Menuju konten utama

Pohon di Sudirman-Thamrin Ditebangi, Polusi Meningkat

Padahal, satu pohon mahoni dapat menyerap 28.488 kilogram karbondioksida per tahun.

Pohon di Sudirman-Thamrin Ditebangi, Polusi Meningkat
Anggota Koalisi Pejalan Kaki, KPBB dan Thamrin School Of Climate Change melakukan aksi peluk pohon di Jalan Jendral Sudirman, Jakarta, Jumat (22/9/2017). ANTARA FOTO/Makna Zaezar

tirto.id - Jumat petang di bilangan Jalan Jendral Sudirman, Jakarta Pusat. Cahaya matahari mulai kemerahan saat Indri (28 tahun) melangkahkan kaki dengan tergesa. Hidung dan mulutnya ditutup masker.

“Sekarang kalau pulang kerja kayak gini: panas,” keluhnya saat berbincang dengan Tirto di sela aktivitas memesan ojek daring, Jumat (6/10).

Sejak sejumlah proyek ambisius seperti pembangunan Mass Rapid Transit (MRT), Light Rail Transit (LRT), dan infrastruktur Asian Games diberlakukan di Jakarta, cuaca panas dan kepulan asap kendaraan memang terasa lebih menyengat kulit dan menyesakkan napas.

Kondisi ini terjadi lantaran proyek-proyek itu telah mengorbankan puluhan ribu batang pohon yang selama ini menjadi payung sekaligus penyaring udara alami warga dari sengatan matahari dan polusi asap kendaraan.

Untuk proyek restorasi pedestrian (jalur pejalan kaki) sepanjang 7,5 km di Jalan Jendral Sudirman hingga Jalan M.H Thamrin misalnya Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mesti menebang sekitar 1.670 batang pohon di kawasan tersebut.

Bagi Indri, upaya pemerintah itu mengherankan sekaligus tak masuk akal. Sebab jumlah pohon di Jakarta sudah sangat sedikit. Apalah arti perbaikan pedestrian jika orang-orang harus melangkah dalam sengatan udara panas dan polusi kendaraan yang kian menjadi.

“Kalau ditebang, ditanam lagi kan lama. Udaranya sudah kayak gini, kita mau napas saja enggak enak,” kata dia.

Perasaan yang sama juga dirasakan Rey (27). Karyawan yang bekerja di Indofood tower ini mempertanyakan langkah pemerintah menebang ribuan pohon tersebut. Sebab, jalan itu sudah terasa panas meski tanpa pohon.

“Kalau bisa sih jangan ditebang. Karena enggak enak. Sekarang saja sebagian sudah ditebang untuk MRT. Makin panas,” katanya.

Meski pedestrian untuk kepentingan publik, Rey meminta pemerintah cermat dalam menerapkan kebijakan. Ia meminta pemerintah konsisten merealisasikan standar minimal ruang terbuka hijau (RTH) di Jakarta. “Di negara lain juga jarang ada pohon di jalan protokol. Tapi mereka punya banyak taman. RTH-nya banyak," ujarnya.

Baca juga:

Berkurangnya Penyerap Karbondioksida

Kepala Bidang Kehutanan Dinas Perhutanan, Pertamanan dan Pemakaman Jaja Suarja berjanji akan menanam kembali pohon yang ditebang di sepanjang Jalan Sudirman hingga Jalan Thamrin.

Ia mengatakan, pihaknya telah meminta Bina Marga untuk memberikan ruang yang dapat ditanami pohon dengan jarak 5-6 meter. Jenis pohon yang akan ditanam di antaranya sawo kecik, tanjung, dan kencana. "Karekteristik dia punya akar tunggang. Jadi enggak masuk ke tanah dan merusak trotoar," sebut Jaja.

Sementara pembatas jalur hijau dan trotoar akan ditanami dengan bunga merak, bougenville, dan pucuk merah. "Jadi bukan hanya pohon. Ada tanaman-tanaman juga contoh yang sudah ada itu seperti yang di Monas (Jalan Merdeka Selatan)," imbuhnya.

Anggota Komisi D DPRD DKI Jakarta Bestari Barus meminta pembangunan pedestrian dibuat terintegrasi dengan RTH. Sebab, kata Bestari, hingga saat ini Pemprov DKI masih berhutang 10 persen lebih untuk memenuhi kebutuhan RTH di seluruh Jakarta.

"Saya sudah sampaikan ke Dinas Bina Marga, dalam membuat trotoar jangan dimatikan tanahnya. Kalau dibeton, kan, mati. Saya sarankan pakai bahan-bahan ramah lingkungan. Kan kita lihat selama ini mati, tidak jadi serapan," ujarnya.

Deputi 1 Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Jakarta Ardi menjelaskan, pohon-pohon yang ada sepanjang Sudirman-Thamrin terdiri dari trembesi dan mahoni. Dua jenis pohon itu, kata dia, memiliki daya serap karbondioksida cukup tinggi.

Pohon mahoni, dapat menyerap 28.488 kilogram karbondioksida per tahun. Sementara kemampuan serap Pohon trembesi, mencapai 295,73 kilogram per tahun. Jika diganti dengan pohon sawo kecik dan tanjung, menurut Ardi, daya serap karbondioksida juga akan berkurang. Sebab, daya serap dua tanaman tersebut tidak sebesar dengan mahoni dan trembesi.

"Sawo kecik 36,19 (kilogram per tahun) dan trembesi 34,29 (kilogram per tahun)," ujarnya

Kendati demikian, ia belum bisa memaparkan lebih jauh dampak negatif dari hilangnya pohon-pohon tersebut. Yang jelas, ujar Ardi, "pasti karbondioksida itu meningkat karena tidak ada penyerapan."

Baca juga:

Baca juga artikel terkait POLUSI UDARA atau tulisan lainnya dari Hendra Friana

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Hendra Friana
Penulis: Hendra Friana
Editor: Jay Akbar & Maulida Sri Handayani