Menuju konten utama
Miroso

Pindang Koyong & Botok Mlanding, Mencari yang Liyan dari Banyuwangi

Ada banyak makanan lain di Banyuwangi yang bisa dicicipi selain rujak soto atau pecel rawon.

Pindang Koyong & Botok Mlanding, Mencari yang Liyan dari Banyuwangi
Header Miroso Identitas Rasa dari Banyuwangi. tirto.id/Tino

tirto.id - "Hari ini kita sarapan rawon pecel ya?" ajak kawan saya Farhan, sehari setelah saya tiba di Banyuwangi.

Tentu saja tidak saya tolak. Sepiring nasi putih dengan lauk rawon yang dipadukan dengan pecel langsung terbayang di benak saya. Hidangan ini merupakan salah satu makanan yang wajib dicoba kalau sekiranya berkesempatan ke Banyuwangi --menurut orang-orang yang saya tanyai dan artikel-artikel di internet.

Karena kunjungan saya kali itu membawa misi liputan, rawon pecel pun masuk ke dalam daftar yang sudah saya persiapkan. Selain rawon pecel, juga ada makanan-makanan "khas" Banyuwangi lain yang masuk daftar bersama rawon pecel tadi.

Nasi tempong, rujak soto, pecel pitik, sampai sego cawuk dan sop kesrut berada dalam daftar saya. Menurut Farhan yang sejak kecil tinggal di Banyuwangi, nama-nama tersebut merupakan kuliner andalan di kota tersebut.

"Kalau ada tamu dari luar kota, ya biasanya diajak nyicipin makan itu," ujarnya.

Tentu, sebagai makanan yang senantiasa ada bagi masyarakat Banyuwangi, hidangan-hidangan tersebut tampak "biasa" bagi mereka. Ia sama seperti hal-hal terberi (given) lainnya, bukan sesuatu yang unik. Bagi warga lokal, perlu proses cukup panjang untuk menyadari bahwa hidangan khas itu penting bagi kota dan budaya mereka. Dalam perjalanannya, mobilitas dan pariwisata memainkan peran penting di sini.

Ditilik dari sisi pemasaran, kuliner khas tadi menjadi bagian dari pembentukan identitas untuk city branding. Dalam artikel "Food-Branding Places – A Sensory Perspective" yang dimuat dalam Jurnal Place Branding and Public Diplomacy (2015), Per Olof Berg dan Guje Sevón menuturkan bagaimana makanan dan gastronomi mempengaruhi karakter dan brand suatu tempat. Secara langsung maupun tidak, gastronomi yang tumbuh di suatu kota ikut menguatkan identitas yang ada.

Terkait dengan hal itu, kuliner kemudian menemukan tempat nyamannya dalam industri pariwisata. Hidangan-hidangan khas ini menjadi pelengkap dalam pengalaman seseorang ketika berkunjung ke sebuah tempat. Pada perkembangannya kini, banyak pula orang yang berwisata khusus untuk menikmati suatu hidangan.

Karena mengambil peran penting dalam identitas sebuah kota dan industri pariwisata, tak mengherankan kalau makanan khas ini terus dipromosikan. Narasi-narasi untuk mendukung posisi makanan khas ini terus dibuat dan diulang. Di Yogyakarta, gudeg tentu saja jadi andalan. Di Padang, rendang jadi narasi andalan. Di Banyuwangi: nasi tempong, rujak soto, dan pecel rawon yang jadi garda depan.

Promosi kuliner khas ini tentu penting, meski tetap ada kelemahannya. Hal ini membuat banyak kekayaan kuliner lain sulit terangkat, atau justru terpinggirkan. Media, masyarakat setempat, hingga para influencer yang berbicara tentang makanan Banyuwangi, biasanya hanya "mentok" membahas makanan-makanan khas yang difokuskan tadi.

Begitu pula liputan yang saya lakukan pada saat itu.

