Menuju konten utama

Pindah Ibu Kota, Politik dan Bisnis Makin Sulit Diawasi?

Apa dampak yang mungkin terjadi dari relokasi ibu kota terhadap akuntabilitas pemerintah kepada warga negara?

Pindah Ibu Kota, Politik dan Bisnis Makin Sulit Diawasi?
Avatar Iqra Anugrah. tirto.id/Sabit

tirto.id - “Pemindahan ibu kota itu cuma slogan kosong!” adalah reaksi umum sebagian orang ketika mendengar Presiden Joko Widodo secara mendadak mengumumkan rencana untuk memindahkan ibu kota Indonesia dari Jakarta.

Ide pemindahan ibu kota sendiri bukan pertama kali ini dilontarkan pemerintah.Mulai dari Presiden Sukarno hingga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, niat untuk memindahkan ibu kota dari Jakarta berulangkali mengemuka dalam percakapan publik.

Berbeda dengan para presiden Indonesia terdahulu, komitmen Jokowi untuk mewujudkan rencana tersebut terlihat lebih nyata. Bahkan pemerintah sudah mencantumkan relokasi ibu kota dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) untuk periode 2020-2025. Terlebih, Jokowi sudah melawat beberapa lokasi potensial untuk ibu kota baru di Kalimantan.

Dari sudut pandang pembangunan keberlanjutan, tak sedikit pihak yang mempertanyakan rencana pemindahan ibu kota tersebut dari perspektif anggaran dan lingkungan. Namun, pertanyaan yang lebih besar dan krusial ialah, apa dampak relokasi ibu kota terhadap upaya kelompok masyarakat sipil untuk mendorong akuntabilitas pemerintah dan bisnis di Indonesia? Bagaimana relokasi ibu kota akan mempengaruhi cara-cara aktor masyarakat sipil untuk bisa berinteraksi dengan para elit? Saya mewawancarai beberapa individu yang berada di garis depan kelompok masyarakat sipil, antara lain aktivis, peneliti dan jurnalis, untuk menginvestigasi lebih jauh dampak pemindahan ibu kota yang mungkin akan mempengaruhi model kerja mereka.

Dari percakapan dengan mereka, saya menemukan berbagai rupa dampak relokasi ibu kota terhadap berbagai elemen kelompok masyarakat sipil. Relokasi ibu kota jelas akan mempersulit upaya masyarakat sipil mengawasi pemerintah dan aktivitas bisnis. Namun, masa depan politik di Indonesia tidak seratus persen suram. Terlepas dari lokasi ibu kota negara, gairah aktivisme lokal tak akan surut.

Apa yang Diharapkan Indonesia?

Perbandingan pengalaman negara-negara lain mungkin bisa memberi kita ilustrasi dan imajinasi yang lebih baik tentang implikasi relokasi ibu kota terhadap interaksi elit politik dan aktor masyarakat sipil. Ambil contoh Brasilia, ibu kota Brasil sejak 1960, yang menggantikan posisi Rio de Janeiro. Dengan membangun ibu kota baru, Brasilia, pemerintah berharap bisa mendistribusikan kembali buah pembangunan ke berbagai penjuru negeri. Tetapi, seiring waktu, konflik tanah antara pendatang miskin ke Brasilia yang tidak memiliki tanah dengan negara bermunculan. Brasilia lantas menjadi bukti bahwa pembangunan ibu kota baru tidak secara otomatis mewujudkan pembangunan yang lebih adil.

Di sisi lain, kasus Brasil menunjukkan bahwa aktivisme di isu lingkungan terus hidup dan tumbuh. Walau Brasilia dan beberapa kota besar lain adalah pusat kegiatan advokasi kebijakan dan lobi pemerintah, sebagian masalah utama terkait lingkungan serta respons yang dibutuhkan untuk menanggulangi masalah tersebut tetap hidup dan aktif di daerah pingiran.

Pengalaman Myanmar ketika memindahkan ibu kota negara dari Yangon ke Naypyidaw mungkin bisa memberi perbandingan yang lebih dekat dengan konteks Indonesia. Para analis punya pendapat yang berbeda tentang motif pemerintah militer Myanmar di balik keputusan relokasi ibu kota. Di luar perselisihan pendapat para ahli, penting untuk dicatat bahwa relokasi ibu kota Myanmar berjalan bersamaan dengan proses liberalisasi politiknya, yang bisa menjadi cermin rencana relokasi ibu kota oleh pemerintah Indonesia.

Pembangunan Naypyidaw memang menguras anggaran negara dan menunjukkan pengembangan kota yang tidak berkelanjutan. Namun, kelompok masyarakat sipil, termasuk aktivis, LSM, buruh, dan mahasiswa, berhasil membagi waktu dan energi mereka antara Naypydiaw dan Yangon untuk memantau dan menekan pemerintah.

