Menuju konten utama

Pola Penyerangan ke Muslim Ahmadiyah Selalu Sama

Pola penyerangan terhadap muslim Ahmadiyah selalu sama. Seringnya didahului penolakan segelintir kelompok intoleran yang didukung pemerintah daerah.

Pola Penyerangan ke Muslim Ahmadiyah Selalu Sama
Ilustrasi Wawancara Yendra Budiana. tirto.id/Lugas

tirto.id - Surat Keputusan Bersama (SKB) 2 Menteri 3/2008 tentang Ahmadiyah, tak melarang aktivitas ibadah maupun membubarkan muslim Ahmadiyah. Namun aturan ini dipelintir dan melahirkan lebih dari 30 peraturan daerah yang memicu intoleransi. Aturan ini juga menjadi biang terus berulangnya penyerangan brutal ke muslim Ahmadiyah. Hal itu diungkapkan Sekretaris Pers dan Juru Bicara Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), Yendra Budiana.

"Jadi, SKB melahirkan legalisasi persekusi," kata Yendra.

Hasilnya, terjadi peristiwa pembunuhan dan perusakan di Cikeusik pada tahun 2011. Penyebabnya, pemerintah daerah membuat peraturan yang dasarnya SKB 3 Menteri, akan tetapi judulnya diubah menjadi pelarangan aktivitas Ahmadiyah dan pengikutnya. Penutupan paksa masjid muslim Ahmadiyah pun terjadi di berbagai tempat, salah satunya Depok, tanpa melalui keputusan pengadilan. Tindakan intoleran ini kerap disalahpahami dengan istilah "menyegel".

"Yang ada penutupan paksa oleh 30 Perda sejak 2008. Sejak 2008, lebih dari 30 masjid. Tapi, sekarang mungkin sekitar 20 masjid yang tidak bisa dipakai," turunya.

Padahal di berbagai daerah, muslim Ahmadiyah hidup berdampingan dalam keberagaman secara damai. Ini terjadi di Semarang, Banjarnegara, Tangerang, hingga Tasikmalaya.

Sejauh ini, ujar Yendra, pola penyerangan terhadap muslim Ahmadiyah selalu sama. Setidaknya, itu terjadi di Depok, Singaparna, Sukabumi, Banjar, Ciamis, Bekasi, hingga Subang. Seringnya didahului penolakan segelintir kelompok intoleran. Keberadaan mereka berlipat ganda karena tindakan intolerannya didukung peraturan daerah atau yang diistilahkan "SKB lokal". Kemudian mereka menghasut sekelompok orang untuk menyebar ancaman dan kebencian.

"Tahap berikutnya pemda menekan Ahmadiyah untuk menghentikan kegiatan atau menutup masjid atau tidak mencatatkan pernikahan bahkan di beberapa tempat KTP tidak terbit seperti di Kuningan Jabar periode 2021-2016 [saat ini sudah bisa atau selesai]," ujarnya.

Tahap berikutnya, jika masjid sudah ditutup, desakan yang muncul ialah pengusiran melalui tudingan palsu berupa kegiatan Ahmadiyah itu meresahkan atau memicu konflik. Ini terjadi misalnya di Bangka atau Alor.

"Lalu tahap selanjutnya tergantung sikon daerah. Ada yang masih berlanjut ancaman jiwa, ancaman anak dan permpuan dalam kehidupan sehari hari atau di sekolah. Namun ada juga yang lebih seperti api dalam sekam, sengaja digantung isunya seperti di Depok. Nah model yang terakhir ini yang lumayan juga banyak. Isunya sengaja digantung dan kapan saja dibutuhkan akan diaktivasi," ujarnya.

Berikut perbincangan lengkap dalam wawancara khusus Yendra Budiana, bersama Dieqy Hasbi Widhana dan Haris Prabowo dari Tirto serta Debora Sinambela dari Jaring.id, Kamis pekan lalu.

Sejak kapan jemaat Ahmadiyah di Sintang, Kalimantan Barat, mulai bermukim?

