Menuju konten utama

'Platonic Parenting': Menjadi Orangtua Tanpa Perlu Menikah

Memiliki anak dan membesarkannya bersama partner tanpa menikah, mungkinkah?

'Platonic Parenting': Menjadi Orangtua Tanpa Perlu Menikah
Ilustrasi platonic parenting. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Oscar Wilde, dalam The Picture of Dorian Gray, pernah menulis: “Jangan pernah menikah, Dorian. Laki-laki menikah karena mereka lelah, wanita, karena penasaran: keduanya kecewa.”

Ada begitu banyak kisah mengenai orang-orang yang menyesal karena telah menikah. Hidup yang jadi serba kaku, kebebasan yang terenggut, atau letih dengan sekian kompromi yang tak habis-habis. Akibat ketakutan-ketakutan yang masih berupa tanda tanya itu, tidak sedikit orang memutuskan untuk tidak menikah lalu hidup sebagai pesakitan yang kesepian.

Ada pula segelintir orang yang memilih tidak menikah, namun ingin memiliki anak dan membesarkannya seperti orang tua pada umumnya. Untuk “mengakali” hal ini, mereka akan mencari mitra atau partner mutual tanpa melibatkan perasaan cinta satu sama lain. Inilah salah satu gaya hidup masyarakat modern yang belakangan ini lazim disebut dengan istilah Platonic parenting.

Secara sederhana, ‘Platonic Parenting’ adalah istilah untuk mendefinisikan orang-orang yang tidak terlibat hubungan romantis, lalu memutuskan untuk membesarkan anak bersama-sama.

Ada sekian alasan mengapa orang memutuskan untuk mengasuh anak secara Platonic parenting. Meski bukan faktor utama, tapi pilihan untuk menempuh hal tersebut dapat dipicu oleh kaum LGBT yang memutuskan untuk berkumpul dan membentuk keluarga yang berangkat dari rumah tangga heteroseksual tradisional.

Tahun 2014, sebagaimana diwartakan video BBC, ada seorang perawat pria bernama Charles Bourne yang sudah tinggal dengan suaminya, Lynn Good Heller, di Philadelphia, Amerika Serikat. Ketika pasangan tersebut memutuskan serius untuk memiliki anak, mereka berpikir untuk mengadopsi. Tapi Bourne dan Heller berubah pikiran ketika salah seorang kolega memberitahu mereka situsweb bernama Modamily, sebuah “layanan jejaring sosial yang memfasilitasi perkenalan antara calon orang tua yang siap untuk memiliki anak.”

Merasa tertarik dengan layanan yang ditawarkan Modamily, Bourne dan pasangannya pun membuat profil di sana. Singkat cerita, pada bulan september 2015, Bourne pun dikontak oleh salah seorang pengguna layanan di Modamily lain: Nisha Nayak, psikolog perempuan berusia 40 tahun. Pertemuan pun dilakukan keduanya selama beberapa bulan berikutnya, membicarakan keinginan bersama mereka untuk menjadi orangtua. Ketika mereka telah bersepakat, Nayak lantas menjalani proses in vitro fertilisation (IVF) atau yang sering disebut bayi tabung.

louis

Dalam beberapa kali percobaan, proses IVF yang dilakukan Nayak selalu mengalami kegagalan. Namun Bourne yang tak patah arang terus menyemangatinya untuk mencoba untuk yang terakhir kali. Dan hasilnya tak sia-sia: Nayak berhasil mengandung anak kembar fraternal yang kini telah berusia dua tahun: Ella dan Vaughn. Jadwal pengasuhan pun dibagi dua seperti piket kerja: Nayak di malam hari, sementara Bourne dan suaminya di pagi hari.

Kisah lainnya juga dialami oleh Tatijana Busic (42), seorang konsultan bisnis, dan Brendan Schultz (45), seorang administrator di suatu universitas di Toronto. Busic sudah memiliki seorang putri dari suami sebelumnya. Namun ketika ia berkenalan dengan Schultz di situs jejaring sosial seperti Modamily--yang berujung dengan pertemuan langsung--, dia kepikiran punya seorang anak lagi.

"Kami berjabat tangan dan kemudian berpelukan, dan saya langsung tahu bahwa kami akan melakukan hal yang menyenangkan," kenang Tatijana seperti dilansir Todays Parent.

