Menuju konten utama

Plus Minus Rencana Minimarket Masuk Pesantren

Pemerintah mendukung program toko ritel modern khususnya minimarket masuk pesantren. Tujuannya mulia agar "ekonomi umat" bisa lebih baik tapi ada catatan-catatan soal rencana ini.

Plus Minus Rencana Minimarket Masuk Pesantren
Ilustrasi: Sejumlah santri mengikuti apel Hari Santri Nasional di Monumen Arek Lancor, Pamekasan, Jatim, Sabtu (22/10). Peringatan Hari Santri diikuti ribuan santri dari sejumlah pondok pesantren di Pamekasan. ANTARA FOTO/Saiful Bahri/kye/16

tirto.id - "Kita membangun infrastruktur di seluruh tanah air. Kita... harus terus meningkat ekonomi bangsa kita, khususnya ekonomi umat," kata Jokowi saat memperingati Isra Miraj di Istana Bogor, Selasa (10/4) kemarin, dikutip dari Antara.

Poin penting dari ucapan Presiden Jokowi adalah soal "ekonomi umat". Istilah yang belakangan ini kian populer, dalam pencarian di Google, "ekonomi umat" mencapai 3.820.000 hasil (0,45 detik).

Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) dan Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) juga bicara soal "ekonomi umat". Kedua organisasi profesi ini menjabarkan ekonomi umat dengan cara berupaya mendirikan toko retail modern seperti minimarket di lingkungan pesantren.

Gagasan ini mendapat dukungan pemerintah. Menteri Perdagangan (Mendag) Enggartiasto Lukita mengklaim program ini adalah bagian dari upaya mengatasi kesenjangan ekonomi. Ia juga mengatakan Presiden Jokowi memang memerintahkannya.

"Semua ini sebenarnya adalah melaksanakan perintah presiden kepada kami mengenai ekonomi berkeadilan, meningkatkan ekonomi umat," kata Enggartiasto dalam jumpa pers di kantornya, Jakarta, Senin (9/4) lalu.

Sistem toko retail modern pada umumnya, harga jual, marjin, dan arus keuangan secara umum sudah diatur dengan sistem pembukuan modern. Enggartiasto berpendapat pola semacam ini bakal memunculkan persaingan usaha yang sehat.

Rencananya Jokowi akan meresmikan 10 toko retail pertama di lingkungan pesantren pada Mei 2018. Sejumlah pihak yang menyatakan siap berkontribusi adalah Alfamart, Indomaret, Hypermart, Transmart, dan Super Indo.

"Sasaran gerai [pangsa pasar] itu nantinya bukan hanya melayani pesantren saja. Karena terlalu kecil secara ekonomis. Kami juga mau meningkatkan kegiatan ekonomi di pesantren tersebut," ungkap Enggartiasto.

Ketua Umum Aprindo Roy Mandey, menjelaskan ada beberapa hal yang akan didukung oleh anggotanya terhadap program ini. "Yang kami lakukan ada tiga hal sebagai bentuk kerja sama: sistem akan kami dukung dengan yang sudah baku, SOP (Prosedur Operasi Standar), dan standar pelayanan," ujar Roy.

Ia juga mempertegas apa yang dikatakan Enggartiasto. Menurut Roy, program ini untuk mendorong pelaku usaha kecil dan menengah lebih "melek teknologi" sekaligus memberdayakan komunitas pesantren. Spesifiknya, selain mendirikan gerai, mereka juga bakal mendidik para santri lewat pendidikan vokasi dan peningkatan literasi.

Saat toko retail modern ada di pesantren, maka bisa jadi fasilitas penunjang bagi santri yang ingin berwirausaha. Diharapkan mereka bisa belajar langsung membangun usaha dan melihat apa saja masalah yang muncul serta bagaimana menyelesaikannya.

Infografik current issue ada alfa di persantren

Pernah Difatwa Haram

Program wirausaha seperti keberadaan toko retail modern seperti minimarket memang bisa jadi sarana untuk pengembangan ekonomi mikro. Namun, masalahnya minimarket khususnya pernah mendapat catatan tak menyenangkan di banyak daerah terutama imbasnya pada toko tradisional.

Pada 7 Desember 2016, Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Tengah (Jateng) mencapai kesepakatan fatwa bahwa pemerintah haram bila memberikan izin usaha retail modern yang diduga kuat akan berdampak negatif terhadap pedagang tradisional atau toko kelontong.