Dua contoh tersebut menunjukkan bagaimana aktor masyarakat sipil dalam konteks yang berbeda berhasil melakukan pemantauan sosial terhadap elit pasca relokasi ibu kota.

Dua Perdebatan Utama

Secara garis besar, kontroversi seputar rencana relokasi ibu kota menyangkut dua persoalan pokok yakni biaya dan ketersediaan anggaran, dan dampak sosial-ekologis yang lebih luas.

Pertama, bagaimana kita membiayai relokasi ibu kota? Bappenas memperkirakan rencana relokasi ibu kota, yang meliputi proses perpindahan serta pembangunan infrastruktur pendukung dan pusat ekonomi di ibu kota baru, dapat menelan biaya sekitar Rp466 triliun. Estimasi biaya mugkin bisa ditekan bila pemerintah memutuskan untuk hanya mengalihkan beberapa bagian dari birokrasi ke ibu kota baru, dan membiarkan sebagian lain tetap di Jakarta.

Para ahli memiliki pendapat yang berbeda tentang kelayakan finansial rencana relokasi ibu kota Indonesia. Beberapa pejabat negara terkemuka seperti Sumarsono, mantan direktur jenderal otonomi daerah Kementerian Dalam Negeri, dan Ahmad Erani Yustika, staf khusus presiden untuk urusan ekonomi, mengklaim biaya relokasi ibu kota bisa lebih murah. Beberapa ahli lain seperti Chatib Basri, mantan Menteri Keuangan dan Douglas Ramage, direktur Bower Group Asia di Jakarta, berpendapat bahwa tidak realistis mengharapkan partisipasi sektor swasta dalam pembiayaan relokasi ibu kota, mengingat Indonesia terus mengandalkan badan usaha milik negara (BUMN) untuk menggarap sebagian besar proyek infrastruktur di periode pertama pemerintahan Jokowi.

Kedua, relokasi ibu kota mengundang perdebatan sengit soal dampak sosio-ekologis yaitu ibu kota baru akan menghadirkan masalah sosial dan masalah lingkungan baru, sementara Jakarta masih akan bergulat dengan masalah lama. Terlebih, besar kemungkinan pola pembangunan ibu kota baru mengikuti pola yang diterapkan dalam pembangunan perkotaan di Indonesia, yang kerap abai perihal ongkos sosial dan tanggung jawab terhadap lingkungan dan berakhir dengan konflik tanah dan sejumlah masalah lain.

Namun, ada pertanyaan besar yang terlupakan dalam perdebatan publik, yakni apa dampak yang mungkin terjadi dari relokasi ibu kota terhadap akuntabilitas pemerintah kepada warga negara?

Relokasi Ibu Kota Pengaruhi Advokasi untuk Akuntabilitas?

Apa yang akan terjadi ketika sebagian besar aktivis tetap berbasis di Jakarta, sementara ibu kota pindah ke tempat lain? Berdasarkan wawancara saya dengan beberapa aktivis dan jurnalis, relokasi ibu kota akan mempengaruhi kerja-kerja masyarakat sipil dengan beragam cara.

Sebagai contoh, bagi seorang aktivis di lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang fokus pada pemantauan pemilihan umum, relokasi ibu kota akan membuat pekerjaan memantau pemerintah lebih menantang. Dia berkata, “Sekarang saja sudah sulit bagi kita untuk bisa hadir dalam beberapa pertemuan kunci di DPR. Akan lebih sulit lagi jika lokasi ibu kota sangat jauh (dari Jakarta). Aktivis masyarakat sipil lain yang bergerak di isu hak asasi manusia (HAM) sependapat, dan mengatakan bahwa “Ini (rencana relokasi ibu kota) akan mengubah peta aktivisme secara signifikan.”

Kedua aktivis ini menyoroti masalah logistik sebagai tantangan utama bagi organisasi mereka jika ibu kota pindah. Biaya untuk melakukan lobi ke pemerintah atau mengadvokasi perubahan kebijakan akan melonjak. Untuk beberapa LSM, relokasi ibu kota akan menyebabkan biaya operasional mereka membengkak karena perlu mendirikan biro baru atau mengirim staf untuk bisa menghadiri rapat di ibu kota baru.

Beberapa jurnalis juga berbagi pandangan serupa. Bagi seorang jurnalis yang bekerja di portal berita online, media nasional yang berbasis di Jakarta akan semakin sulit mengawasi pemerintah jika ibu kota pindah, terutama karena biaya untuk mengirim wartawan dari kantor pusat atau bahkan mendirikan cabang baru tidak lah murah. Di sisi lain, peran media lokal untuk menyediakan reportase yang berkualitas terkait aktivitas pemerintah di ibu kota baru relatif minim. Seorang jurnalis di sebuah surat kabar di Jakarta berpendapat bahwa media lokal akan sulit mengawasi pemerintah di ibu kota baru karena kapasitas organisasi dan anggaran mereka yang terlampau rendah untuk menulis laporan investigasi mendalam.

