Menuju konten utama

Plin-plan Nama Omnibus Law RUU Cilaka

RUU Cipta Kerja sebelumnya bernama Cipta Lapangan Kerja alias Cilaka. Kini namanya mau diganti lagi.

Plin-plan Nama Omnibus Law RUU Cilaka
Ratusan buruh mengikuti aksi unjuk rasa di halaman Kantor DPRD Kabupaten Tangerang, Tigaraksa, Kabupaten Tangerang, Banten, Rabu (29/1/2020). ANTARA FOTO/Fauzan/pd

tirto.id - Ketua Umum DPP Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia (HIPPI) DKI Jakarta Sarman Simanjorang mengeluarkan komentar yang bikin heboh saat rapat dengar pendapat umum (RDPU) pembahasan RUU Cipta Kerja bersama Badan Legislasi DPR RI, Senin (27/4/2020) lalu. Ia mengusulkan nama 'Cipta Kerja' diubah karena sudah kadung buruk di mata serikat buruh dan seakan-akan hanya bicara peraturan soal perburuhan dan ketenagakerjaan.

"Padahal [RUU] ini ada 11 klaster. [Klaster ketenagakerjaan] hanya satu di antara 11. Apakah sejak awal pemerintah tidak memikirkan nama ini?" kata Sarman, dengan nada keras.

Pengusaha ini lantas mengusulkan agar nama peraturan "diganti saja menjadi RUU Kemudahan Berusaha dan Investasi." "Sehingga fokus tidak diributkan oleh teman-teman serikat pekerja dan terbangun opini bahwa RUU ini untuk kepentingan dunia usaha secara garis besar," katanya.

Rapat pembahasan berlangsung kurang lebih tiga jam. Hadir dalam pertemuan tersebut Rektor Universitas Prasetya Mulya Djisman Simandjuntakn, Kepala Departemen Ekonomi CSIS Yose Rizal, dan Sarman sendiri.

Usulan Sarman ini lantas direspons positif oleh beberapa anggota Badan Legislasi DPR RI. Salah satunya dari anggota Fraksi PDIP, Arteria Dahlan.

"Saya ini senang dengan [usulan] Pak Sarman... Ini bukan Cipta Kerja, ini Undang-Undang Kemudahan Berinvestasi namanya," kata Arteria.

Ia setuju nama RUU berubah karena muatan Cipta Kerja sangat sedikit sekali yang "terkait dengan lapangan kerja seluas-luasnya dan penciptaannya."

Wakil Ketua Badan Legislasi DPR RI, Willy Aditya, menegaskan nama RUU memang dapat diganti. Ia bahkan mengusulkan nama pula.

"Ini prinsipnya kemudahan berinvestasi dan kemudahan perizinan. Maka kemudian kalau kita mau ke sana, ya UU-nya berganti nama menjadi RUU omnibus law tentang Kemudahan Berinvestasi dan Debirokratisasi Perizinan, atau ada yang usulkan [RUU] Pembangunan Ekonomi Baru," kata Willy, Selasa (28/4/2020).

Ganti Nama Terus Bukti Tak Becus

RUU ini sebenarnya sudah pernah berganti nama. RUU ini awalnya bernama Cipta Lapangan Kerja yang kerap digembor-gemborkan oleh Presiden Joko Widodo dan beberapa pembantunya di kabinet seperti Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Menko Perekonomian Airlangga Hartarto. Nama ini sudah disahkan di dalam daftar RUU Prolegnas Prioritas 2020 oleh DPR RI, 16 Januari lalu.

Serikat buruh, yang sedari awal telah menolak keberadaan peraturan ini, meringkas nama Cipta Lapangan Kerja jadi 'Cilaka'. Pemerintah yang tidak suka dengan singkatan ini karena mirip dengan kata 'celaka'--dianggap berasosiasi negatif--lantas mengubah namanya jadi 'Cipta Kerja' saat menyerahkan draf RUU dan naskah akademik ke DPR, 12 Februari lalu.

"Judulnya adalah Cipta Kerja. Singkatannya Ciptaker. Jangan dipleset-plesetin," kata Menko Airlangga.

Bagi pengajar ilmu politik pemerintahan dari Universitas Al-Azhar Indonesia Ujang Komaruddin, gonta-ganti nama tidak lain menunjukkan bahwa baik pemerintah dan DPR tidak siap merumuskan RUU kontroversial ini.

"Dikritik publik karena dari namanya saja sudah ada 'cilaka'-nya, akhirnya diubah jadi RUU Cipta Kerja. Dapat kritik lagi, lalu diubah jadi RUU Kemudahan Investasi. Ini lucu saja. Seperti main-main dalam membuat rumusan UU," kata Ujang kepada wartawan Tirto, Rabu (29/4/2020) sore.

Ujang juga menilai ubah nama RUU ini juga membukti kalau memang pemerintah dan DPR tak aspiratif. Ia menilai substansi peraturan ini bermasalah, dan karenanya ditolak masyarakat. Maka yang perlu dilakukan pemerintah dan legislatif adalah mencabut dan membatalkan peraturan itu, "bukan diubah-ubah judulnya lalu dipaksakan untuk dibahas sembunyi-sembunyi dan digolkan."

Dari perspektif lingkungan, peraturan ini dianggap hanya akan memperburuk krisis iklim dan sebatas menguntungkan pengusaha batu bara. Bagi yang lain, peraturan ini dianggap abai terhadap kepentingan kaum perempuan, alis tidak berperspektif gender.

Sementara bagi buruh, pasal-pasal di RUU Cipta Kerja menghilangkan banyak hak yang diatur dalam UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan, mulai dari urusan cuti hingga pesangon. Selain itu, karena RUU Cilaka memperluas penerapan sistem kerja kontrak dan outsourcing, maka buruh akan semakin mudah direkrut dan mudah pula di-PHK. Dengan kata lain, akan semakin rentan.

Gonta-ganti nama RUU juga menunjukkan kalau DPR gagal memahami spirit utama RUU ini, yaitu menciptakan lapangan kerja "untuk memastikan pemenuhan hak atas penghidupan yang layak bagi setiap warga negara," kata peneliti dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus.

"Itu yang harus menjadi acuan DPR dalam proses pembahasan, mestinya. Urusan lain, [misalnya] terkait investasi, bukan misi utama RUU ini," katanya.

Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati mengatakan ganti nama seperti ini "sangat ajaib" dan hanya mempertegas pendapat kalau peraturan ini memang "tidak layak dibahas."

"Judulnya sudah manipulatif. Judulnya Cipta Kerja, tapi isinya banyak membahas hal lain. Apa enggak kebalik?" katanya, retoris.

Baca juga artikel terkait OMNIBUS LAW atau tulisan lainnya dari Haris Prabowo

tirto.id - Hukum
Reporter: Haris Prabowo
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Rio Apinino