Menuju konten utama

Pinjaman via Fintech P2P Melonjak Hampir 50% Selama Setahun

Pada April 2021 fintech P2P lending mencatat pertumbuhan baki debet pembiayaan hingga 49,9% (yoy) menjadi Rp20,61 triliun.

Pinjaman via Fintech P2P Melonjak Hampir 50% Selama Setahun
Seorang warga memindai barcode saat memberikan sedekah di Masjid Istiqlal, Jakarta, Kamis (5/12/2019). ANTARA FOTO/Wahyu Putro A/hp.

tirto.id - Pertumbuhan industri pembiayaan melalui fintech peer to peer (P2P) lending mengalami pertumbuhan hingga hampir 50 persen selama setahun terakhir. Catatan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), pada April 2021 fintech P2P lending mencatatkan pertumbuhan baki debet pembiayaan hingga 49,9 persen yoy menjadi Rp20,61 triliun.

Hal tersebut disampaikan Deputi Komisioner Manajemen Strategis dan Logistik Anto Prabowo dalam paparannya tentang kondisi sektor jasa keuangan RI, yang dikutip Senin (31/5/2021).

Berdasarkan Peraturan OJK No.77/POJK.01/2016, fintech lP2P lending merupakan layanan pinjam meminjam uang dalam mata uang rupiah secara langsung antara kreditur/lender (pemberi pinjaman) dan debitur/borrower (penerima pinjaman) berbasis teknologi informasi. Fintech lending juga disebut sebagai Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi (LPMUBTI).

Anto menjelaskan, pasar keuangan domestik dilaporkan tetap stabil meskipun IHSG pada 21 Mei 2021 tercatat ke level 5,773 atau melemah 3,7 persen mtd. Hal ini juga sejalan dengan perkembangan pasar saham negara berkembang lainnya. Sementara, pasar SBN terpantau menguat dengan rerata yield SBN turun 40 bps di seluruh tenor.

Dari sektor perbankan, Dana Pihak Ketiga (DPK) kembali mencatatkan pertumbuhan hingga dua digit sebesar 10,94 persen yoy. Namun, pertumbuhan kredit hingga April masih terkontraksi sebesar 2,28 persen (yoy).

"Namun, kredit konsumsi mulai tumbuh positif 0,31 persen (yoy) sejalan dengan meningkatnya proporsi pengeluaran konsumsi terutama didorong oleh KPR sebagai hasil dari kebijakan stimulus Pemerintah, OJK dan BI dalam penyaluran KPR," kata Anto.

Ruang pertumbuhan kredit, kata Anto, juga didukung dengan suku bunga kredit yang terus turun. Hingga April suku bunga kredit modal kerja turun menjadi 9,08 persen, bunga kredit konsumsi menjadi 10,87 persen dan suku bunga kredit investasi di posisi 8,68 persen.

OJK menyatakan bahwa suku bunga bukan satu-satunya faktor penentu tumbuhnya kredit perbankan, karena pertumbuhan kredit sangat ditentukan oleh permintaan masyarakat.

"Permintaan atas kredit/pembiayaan akan kembali tinggi apabila terjadi peningkatan mobilitas masyarakat yang mematuhi protokol kesehatan. Hal tersebut didukung upaya vaksinasi yang semakin meluas untuk meningkatkan imunitas dan kesehatan masyarakat yang terjaga baik," kata Anto.

Dari sektor asuransi, OJK mencatatkan penghimpunan premi pada April 2021 sebesar Rp22,4 triliun, yang terdiri dari asuransi jiwa Rp14,2 triliun, asuransi umum dan reasuransi: Rp8,2 triliun. Namun, piutang perusahaan pembiayaan pada April 2021 masih terkontraksi sebesar -16,29 persen yoy.

Profil risiko lembaga jasa keuangan pada April 2021 masih relatif terjaga dengan rasio NPL gross tercatat sebesar 3,22 persen dan NPL netto 1,06 persen, sementara rasio NPF Perusahaan Pembiayaan April 2021 turun menjadi 3,9 persen dibandingkan Maret 2021 sebesar 3,7 persen.

Likuiditas industri perbankan berada pada level yang memadai, dengan rasio alat likuid/non-core deposit dan alat likuid/DPK per 10 Mei 2021 terpantau masing-masing pada level 149,92 persen dan 32,46 persen, di atas threshold masing-masing sebesar 50 persen dan 10 persen.

Demikian pula permodalan yang terjaga dengan CAR sebesar 24,26 persen, jauh di atas threshold. Risk-Based Capital industri asuransi jiwa dan asuransi umum masing-masing tercatat sebesar 639 persen dan 344 persen, jauh di atas ambang batas ketentuan sebesar 120 persen. Begitupun gearing ratio perusahaan pembiayaan yang tercatat sebesar 2,02 persen, jauh di bawah batas maksimum 10 persen.

"Namun demikian, beberapa downside risks masih perlu diwaspadai seperti kenaikan laju infeksi harian akibat varian baru virus dan ketersediaan vaksin di negara berkembang serta tren kenaikan inflasi global yang bersumber dari kelangkaan bahan baku dan logistik (cost-push inflation). Potensi kenaikan kasus COVID-19 paska libur panjang Hari Raya Idul Fitri juga tetap perlu diwaspadai," jelas Anto.

Baca juga artikel terkait SEKTOR KEUANGAN atau tulisan lainnya dari Nurul Qomariyah Pramisti

tirto.id - Bisnis
Penulis: Nurul Qomariyah Pramisti
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti