Menuju konten utama

PN Makassar Tolak Praperadilan Tersangka Pembakaran Ambulans Nasdem

Pembakaran itu diduga dilakukan saat aksi mahasiswa menolak UU Ciptaker pada 23 Oktober 2020.

PN Makassar Tolak Praperadilan Tersangka Pembakaran Ambulans Nasdem
Warga menyiramkan air pada mobil ambulans yang dibakar pengunjuk rasa di depan kampus Universitas Negeri Makassar (UNM), Makassar, Sulawesi Selatan, Kamis (22/10/2020). ANTARA FOTO/Abriawan Abhe/foc.

tirto.id - Hakim Pengadilan Negeri Makassar menolak praperadilan yang diajukan Supianto alias Ijul, mahasiswa yang menjadi tersangka kasus pembakaran ambulans Partai Nasdem, Rabu (2/12/2020). Pembakaran itu diduga dilakukan saat aksi mahasiswa menolak Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) pada 23 Oktober 2020.

Ijul menggugat Kapolrestabes Makassar terkait penetapan tersangka, penangkapan, dan penahanan yang diduga dilakukan secara sewenang-wenang. Sidang Praperadilan tersebut bernomor perkara: 23/Pid.Pra/2020/PN.Mks.

Wakil Direktur LBH Makassar selaku penasihat hukum Ijul, Edy Kurniawan Wahid mengatakan dalam pertimbangannya hakim menyatakan bahwa termohon sudah memeriksa 14 saksi dan tersangka. Lantas polisi menyita barang bukti berupa mobil dan mixer dalam keadaan rusak.

"Berdasarkan pertimbangan ini, kemudian hakim menyatakan termohon telah menetapkan pemohon sebagai tersangka sesuai dengan prosedur, dan untuk itu surat penetapan tersangka, penangkapan dan penahanan dinyatakan sah. Maka permohonan pemohon ditolak," ujar Edy kepada Tirto, Rabu (2/12/2020).

Edy merasa pertimbangan hakim sumir karena tidak ada uraian secara detail atas dasar pertimbangan, terutama mengenai jenis-jenis alat bukti yang sah menurut Pasal 184 ayat (1) KUHAP yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa.

Padahal, putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015 menyebutkan bahwa syarat penetapan tersangka harus didukung minimal 2 alat bukti yang sah menurut Pasal 184 ayat (1) KUHAP.

Sehingga, lanjut Edy, pertimbangan hakim sumir dan keliru karena penggunaan alat bukti berupa “keterangan terdakwa” merupakan kewenangan hakim pada persidangan pokok perkara, bukan kewenangan penyidik.

"Lagipula, status pemohon dalam kasus ini masih sebagai tersangka bukan terdakwa," jelas Edy.

Berdasarkan fakta persidangan, Edy menilai Kapolrestabes Makassar telah bertindak sewenang-wenang lantaran dianggap Dalam telah melanggar perundang-undangan, yaitu:

1. Kapolrestabes Makassar menetapkan Ijul sebagai tersangka, tapi menangkap dan menahannya berdasarkan satu alat bukti. Dalam perkara ini keterangan saksi dijadikan alat bukti. Namun polisi gagal membuktikan satu alat bukti lainnya seperti keterangan ahli dan bukti surat sebagai syarat penetapan tersangka, penangkapan dan penahanan;

2. Kapolrestabes Makassar tidak pernah memeriksa Ijul sebagai calon tersangka, tapi langsung ditetapkan sebagai tersangka yang kemudian ditangkap dan ditahan.

"Syarat minimal dua alat bukti dan pemeriksaan calon tersangka dilakukan demi transparansi dan perlindungan hak asasi pemohon, agar sebelum ditetapkan sebagai tersangka dapat memberi keterangan secara seimbang," terang Edy.

Edy mengatakan semestinya hakim dapat memutuskan bahwa surat penetapan tersangka, surat perintah penangkapan dan surat perintah penahanan terhadap Ijul adalah tidak sah. Hakim dapat memerintahkan Kapolrestabes Makassar untuk segera membebaskan Ijul dari status tersangka dan penahanan.

Kasus ini bermula ketika mahasiswa berdemonstrasi tolak Omnibus Law di sekitar Universitas Negeri Makassar. Malam itu, mahasiswa dan aparat bentrok.

Kantor Partai Nasdem Kota Makassar dirusak dan satu ambulans milik partai itu diduga dibakar massa.

Baca juga artikel terkait DEMO UU CIPTA KERJA atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Hukum
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Gilang Ramadhan