Advokasi Lingkungan: Sebuah Anomali

Namun, relokasi ibu kota mungkin tidak menghadirkan tantangan yang berarti terhadap kerja masyarakat sipil di sektor advokasi lingkungan. Beberapa aktivis lingkungan memprediksi nasib mereka tidak akan seburuk rekan-rekan aktivis mereka di sektor lain jika ibu kota benar-benar pindah. Walaupun secara umum aktivis lingkungan mengkritik rencana relokasi ibu kota, mereka memandang rencana tersebut tidak akan mengubah metode kerja mereka dan cara lembaga mereka beroperasi secara signifikan.

Saya bertanya kepada Doni Moidady, seorang aktivis Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), tentang kemungkinan dampak relokasi ibu kota pada kerja advokasi WALHI. Dia menjawab, "Masa transisi (pindah ke ibu kota baru) akan menantang ... dalam diskusi di internal organisasi, kami sudah mempertimbangkan kemungkinan memindahkan kantor nasional kami ke ibu kota baru." Hadi Priyanto dari Greenpeace Indonesia, mengatakan, “Kami belum melakukan diskusi serius tentang ini (relokasi ibu kota).” Namun, ia dengan cepat mengingatkan saya, “Target (kampanye) kami, baik pemerintah ataupun perusahaan, tersebar se-Indonesia”. Selain pekerjaan kampanye dan advokasi sehari-hari, kerja penelitian pun tidak akan terlalu terpengaruh. "Saya pikir itu tidak akan banyak mempengaruhi pekerjaan saya,” kata Aini Wilinsen, seorang peneliti di Jaringan Advokasi Tambang (JATAM).

Mengingat detail rencana relokasi ibu kota masih dalam pembahasan, aktivis lain tidak terlalu menganggap serius rencana itu. Menurut Fahmi Panimbang, sekretaris jenderal Praxis, sebuah organisasi yang menghubungkan berbagai gerakan sosial dan organisasi masyarakat di seluruh Indonesia: “Saya ragu pemerintah serius dengan rencana itu ... rencana itu juga tidak memiliki implikasi besar bagi pekerjaan kami karena kami lebih sering bekerja dengan komunitas dan organisasi lokal.”

Kemudian, berbeda dengan organisasi lain yang mengandalkan lobi dan pelibatan elite, model gerakan yang utama untuk organisasi dan aktivis hak-hak lingkungan kemungkinan besar tak akan banyak berubah: akan tetap berakar pada kegiatan di level akar rumput, termasuk kampanye dan mobilisasi massa. Sebagian besar kantor nasional atau sekretariat di Jakarta lebih berfungsi sebagai penghubung antar kegiatan aktivisme lokal, bukan sebagai pusat untuk semua kegiatan advokasi.

Infografik Ibu Kota dan Aktivisme Indonesia

Infografik Ibu Kota & Aktivisme Indonesia. tirto.id/Fuad

Bagi mereka yang bekerja di isu akuntabilitas yang lebih luas seperti pemantauan politik dan jurnalisme, relokasi ibu kota akan mempersulit kerja-kerja untuk mengawasi pemerintah dan pelaku bisnis karena mereka perlu menjaga hubungan baik dengan para aktor tersebut. Bukti-bukti dari Amerika Serikat (AS) menunjukkan bahwa ibu kota yang cenderung terisolasi, memungkinkan praktik korupsi semakin subur karena jauh dari pantauan media, dan secara perlahan membatasi pengetahuan publik serta mengurangi antusiasme mereka terkait proses politik (PDF).

Namun, kemungkinan bahwa aktivisme lingkungan akan beroperasi seperti biasa bahkan jika ibu kota pindah menunjukkan ada harapan untuk akuntabilitas yang berkelanjutan di Indonesia. Isu lingkungan yang bersifat khas dan lokal di Indonesia menjelaskan mengapa aktivisme di bidang lingkungan tetap dinamis: konflik lingkungan yang parah cenderung terjadi di daerah pedesaan yang jauh–begitupun respons terhadapnya. Aktivisme pedesaan dan mobilisasi massa untuk menuntut hak-hak sosial-ekologis muncul sebagai tanggapan atas konflik—sebuah pola yang berlanjut hingga hari ini. Terakhir, rekam jejak advokasi lingkungan di Indonesia menunjukkan bahwa aktivisme untuk mempromosikan transparansi dan akuntabilitas lingkungan akan terus berlanjut dan dinamis.

------------------

Sebelum diterjemahkan oleh Levriana Yustriani, tulisan ini terbit dalam bahasa Inggris di New Mandala dengan judul "Out of sight, out of mind? Political accountability and Indonesia’s new capital plan". Penulisnya, Iqra Anugrah, adalah research associate pada Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) di Jakarta Pusat. Selama Pemilu 2019, ia menjadi New Mandala Indonesia Correspondent Fellow yang menulis isu lingkungan dan sumber daya alam.

*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.