Menuju konten utama

PKS Kritik Naskah Omnibus Law Dibahas Saat Reses Tak Berkualitas

PKS mengkritik langkah pimpinan DPR RI yang mengizinkan pembahasan Omnibus Law RUU Cipta Kerja saat masa reses anggota dewan sedang berlangsung.

Massa yang menolak Omnibus Law RUU Cipta Kerja membawa poster saat melakukan aksi unjuk rasa di depan Kantor DPRD Sulsel di Makassar, Sulawesi Selatan, Kamis (16/7/2020). foto/Dok. Ady Anugrah/LBH Makassar.

tirto.id - Anggota Komisi V DPR RI Fraksi PKS, Syahrul Aidi Maazat, mengkritik langkah pimpinan DPR RI yang mengizinkan pembahasan Omnibus Law RUU Cipta Kerja saat masa reses anggota dewan sedang berlangsung. Pemerintah dan DPR RI seharusnya lebih fokus dalam penanganan Covid-19 yang terus meningkat.

Baleg DPR RI memang melakukan pembahasan lagi terkait Omnibus Law RUU Cipta Kerja, khususnya Bab III Peningkatan Ekosistem Investasi dan Kegiatan Berusaha, pada Rabu (22/7/2020) siang. Padahal saat ini anggota DPR RI sedang dalam masa reses sejak 16 Juli lalu.

Syahrul mengatakan bahwa RUU Cipta Kerja mengangkat persoalan klasik yang sering dituding sebagai penyebab lemahnya investasi masuk ke Indonesia, yaitu lamanya proses perizinan yang menurut pemerintah akibat banyaknya syarat yang harus dipenuhi oleh investor sebelum mereka dapat menanamkan modalnya di Indonesia.

Oleh karena itu, kata Syahrul, sebagai solusinya pemerintah mengklaim bahwa RUU Cipta Kerja dapat menjawab persoalan tersebut. Bahkan mendorong pertumbuhan ekonomi tanpa sedikit pun memberikan bukti berapa pertumbuhan ekonomi yang ditargetkan akan dicapai jika RUU Cipta Kerja ini berhasil disahkan oleh DPR.

"Selain itu, draf RUU dan Naskah Akademik-nya pun terkesan dipaksakan untuk segera masuk dan dibahas. Banyak sekali inkonsistensi dan ketidakjelasan konsep dalam draf dan NA RUU Cipta Kerja, di mana RUU ini akan merevisi 78 UU namun argumentasi yang diberikan sangat sedikit," kata Syahrul lewat keterangan tertulisnya yang diterima wartawan, Rabu (22/7/2020) siang.

Syahrul memberi salah satu contoh UU yang akan direvisi melalui RUU Cipta Kerja yaitu UU No. 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung. Kata dia, dalam RUU Cipta Kerja, 80% substansi UU No. 28 Tahun 2002 akan direvisi, yang mana 60% di antaranya merupakan penghapusan materi muatan UU.

Ia menambahkan, alasan yang paling banyak dikemukakan terkait revisi UU No. 28 Tahun 2002 ini adalah banyaknya tumpang tindih aturan. Namun, Syahrul menilai pemerintah tidak bisa membuktikan satu ayat pun dari UU No. 28 Tahun 2002 ini yang tumpang tindih dengan UU lainnya.

"Selain itu, pemerintah tidak memberikan argumentasi yang cukup dalam Naskah Akademik karena hanya menyediakan penjelasan sebanyak 1,5 halaman. Padahal dapat dibayangkan, sebuah UU yang separuh isinya dihapuskan sudah pasti kehilangan ruh pengaturannya," kata Syahrul.

Kata Syahrul, kendati pemerintah menjanjikan bahwa aturan yang dihapus ini akan dipindahkan ke dalam PP, namun akibat pelemahan ini justru dapat berakibat pada ketidakpastian berusaha bagi pengusaha sebab aturan-aturan ini dapat diubah kapan saja karena tidak memiliki kekuatan seperti dalam UU.

"Kami meminta Pemerintah menghadirkan argumentasi yang memadai terkait indikasi adanya tumpang tindihnya peraturan dalam UU No. 28 tahun 2002 ini dengan UU lainnya, yang menyebabkan UU ini harus direvisi melalui kajian empiris dan bukan melalui hipotesa yang subjektif tanpa data yang valid," katanya.

Baca juga artikel terkait RUU OMNIBUS LAW atau tulisan lainnya dari Haris Prabowo

tirto.id - Politik
Reporter: Haris Prabowo
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Maya Saputri
-->