Tahun 2004 sudah ada di Sintang. Dibangun masjid pada tahun 2007 dan sampai tahun 2020 tidak ada peristiwa apa pun. Tahun 2020, baru masjid tersebut direnovasi karena dahulu masih semi permanen, ya. Menariknya, pada saat tahun 2020 itu [muslim Ahmadiyah] sudah bertemu dengan Bupati [Jarot Winarno]. Bupati ini menyatakan diperbolehkannya untuk membangun masjid dan pada saat selesai nanti akan diresmikan. Itu pada saat pertemuan dengan Bupati, tapi Bupatinya enggak lama kemudian sakit stroke dan dirawat.

Kemudian, bulan April 2021, lahirlah SKB [Surat Keputusan Bersama] lokal dengan dasar SKB 3 Menteri 2008 [tentang Ahmadiyah]. Walaupun kita tahunya [SKB itu] pada bulan Agustus, karena sebelumnya tidak pernah ada publikasi. Sejak April itulah kemudian, kelompok yang mengatasnamakan, awalnya Persatuan Orang Melayu menjadi Aliansi Umat Islam Sintang, mereka mengirimkan surat audiensi kepada pihak Pemkab [Sintang]. Jadi, SKB lokal naik sejak April 2021.

Dari mana asal-usul dan alasan munculnya SKB ini?

Kami tidak tahu, tiba-tiba langsung ada [SKB lokal] pada bulan Agustus. Pada tanggal 13 Agustus, ada surat dari Aliansi Umat Islam Sintang memberikan ultimatum kepada Pemkab Sintang dalam satu kali 24 jam untuk menghentikan dan membongkar Masjid Miftahul Huda [milik jemaat Ahmadiyah]. Pada tanggal yang sama, dijawab oleh Pemkab Sintang kepada JAI Sintang untuk menghentikan aktivitas. Besoknya, datang dari pihak Pemkab Sintang untuk menutup masjid. Sejak saat itu masjid itu tidak dipakai.

Sebelum muncul perintah hentikan aktivitas, apa ada pembicaraan terlebih dahulu dari pihak Pemkab Sintang?

Tidak ada. Langsung instruksi saja. Jadi, basisnya surat itu berisi instruksi. Pada tanggal 18 Agustus, kita juga baru tahunya belakangan bukan dari pihak Pemkab, keluar Surat Keputusan Bupati yang isinya adalah siaga darurat. Maksud saya artinya, Pemkab secara langsung menyatakan ada potensi [tindakan penutupan paksa oleh massa]. Berarti aparat sudah tahu, dong?

Kemudian, tanggal 27 Agustus keluar lagi Surat Keputusan Pemda yang menyatakan penutupan masjid secara permanen. Sebelumnya 13 Agustus adalah penutupan sementara. Kemudian, mereka melakukan rilis, tapi berubah konsiderannya. Kalau tanggal 13 Agustus basisnya, salah satunya adalah desakan dari masyarakat [Aliansi Umat Islam Sintang], untuk tanggal 27 Agustus konsideransnya adalah IMB. Berubah. Dan mereka men-highlight dalam pers rilisnya atas arahan dari Gubernur Kalimantan Barat [Sutarmidji]. Perlu diketahui bahwa Gubernur yang sekarang [Sutarmidji] adalah orang yang sama dengan yang pernah mengeluarkan peraturan wali kota tentang Ahmadiyah pada saat menjadi wali kota Pontianak.

Maka, pada saat tanggal 3 September pagi itu, pagi-pagi pihak desa sudah memberi tahu warga Ahmadiyah agar tidak keluar rumah. Masjid pada saat itu tidak dipakai, jadi tidak ada korban jiwa. Karena dari tanggal 14 Agustus itu sudah tidak boleh dipakai.

Termasuk ketika jemaat Ahmadiyah beribadah Jumatan?

Tidak ada. Setiap hari kan di rumah. Jadi kalau dinyatakan tidak ada korban jiwa, itu memang tidak ada.

Apakah ada ancaman kepada muslim Ahmadiyah?

Ancaman terhadap warga [Ahmadiyah] tidak ada. Karena dari awal, ancamannya memang ingin merobohkan masjid. Pasti harusnya itu sudah menjadi highlight utama. Sejak pagi aparat sudah berjaga dan melakukan penyekatan sebetulnya. Hampir lebih dari 300 orang termasuk Brimob.

Apa ada peristiwa tertentu sebelumnya yang melahirkan SKB lokal itu?

Tidak ada. Sebetulnya sangat aneh kalau misalnya tidak ada peristiwa sebelumnya, tiba-tiba kemudian SKB. Padahal Ahmadiyah di Sintang hanya 72 orang, itu pun perempuan dan anak-anak kebanyakan dari 22 kepala keluarga. Itu tidak signifikan jika kemudian terjadi peristiwa penyerangan seperti kemarin. Dan di Sintang itu, 60 persennya adalah katolik. Mungkin, teman-teman medialah yang bisa mengelaborasi lebih dalam apa relasi kepentingannya dan relasi aktornya.

Karena kemarin pasca pemeriksaan di Polda, dua orang yang dianggap pelaku oleh polisi, kemudian melakukan video dan mengirimkan video yang menyatakan mereka akan dimediasi oleh Gubernur [Sutarmidji].

Sebetulnya, di berbagai kejadian terhadap Ahmadiyah, hampir tidak pernah tidak, pasti berhubungan dengan masa politik. Ahmadiyah hanya dijadikan injakan isu dengan isu-isu yang lainnya. Makanya, kami sudah sangat bersiap. Misalnya, Pilkada, Pilpres, dan bulan-bulan Ramadhan kami sudah sangat paham akan selalu menjadi politisasi isu. Tapi tidak semua tempat. Mungkin itu satu sisi jika kita bercerita soal persekusi.

Di sisi lain, jika ditanya keberhasilan di daerah lain, apakah sama persis seperti itu hubungannya antara muslim Ahmadiyah dengan masyarakat?

Sebetulnya, hampir di seluruh Jawa Tengah itu tidak ada masalah, bahkan berlangsung kerja sama antara Semarang dan Banjarnegara. Walaupun Jawa Barat itu keras, tapi di Tasikmalaya itu hubungan dan kegiatan bersama masyarakatnya jalan sampai sekarang. Bahkan kemarin baru ingin bekerja sama untuk menjadi tempat vaksin. Mungkin minggu depan itu di daerah Tangerang. Di daerah Tangerang itu tidak pernah ada serangan terhadap kawan jemaat Ahmadiyah, cerita harmonisnya justru lebih banyak.

Ahmadiyah di setiap tempat bermacam-macam hubungannya. Permasalahannya adalah soal tadi, orang yang menyerang itu adalah orang yang jauh, bukan tinggal di sekitar situ. Karena mereka sehari-hari tidak melihat [kegiatan Ahmadiyah] sehingga pada saat diprovokasi akan sangat mudah.

Maka kalau tadi pertanyaannya, bagaimana sebetulnya hal penting yang harus dilakukan? Pertama sebetulnya, kalau kita ngomong soal edukasi, mungkin soal mindset bahwa kita ini hidup setara. Sebagai sama-sama ciptaan Tuhan, sama-sama warga negara Indonesia, basis itu sebenarnya yang perlu diedukasi. Tapi, untuk sampai ke sana sebenarnya jangka pendek yang paling praktis harus dilakukan adalah ruang perjumpaan. Jadi, perbanyak untuk bertemu. Karena berjarak itu menimbulkan praduga-praduga.

Kabarnya Gubernur Sutarmidji sempat bertemu dengan Aliansi Umat Islam di Sintang, 24 jam sebelum penyerangan. Apa itu benar?

Kami memang mendapatkan informasi hari Rabu [1 September 2021] bahwa ada pertemuan antara Gubernur [Sutarmidji], Pemkab Sintang, dan Aliansi Umat Islam. Isi pertemuan itu kan tidak tahu apakah itu terjadi atau tidak, kami tidak tahu.

Apa Gubernur yang sebelumnya tak pernah tahu masalah ini?

Waktu Gubernur Cornelis [periode 2008-2018] itu justru hubungannya baik-baik saja.

Artinya pernah ada kerja sama?

Bukan kerja sama, tapi dari Gubernur itu memfasilitasi kegiatan-kegiatan sosial.

Masih banyak rumah ibadah tak punya IMB. Bahkan Komnas HAM pernah menyebut rumah ibadah tanpa IMB di Indonesia hampir 80 persen. Kenapa Ahmadiyah dipermasalahkan?

Jika tidak ada IMB itu artinya tidak bisa membangun rumah ibadah, berarti kalau seperti itu harusnya berlaku ke setiap kelompok agama dan aliran. Bisa dicek di setiap daerah ada yang tidak memerlukan IMB-nya untuk pembangunan masjid. Maka memang benar ada perlakuan khusus [bagi jemaat Ahmadiyah].

Surat Keputusan Bupati tanggal 27 Agustus yang mempermasalahkan IMB itu bisa dibilang akal-akalan Pemda saja? Karena banyak masjid-masjid di daerah juga tidak pakai IMB.

Betul. Berubah-ubah dasarnya. Pada SKB April 2021, basisnya SKB 3 Menteri tentang Ahmadiyah tahun 2008. Surat Bupati tanggal 13 Agustus itu basisnya adalah tekanan Aliansi Umat Islam. Pada 27 Agustus berbeda lagi, basisnya adalah IMB. Kalau basisnya IMB artinya kan bisa kalau misalnya difasilitasi, dimediasi, atau dibantu untuk proses IMB. Tinggal begitu saja sebenarnya. Kan tugas negara memfasilitasi, sederhananya kan seperti itu.

Apa jemaat sudah pernah proses IMB ke Pemerintah?

Masjid saja ditutup, bagaimana mau diproses?

Apakah pernah diajukan?

Masjidnya ini kan baru di tahun 2020.

Jadi, penolakan itu muncul setelah masjid itu dibangun?

Bukan, tetapi saat mau direnovasi.

Sebelumnya, bentuk masjidnya seperti apa?

Sebelumnya itu dibangun masih dalam bentuk bambu dan kayu, belum permanen seperti sekarang.

Saat terjadi penyerangan, respons aparat kepolisian bagaimana?

Aparat dari awal sebelum terjadi itu mengatakan ingin melindungi. Mereka bilang menjamin, tapi yang terjadi seperti demikian [penyerangan ke masjid].

Itu ada surat resmi atau hanya obrolan saja?

Sebelum peristiwa itu terjadi, kami memberikan surat kepada kepolisian untuk memberikan perlindungan dan memberikan jaminan keamanan sesuai dengan standarnya [kepada Ahmadiyah]. Setiap peristiwa yang sudah kami ketahui, kami pasti mengirim surat kepada Bupati, Pemda, terkait perlindungan jaminan keamanan. Itu sudah kita lakukan. Tapi tidak pernah ada jawaban secara tertulis.

Usai penyerangan, ada proses hukum berjalan. Apakah jemaat memaafkan para pelaku?

Bagi kami, soal memaafkan itu pasti. Tidak usah ditanya lagi. Kami pasti memaafkan. Karena dalam kacamata kami, pelaku [kekerasan] di lapangan, apalagi ada anak-anak, itu hanya korban dari provokasi, baik oleh aktor atau provokator.

Ini bukan penyerangan pertama terhadap muslim Ahmadiyah. Pada 2005, penyerangan juga terjadi di Bogor, Cianjur, Garut, Ketapang, Sulawesi Selatan, hingga NTB....

