Menuju konten utama

Pokemon GO & Snapchat, Realitas Baru di Masa Depan

Dalam beberapa pekan terakhir, dunia video game disemarakkan dengan munculnya video promosi sebuah game yang cukup membuat para gamer menjadi sangat antusias. Game tersebut berjudul Pokemon GO – sebuah game berbasis dari waralaba brand multimedia legendaris, Pokemon,yang memadukan realitas dunia maya dengan dunia nyata.

Pokemon GO & Snapchat, Realitas Baru di Masa Depan
Pemain bersaing selama turnamen pokemon video game di vancouver. [Foto/Shutterstock]

tirto.id - Mungkin masih ada orang yang merasa asing dengan kata Pokemon. Namun, bagi penggemar film animasi dan video game, nama Pokemon adalah legenda, sama seperti halnya Sonic the Hedgehog, Mario Bros, maupun Legend of Zelda.

Bagi yang masih merasa awam, Pocket Monster atau Pokemon adalah sebutan untuk monster-monster fiksi yang hidup dalam dunia Pokemon. Dalam dunia tersebut, Pokemon hidup di alam liar. Namun, ada pula yang hidup berdampingan dengan manusia.

Singkat cerita, Pokemon yang hidup berdampingan dengan manusia merupakan Pokemon yang telah ditangkap dengan sebuah bola penangkap atau Pokeball dan dilatih. Manusia yang menangkap dan melatihnya lazim disebut dengan Pokemon Trainers. Dalam perjalanannya, para Trainers ini berusaha mengumpulkan Pokemon yang paling kuat untuk mencapai tujuan mereka, merebut gelar Pokemon Master.

Ensiklopedi Britannica mencatat, Pokemon pertama kali lahir ke dunia dalam bentuk video game pada tahun 1995 yang kemudian diluncurkan setahun kemudian di Jepang. Tercipta dari tangan desainer game Satoshi Tajiri, Pokemon dibuat berseri pada platform Game Boy besutan raksasa video game Jepang, Nintendo.

Game tersebut kemudian dirilis di Amerika Serikat pada tahun 1998 dan kemudian meraih sukses besar. Hingga saat ini, Pokemon tercatat sebagai salah satu waralaba video game paling populer di dunia dengan jumlah seluruh penjualan sebesar lebih dari 279 juta kopi, hanya kalah oleh Super Mario Bros, yang juga dibesut oleh Nintendo.

Tanggal 9 September 2015, The Pokemon Company – perusahaan yang bertanggung jawab akan lisensi Pokemon – dalam akun resminya di YouTube, merilis sebuah teaser video untuk serial game terbaru mereka. Video itu menjadi viral, ditonton lebih dari 25 juta kali, dan nama game itu adalah Pokemon GO.

Dijadwalkan dirilis untuk publik pada bulan Juli tahun ini, Pokemon GO menjadi istimewa dan viral karena cara bermainnya yang tidak lazim seperti video game Pokemon yang terdahulu. Dalam video tersebut ditunjukkan seolah-olah Pokemon hadir dalam dunia nyata dan para pemain dapat berinteraksi secara riil dengan mereka.

Mereka dapat menangkap Pokemon, bertarung dengan para pemain lain, bahkan ikut terlibat bersama dalam sebuah event bersama ratusan pemain lainnya untuk mengalahkan sebuah Pokemon legendaris di pusat kota.

Augmented Reality di Sekitar Kita

Adalah Niantic, Inc. – sebuah perusahaan mobile game yang pada awalnya merupakan internal startup di Google dan terkenal dengan game berjudul Ingress – yang didapuk menjadi developer dari game tersebut.

Sebagai catatan, Ingress merupakan game yang mengkombinasikan aksi para pemain yang terlihat dalam layar smartphone mereka dan lokasi nyata di dunia. Para pemain harus mengunjungi tempat-tempat tersebut untuk bermain dalam game itu.

Niantic menggunakan konsep serupa untuk Pokemon GO, sehingga menjadi jelas bahwa Pokemon GO hanya akan dirilis pada platform mobile, dalam sistem operasi iOS maupun Android.

