupati [Baharudin] juga mengganti pejabat perangkat daerah yang dari Mandailing. Dua kerabat ayah saya [marga Lubis], yang pertama dicopot dari jabatan kepala dinas pendidikan SMA, dan yang kedua dicopot dari jabatan kepala SMPN 2 Lembag Melintang,” ujar Asra.

Setelah Syahiran, yang berasal dari etnis Mandailing, menang di Pemilihan Bupati Pasaman Barat, nama Simpang Ampek dan Aia Bangih kembali menjadi Simpang Empat dan Air Bangis. Adik dari ayah Asra pun kembali diangkat menjadi kepala sekolah.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Husein Abdulsalam

tirto.id - Politik
Reporter: Husein Abdulsalam
Penulis: Husein Abdulsalam
Editor: Zen RS