Fatwa tersebut diputuskan melalui musyawarah hukum Islam (bahtsul masail) yang diikuti semua Pengurus Cabang NU dan perwakilan pondok pesantren se-Jawa Tengah di Pondok Pesantren Al-Asnawi Kabupaten Magelang.

“Dalam hukum Islam dinyatakan bahwa pemerintah dalam memberikan keputusan harus berpijak kepada kepentingan rakyat, tasharruful imam manuthun bil mashlahatir ra’iyyah. Karena itu jika pemberian izin berdampak pada kerugian yang dialami oleh pedagang-pedagang kecil maka izin tidak boleh dikeluarkan. Para pedagang kecil ini menempati jumlah mayoritas,” kata Wakil Katib Syuriah PWNU Jawa Tengah Hudallah Ridwan seperti dikutip dari laman nujateng.com.

Beberapa riset memang menunjukkan demikian. Reza Haditya Raharjo dari Universitas Diponegoro dalam penelitian berjudul "Analisis Pengaruh Keberadaan Minimarket Modern Terhadap Kelangsungan Usaha Toko Kelontong di Sekitarnya (2015) (PDF) mengatakan bahwa kemunculan toko retail modern membuat toko kelontong mengalami "penurunan tingkat omzet, keuntungan, dan jumlah pembeli." Selain itu "para pedagang mengubah jam buka tokonya guna mencapai pendapatan yang maksimal."

Melita Iffah, Fauzul Rizal dan Nindya Sari dari Universitas Brawijaya dalam Jurnal Tata Kota dan Daerah tentang "Pengaruh Toko Modern Terhadap Toko Usaha Kecil Skala Lingkungan" (2010) (PDF) menyimpulkan kalau "semakin jauh toko usaha kecil terhadap minimarket, pengaruh yang ditimbulkan akan semakin kecil" begitu juga sebaliknya. Semakin dekat dengan minimarket, maka toko kecil bakal lebih merugi. Hal-hal semacam ini yang jadi perhatian dari Asosiasi Usaha Mikro Kecil Menengah Indonesia (Akumindo).

Ketua Umum Akumindo Ikhsan Ingratubun mengatakan toko retail modern tidak cocok ada di lingkungan pesantren. "Sudahlah. [Toko retail modern] cukup di jalan-jalan besar saja. Biar ada porsinya masing-masing," kata Ikhsan kepada Tirto, Selasa (10/4).

Ikhsan menilai pelaku UMKM belum butuh sistem yang lebih modern seperti yang ditawarkan HIPMI dan Aprindo. Soalnya, karakter UMKM berbeda dengan toko retail modern.

"Kalau retail modern kan butuh sistem karena harus menyimpan stok. Sementara untuk yang tradisional, barang masuk langsung jual," kata Ikhsan.

Ikhsan meminta agar program toko retail di pesantren dikaji ulang. Ia menilai kebijakan ini justru tidak berpihak pada pelaku UMKM. Ikhsan menduga kebijakan ini bukan sekadar meningkatkan ekonomi umat. Ia berpendapat ada kepentingan politik.

Senada dengan Ikhsan, Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PBNU), Rumadi Ahmad, juga punya catatan kritis soal rencana ini. Ia berpendapat jangan sampai pemerintah hanya menjadikan pesantren sebagai objek pasar semata.

Rumadi memang tidak sepenuhnya meragukan niat pemerintah untuk memberdayakan umat. Ia akan semakin percaya bila toko retail mau bekerja sama dan memberdayakan perekonomian, bukan hanya orang pesantren, tapi juga warga sekitar.

"Harus dipastikan retail bukan menghisap ekonomi warga di sekitar pesantren," kata Rumadi kepada Tirto.

Ia menekankan seharusnya pemerintah punya pilihan lain guna meningkatkan ekonomi umat. Misalnya dengan memberikan pendampingan dan pelatihan langsung ke para santri untuk menjalankan roda bisnis. Selain rencana pengembangan toko retail di pesantren, pemerintah juga menggandeng pesantren dalam program pembiayaan seperti Bank Wakaf Mikro (BWM) yang sedang digalakkan pemerintah.

Baca juga artikel terkait RITEL atau tulisan lainnya dari Damianus Andreas

tirto.id - Bisnis
Reporter: Damianus Andreas
Penulis: Damianus Andreas
Editor: Rio Apinino