Pertemuan selanjutnya terjadi di Christmas Market yang berada di distrik Distillery, Toronto. Kali ini Tatijana tidak sendirian. Ia membawa serta Isadora, putrinya, untuk bertemu Brendan. Berselang beberapa minggu kemudian, giliran Brendan yang mempertemukan orangtuanya dengan Tatijana dan Isadora. Sesuai pertemuan ini, hubungan Brendan dan Tatijana kian intim.

Sekitar enam bulan lewat, Brendan memberanikan diri mengajak Tatijana untuk memiliki anak. Tatijana setuju. Setelah melewati berbagai proses yang kurang lebih sama dengan yang dialami Bourne dan Nayak, Tatijana pun hamil. Dan pada musim panas 2016, seorang bayi dari perpaduan sperma laki-laki gay dan sel telur perempuan hetero, telah lahir.

Ia diberi nama Milo.

Kendala dan Kritik terhadap Platonic parenting

Pola Platonic parenting ini tidak terlepas dari kritikan dan masalah. Terlebih, pola tersebut terhitung masih baru dalam masyarakat modern dewasa ini.

Dalam artikel berjudul "Sperm Donor, Life Partner" yang ditayangkan The Atlantic, W. Bradford Wilcox, direktur National Marriage Project, sebuah lembaga dari University of Virginia yang fokus pada isu pernikahan, mengatakan bahwa pola asuh Platonik ini rentan menciptakan ketidakstabilan, yang bisa berefek buruk bagi anak-anak.

Wilcox mengkhawatirkan, pola asuh orangtua platonis yang tanpa melibatkan perasaan romantis (termasuk peniadaan hubungan seksual) satu sama lain, hanya dapat bertahan sebentar saja. Hubungan seksual yang sehat dapat berkontribusi pada ikatan emosional dan fisik dalam relasi orangtua secara jangka panjang. Orang tua platonis, bagi Wilcox, tidak akan memiliki hubungan seperti itu.

"Kekhawatiran saya tentang pola asuh platonis adalah pengaturan seperti itu tidak akan bertahan lama. Dalam kebanyakan kasus, salah satu atau kedua pihak akan mengembangkan daya tarik non-platonis kepada orang lain dan melanjutkan hidup mereka dengan orang tersebut,” jelas Wilcox.

Infografik Platonic parenting

Infografik Platonic parenting

Kekhawatiran yang cukup serupa juga dirasakan Glenn Stanton, direktur Family Formation Studies di Focus on the Family. Tak hanya persoalan seksualitas, bagi Stanton, anak-anak dari orang tua platonis akan kehilangan (atau tidak merasakan) bagian organik dari hidup dengan seorang ibu dan ayah yang bekerja bersama untuk membesarkan mereka.

"Mengasuh anak bukanlah perkara pembagian waktu. Ini adalah sesuatu yang harus Anda miliki sepenuhnya dan penuh waktu,” ujarnya, merujuk kepada persoalan jatah pengasuhan anak yang sering menjadi kesepakatan dalam pola ‘Platonic Parenting’.

Dalam konteks negara, juga belum jelas bagaimana peraturan mengenai pola asuh Platonik ini. Salah satu rujukan yang menarik dapat ditinjau dari peraturan daerah di Ontario, Kanada.

Sejak Januari 2017 lalu, pemerintah daerah setempat telah mengesahkan legitimasi sosial dan hukum yang mengatur dua orang tanpa ikatan romantisme memutuskan untuk membesarkan anak bersama-sama atau disebut “pengasuhan bersama secara elektif”. Aturan ini dinamakan Ontario's All Families Are Equal Act. Ini juga berlaku bagi orang tua kandung untuk melakukan perjanjian pra-konsepsi demi menetapkan hak-hak orang tua hingga empat orang.

Terlepas dari pro-kontra maupun kendala mengenai Platonic parenting, hal ini layak dianggap menjadi diskursus sekaligus alternatif yang menarik dalam pola asuh anak. Seperti yang juga disampaikan Ivan Fatovic, pemilik sekaligus CEO dari Modamily, kepada The Atlantic.

“Kami tidak mengatakan hal ini baik atau buruk, tapi, kami pikir, ‘Platonic Parenting’ adalah opsi yang dapat dipertimbangkan.”

Baca juga artikel terkait PARENTING atau tulisan lainnya dari Eddward S Kennedy

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Eddward S Kennedy
Editor: Nuran Wibisono