Kemudian, peristiwa-peristiwa tahun 2005, salah satunya melahirkan SKB 3 Menteri tentang Ahmadiyah tahun 2008 sebagai jalan keluar oleh Pemerintah untuk win-win solution. [Ahmadiyah] tidak bisa dibubarkan karena berbadan hukum dan tidak melanggar hukum, tapi di sisi lain, saat itu [periode Presiden SBY], memang kelompok radikal sedang tinggi-tingginya.

Isi SKB 3 Menteri bisa dicek sama kalian tidak ada larangan [Ahmadiyah]. Berlaku juga kepada masyarakat supaya tidak melakukan tindak main hakim sendiri dan tetap menjalankan ketertiban. Ahmadiyah di situ [SKB 3 Menteri] tidak dilarang, hanya tidak boleh menulis misalnya, Masjid Ahmadiyah, Sekolah Ahmadiyah. Pada faktanya memang itu tidak ada juga.

Apa efek dari SKB 3 Menteri itu terhadap jemaat Ahmadiyah di Indonesia?

Setelah SKB 3 Menteri yang paling fatal adalah peristiwa Cikeusik 2011. Peristiwa ini berbasis SKB 3 Menteri yang dipahami oleh publik adalah sebagai larangan. SKB dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat, tidak ada larangan. Tapi diterjemahkan oleh Pemerintah Daerah sebagai pelarangan. Isinya sama, persis sama. Pemerintah Daerah mengeluarkan Peraturan Daerah yang dasarnya SKB 3 Menteri, di-copy paste oleh Pemda, tetapi judulnya berubah menjadi pelarangan terhadap aktivitas jamaah Ahmadiyah dan pengikutnya. Pada saat publik melihat peraturan daerah, berarti legal dong [pelarangan terhadap Ahmadiyah]?

Maka di benak masyarakat bahwa pihak pemerintah daerah yang berwenang. Kalau Ahmadiyah masih melakukan aktivitas, itu berarti Ahmadiyah dianggap melanggar hukum.

Satu, Ahmadiyah melanggar hukum, berdasarkan peraturan daerah yang dikeluarkan Pemenerintah Daerah. Lalu, dalam pandangan keagamaan, semua orang umumnya, mengacu kepada fatwa MUI kalo Ahmadiyah dianggap sesat. Maka, di mata orang awam ada dua hal, Ahmadiyah melanggar hukum karena tidak mengikuti ketentuan negara dan merujuk kepada MUI alias sesat. Maka, dia [Ahmadiyah] tidak mendapat haknya.

Maka, setelah peristiwa SKB 3 Menteri tahun 2008, melahirkan lebih dari 30 Perda yang menutup paksa masjid Ahmadiyah di seluruh Indonesia.

Media juga selama ini salah ketika menggunakan kata “menyegel”, karena segel itu basisnya merupakan keputusan pengadilan. Ada surat keputusan pengadilan untuk disegel karena misalnya melanggar peruntukan. Lah, ini enggak. Yang ada penutupan paksa oleh 30 Perda sejak 2008. Sejak 2008, lebih dari 30 masjid. Tapi, sekarang mungkin sekitar 20 masjid yang tidak bisa dipakai karena basis itu [Perda 2008]. Jadi, SKB melahirkan legalisasi persekusi.

Peraturan Daerah yang mengacu ke SKB 3 Menteri itu banyak bentuknya?

Banyak, dari mulai Peraturan Gubernur, ada pula Peraturan Walikota. Karena kalau surat kesepakatan bersama itu tidak bisa kita masukkan dalam struktur. Kadang-kadang ada surat kesepakatan bersama tingkat kecamatan, tapi tidak bisa kita masukkan ke dalam struktur hukumnya. Namun, terkadang untuk menutup paksa masjid Ahmadiyah itu berdasarkan surat keputusan bersama tingkat RT. Itu bisa terjadi. Tapi saya hanya memberikan gambaran bahwa basis utama permasalahannya adalah dari SKB 3 Menteri. Yang melahirkan opini publik bahwa legal untuk dilakukan persekusi karena Ahmadiyah melanggar hukum.

Kalau peristiwa konflik, misalnya, terjadi penolakan antara Ahmadiyah dan masyarakat, jauh lebih mudah dibandingan pada saat Ahmadiyah berhadapan dengan pihak pemerintah daerah. Saya ambil contoh di Cianjur. Tahun 2006 sampai 2010 itu lebih parah dari peristiwa di Sintang karena penyerangannya sudah langsung. Bukan lagi terhadap masjid, tetapi terhadap rumah. Rumah sampai ditandai dengan lambang X, mana yang akan diserang, mana yang bukan. Sampai seperti itu.

Jadi, basis legalitasnya apa untuk melakukan itu [penutupan paksa masjid]?

Kalau itu massa. Jadi, massa yang diprovokasi oleh kelompok tertentu. Tetapi, recovery-nya cepat. Jadi, setelah itu, setelah ketahuan, ada tindakan hukum waktu itu dari pihak aparat. Walaupun dihukumnya hanya tiga bulan, ada pula yang enam bulan sehingga jera. Pada saat mereka ditangkap, mereka [Ahmadiyah] merasa tidak apa-apa oleh kelompok yang melakukan provokasinya.

Lalu, lambat laun mereka [massa] melihat kehidupan Ahmadiyah tidak seperti yang telah disampaikan oleh para provokator tersebut. Sampai sekarang, masjidnya dapat digunakan kembali, kehidupan masyarakatnya normal kembali. Padahal bakar-bakarnya lebih parah dari peristiwa di Sintang. Tapi itu lebih mudah recoverynya kalo terjadi kesalahpahaman dengan masyarakat.

Tapi yang menyerang itu masyarakat di sekitar pemukiman Ahmadiyah? Ada pola yang sama dibandingkan penyerangan tempat lainnya?

Polanya kan, selalu orang di sekitar Ahmadiyah. Itu pasti ada. Dia kemudian mengundang dari tempat-tempat yang lain. Jadi, agennya selalu ada yang tidak suka. Misalnya, suatu kelompok ingin memprovokasi Ahmadiyah, dia kan pasti memasukkan orang-orang luar di situ, siapa yang bisa diajak untuk melakukan tindakan [kekerasan] seperti itu.

Sama polanya. Di Depok, Singaparna, Sukabumi, Banjar, Ciamis, Bekasi, Subang polanya sama. Awalnya ada ada penolakan segelintir kelompok massa yang tidak signifikan, kemudian lahir perda atau SKB lokal. Lalu tensi justru meningkat, dengan basis legalisasi berupa perda atau SKB lokal, unjuk rasa dan tekanan serta ancaman oleh kelompok penekan meningkat. Tahap berikutnya pemda menekan Ahmadiyah untuk menghentikan kegiatan atau menutup masjid atau tidak mencatatkan pernikahan bahkan di beberapa tempat KTP tidak terbit seperti di Kuningan Jabar periode 2021-2016 [saat ini sudah bisa atau selesai. Tahap berikutnya, jika masjid sudah ditutup, desakan adalah pengusiran pengikut Ahmadiyah karena dianggap meresahkan atau pemicu konflik, ini terjadi misanyal di Bangka atau Alor.

Lalu tahap selanjutnya tergantung sikon daerah. Ada yang masih berlanjut ancaman jiwa, ancaman anak dan permpuan dalam kehidupan sehari hari atau di sekolah. Namun ada juga yang lebih seperti api dalam sekam, sengaja digantung isunya seperti di Depok. Nah model yang terakhir ini yang lumayan juga banyak. Iisunya sengaja digantung dan kapan saja dibutuhkan akan diaktivasi.

==========

Laporan ini terselenggara berkat kolaborasi media Tirto dan Jaring.id.

Baca juga artikel terkait AHMADIYAH atau tulisan lainnya dari Haris Prabowo

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Haris Prabowo & Dieqy Hasbi Widhana
Penulis: Haris Prabowo