"Ada banyak [elemen] Ingress di dalamnya - gagasan untuk membangun [game tersebut] di sekitar lokasi tertentu, dan lokasi-lokasi tersebut merupakan [elemen] yang memberikan hal-hal yang Anda butuhkan untuk bermain dan menjadi tempat di mana aksi game tersebut dilakukan," sebut John Hanke, Chief Executive Niantic, seperti dikutip dari The New York Times.

Nantinya, para pemain dalam Pokemon GO dapat menangkap Pokemon yang muncul dalam layar smartphone mereka ketika mengunjungi tempat-tempat tertentu, seperti gereja, taman, perpustakaan, maupun stasiun kereta api, di seluruh dunia.

Mereka dapat menangkap Pokemon itu dengan Pokeball virtual, yang kemudian dapat digunakan untuk bertarung untuk mempertahankan gym – tempat untuk melatih Pokemon – milik mereka ataupun merebut gym pemain lain.

Penggabungan antara realitas nyata (tempat geografis) di layar smartphone menggunakan kamera dengan realitas buatan (monster-monster Pokemon) inilah yang disebut dengan teknologi Augmented Reality (AR), atau jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, realitas yang ditambahkan.

The Pokemon Company sendiri mengklasifikasikan genre Pokemon GO sebagai Real World Adventure.

Istilah AR mungkin masih relatif lebih asing daripada Virtual Reality (VR) – yang akhir-akhir ini marak disebut dalam dunia teknologi seiring dengan pengembangan teknologi tersebut – tetapi sebenarnya sudah banyak hadir dalam hidup keseharian manusia.

Tidak seperti VR yang menciptakan dunia virtual secara utuh, AR adalah teknologi yang menempatkan gambar yang dihasilkan komputer pada tampilan pengguna dari dunia nyata, sehingga memberikan tampilan visual gabungan antara gambar visual dengan gambar dari dunia nyata.

Apabila masih sulit untuk dibayangkan, platform sosial media Snapchat mungkin adalah contoh paling sederhana dari implementasi teknologi AR.

Snapchat, tidak dapat dipungkiri, telah menjadi superstar baru platform sosial media. Kemampuannya menyediakan filter foto interaktif menjadi salah satu nilai jual tinggi platform tersebut. Nah, filter inilah yang merupakan bentuk nyata dari wujud teknologi AR.

Celah Keuntungan Augmented Reality

Ide mengenai teknologi AR sebenarnya mulai muncul ke publik sejak sekitar tahun 2002 silam. Seperti dikutip dari The Guardian, ide itu tertuang dalam majalah terbitan Amerika Serikat, Popular Science.

Akan tetapi, AR mulai mendapat tempat nyatanya di dunia dalam beberapa tahun belakangan, seiring perkembangan teknologi yang pesat, terutama perkembangan dunia smartphone.

Pada tahun 2010, Andy Cameron, direktur eksekutif Fabrica, sebuah studio desain interaktif yang bekerja sama dengan Benetton, mengatakan bahwa ia dapat melihat potensi besar AR yang bahkan bisa menghidupkan kembali nasib iklan di media cetak.

"Sebuah halaman komersial, sebuah iklan, di sebuah majalah fashion cukup mahal. Dan dengan teknologi ini [...] berarti bahwa Anda bisa mendapatkan lebih banyak produk [untuk diiklankan] di halaman tersebut," kata Cameron.

"Saya tidak tahu apakah dapat menjual lebih banyak barang [dengan teknologi AR], tetapi tampaknya adalah sebuah hal yang baik jika kita bisa melibatkan orang-orang yang mungkin adalah pelanggan untuk berpartisipasi dalam iklan."

Pernyataan Cameron tersebut ada benarnya. Namun, hingga saat ini, banyak perusahaan yang masih meraba-raba bagaimana dapat meraih keuntungan dari penggunaan teknologi AR, termasuk pemanfaatan AR untuk industri iklan.

Dalam dunia game, Niantic mendapatkan keuntungan melalui game AR-nya yang populer, Ingress, salah satunya melalui skema in-app purchase, yang berarti pemain dapat melakukan pembelian atas item atau status khusus di dalam aplikasi game tersebut. Namun di luar skema itu, semuanya masih merupakan tanda tanya.

Aplikasi AR yang lebih dahulu muncul sebelum Snapchat di Play Store Android, seperti Layar dan Yelp, belum dapat dikatakan sukses, apabila dilihat dari jumlah unduhannya saja.

Snapchat akhir-akhir ini mulai berhasil mendapatkan momentum titik tolak mengenai bagaimana penerapan teknologi AR dapat menguntungkan sebuah perusahaan, sekaligus membuktikan keabsahan dari prediksi Cameron.

Bulan Januari 2016 ini, Snapchat memutuskan untuk menutup Lens Store-nya, sebuah toko virtual tempat para pengguna sosial media tersebut dapat membeli filter foto mereka yang dijual dengan harga rata-rata $0.99, dan memfokuskan diri pada bisnis iklan mereka. Sebagai catatan, menurut laporan Business Insider, Snapchat berhasil menjual puluhan ribu filter per harinya melalui toko yang dibuka sejak November 2015 itu.

Meski pada awalnya strategi itu terlihat tidak terlalu menjanjikan, tetapi Snapchat berhasil memanfaatkan peluang ini. Filter Snapchat, yang kemudian dapat digunakan secara gratis, menjadi sarana bagi brand-brand terkemuka di dunia untuk memasang iklan mereka dan berinteraksi pada tahap yang lebih maju terhadap pasar.

Seperti dikutip dari Business Insider, filter di Snapchat memungkinkan pengguna mengubah kepala mereka menjadi Doritos Locos Taco, atau menuangkan satu kontainer Gatorade ke atas kepala mereka.

"Snapchat berkembang lebih dari sekedar ‘platform media sosial biasa’ dan mungkin bisa menjadi ‘platform social augmented reality’ yang pertama," kata Robert Peck, analis di Sun Trust Robinson Humphrey, pekan lalu.

"Snapchat menggunakan teknologi pengenalan wajah untuk membuat gambar hidup dan interaktif yang dapat dimainkan pengguna sebelum mengambil gambar final," tambahnya.

Filter Gatorade yang dibuat untuk Superbowl adalah contoh nyata dari kesuksesan strategi Snapchat itu.

"Lensa ini sukses besar, menghasilkan lebih dari 165 juta tampilan di Snapchat, dan efek riaknya terasa di setiap platform sosial," kata perusahaan tersebut pada situs web mereka. "Lensa Gatorade membuat merek yang sesungguhnya sudah kuat bahkan lebih disukai."

Sebagai catatan, Business Insider menyebutkan bahwa Snapchat menjangkau 41% dari generasi millenial di Amerika Serikat setiap harinya, dan para pengguna menghabiskan rata-rata 20 detik bermain dengan filter yang disponsori tersebut.

Jika dibandingkan dengan iklan video di YouTube, di mana pengguna dapat melewatkan iklan yang dipasang setelah lima detik, jelas apa yang dilakukan Snapchat jauh lebih efektif dari segi strategi iklan.

Baru-baru ini, sebuah penelitian yang dilakukan Oracle Data Cloud menunjukkan bahwa 92 persen dari kampanye iklan Snapchat mampu secara riil menggenjot penjualan di toko.

Realitas Baru di Masa Depan

Kelihaian Snapchat memanfaatkan peluang, serta keberanian The Pokemon Company melalui pembuatan Pokemon GO mungkin dapat menjadi setitik gambaran akan masa depan yang bisa jadi akan dipenuhi dengan teknologi AR ini.

Raksasa teknologi Microsoft telah menapakkan separuh kakinya ke dalam dunia AR ini dengan serius melalui headset Hololens-nya. Sementara Google saat ini sedang membangun sebuah teknologi scanning ruangan bernama Project Tango.

Meskipun masih dalam tahap pengembangan dan belum menghasilkan profit seperti layaknya Snapchat, banyak pengamat telah terpukau dengan tampilan pratinjau kedua proyek itu.

Apabila momentum ini terus berlanjut, bukan tidak mungkin aksi Tom Cruise dalam film Minority Report tahun 2002 silam menjadi kenyataan. Kita tidak akan dibuat heran lagi ketika melihat orang mengetik dengan keyboard tak kasat mata di udara, atau dalam kasus Pokemon GO, berjumpalitan untuk menangkap seekor Pokemon.

Baca juga artikel terkait TEKNOLOGI atau tulisan lainnya dari Ign. L. Adhi Bhaskara

tirto.id - Teknologi
Reporter: Ign. L. Adhi Bhaskara
Penulis: Ign. L. Adhi Bhaskara
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti