Menuju konten utama

PKB Ogah Ambang Batas Presiden 0 Persen, tapi Ingin 5-10 Persen

PKB menilai ambang batas pencalonan presiden tetap dibutuhkan karena perolehan suara serta elektoral masing-masing partai berbeda-beda.

PKB Ogah Ambang Batas Presiden 0 Persen, tapi Ingin 5-10 Persen
Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar memberi sambutan saat Halaqah Satu Abad NU di DPP PKB, Jakarta, Kamis (2/12/2021). ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/foc.

tirto.id - Ketua Umum DPP Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Abdul Muhaimin Iskandar mengusulkan agar ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold (PT) diturunkan menjadi 5-10 persen.

"(PT 20 persen) masih belum cita-cita kita, cita-cita kita 5-10 persen. Supaya lebih memberi ruang ekspresi dan kompetisi, semua punya hak yang sama," kata Muhaimin di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (15/12/2021) dilansir dari Antara.

Ia menilai sebaiknya batasan presidential threshold sebesar 20 persen bisa diturunkan sehingga bisa lebih memberikan ruang kompetisi dan ekspresi dalam iklim demokrasi di Indonesia.

Namun, Wakil Ketua DPR itu tidak sepenuhnya setuju kalau presidential threshold menjadi 0 persen. Ia menilai ambang batas tetap dibutuhkan karena perolehan suara serta elektoral masing-masing partai berbeda-beda.

"Idealnya 0 persen, tapi tidak luculah ya, harus ada pembatasan. Tapi gagal kemungkinan ya, karena sudah ada pembatasan (PT), mungkin pada Pemilu yang akan datang," ujarnya.

Peneliti politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Aisah Putri Budiatri memandang presiden threshold tidak diperlukan di sistem politik Indonesia. Ia beralasan, sistem presidensial threshold justru memperkuat sistem presidensil.

“Dalam konteks pemilu serentak di mana pileg dijalankan bersamaan dengan pilpres, maka presidential threshold menjadi tidak relevan dan justru berisiko untuk upaya penguatan presidensialisme," kata Putri saat dihubungi reporter Tirto.

Putri mencontohkan, presidential threshold pada Pilpres 2024 menggunakan hasil Pileg 2019. Pemilihan tidak masuk akal karena hasil pileg 2019 dipakai sebagai preferensi Pilpres 2024 yang notabene karakter pemilih berubah dalam 5 tahun.

“Misalnya, konteks politik 2019, seoarang pemilih memilih partai A, kemudian lima tahun kemudian merasa kecewa dengan partai A atau merasa partai lain performanya lebih baik, maka kemudian mengganti pilihannya, tetapi kemudian presidential threshold malah tetap memaksakan pakai hasil riset yang lalu, jelas tidak logis," kata perempuan yang juga kandidat Phd Kyoto University ini.

Baca juga artikel terkait AMBANG BATAS PRESIDEN

tirto.id - Politik
Sumber: Antara
Editor: Bayu Septianto