Infografik Miroso Identitas Rasa dari Banyuwangi

Infografik Miroso Identitas Rasa dari Banyuwangi. tirto.id/Tino

Namun untunglah kunjungan saya saat itu tak hanya untuk meliput. Saya juga harus berkeliling keluar-masuk desa di Ketapang, bertemu dengan warga untuk menjalankan program CSR, dan mencicipi kuliner rumahan masyarakat setempat.

Di banyak kesempatan tersebut, tak pernah saya menemui makanan-makanan "khas" tadi terhidang di meja makan rumah yang saya datangi. Sebagai gantinya, di rumah-rumah itu hampir selalu terhidang nasi jagung dengan lauk-pauknya.

"Di daerah Ketapang, banyak pendatang dari Madura. Jadi, makanan yang biasanya ada di rumah masih ada hubungannya dengan kuliner Madura," jelas Iwan, kawan saya yang menikah dengan warga Banyuwangi.

Nasi jagung yang disajikan di rumah-rumah di Ketapang ini memang tampilan dan rasanya mirip dengan nasek ampok, hidangan khas Madura. Hanya saja, kalau di Madura biasa disandingkan dengan sayur lodeh, daging, telur petis, hingga pepes, di Ketapang berbeda.

Di rumah Pak Ahmadi yang beberapa kali saya datangi, selalu terhidang nasi jagung dengan lauk sayur bening daun kelor, bakwan jagung, dan sambal teri. Sajian ini begitu sederhana, tapi sangat nikmat. Karena letaknya yang berdekatan dengan laut, keluarga Pak Ahmadi juga kerap menyajikan pindang koyong untuk menemani nasi jagung tadi. Pindang koyong sendiri sebenarnya juga masuk dalam daftar makanan khas Banyuwangi, terbuat dari ikan dimasak kuah bumbu bening dengan rasa asam dan pedas.

"Kalau daun kelor itu, katanya disajikan ke orang asing karena bisa menangkal yang jelek-jelek," ujar Iwan menjelaskan. "Susuk bisa rontok kalau makan sayur kelor. Katanya."

Entah itu benar atau tidak.

Untuk minumannya, Pak Ahmadi menyuguhkan kopi excelsa yang dipanen dari pohon-pohon kopi di belakang rumahnya. Biji kopi yang ditumbuk kasar terasa tegas dalam kopi tubruk yang beliau siapkan. "Saya tumbuk sendiri sampai jadi bubuk, Mbak," jelas Pak Ahmadi.

Pengalaman kuliner ini memberikan gambaran baru tentang Banyuwangi yang lebih dari sekadar tempat wisata. Sejarah, budaya hingga gaya hidup masyarakatnya, yang sama-sama membentuk identitas kota Banyuwangi, muncul dalam seporsi nasi jagung tadi.

Namun, nasi jagung yang sangat umum dikonsumsi di kawasan Ketapang ini, rupanya jarang sekali disajikan di rumah-rumah makan di kawasan kota dan kawasan pariwisata. Satu-satunya warung yang menjual nasi jagung yang sempat saya datangi adalah warung makan ramesan berukuran kecil, di pinggir jalan raya Ketapang.

Karena tak pernah dianggap sebagai kuliner yang "menarik", warga pun turut menganggapnya sebagai makanan biasa. Ini saya simpulkan ketika saya meminta warga untuk melakukan assessment potensi kuliner yang ada. Alih-alih mengunggulkan sajian nasi jagung tadi, beberapa warga justru mengajak saya untuk mencicipi rujak bakso, sebuah hidangan yang terinspirasi dari rujak soto.

Padahal untuk saya, kelezatan nasi jagung dengan lauk pindang koyong, bothok mlanding, bakwan dan sambal ikan teri tadi masih terasa hingga saat ini. Dan selalu menjadi pengingat saya, untuk mencari lebih jauh dari yang sekedar ditawarkan oleh pariwisata.

Baca juga artikel terkait MIROSO atau tulisan lainnya dari Rizkie Nurindiani

tirto.id - Gaya hidup
Penulis: Rizkie Nurindiani
Editor: Nuran Wibisono