Menuju konten utama

Pindah Agama Karena Tragedi 1965

Diskriminasi para penghayat kepercayaan atau pemeluk agama lokal berakar pada tragedi berdarah 1965.

Pindah Agama Karena Tragedi 1965
Kalender Sunda pada acara "Hajat Puseur Dayeuh" dalam pergantian Tahun Baru Sunda (Pabaru Sunda) 1 Suklapaksa Kartika 1954 Caka Sunda, Gedung PLN Sumur Bandung, Jawa Barat, Senin (28/1). ANTARA FOTO/Agus Bebeng.

tirto.id - Suara Dewi Kanti terdengar lirih. Kepada Tirto ia berkata: “Ketika ada yang konsisten terhadap pilihan Sunda Wiwitan, ada banyak konsekuensi yang berpotensi berakhir kematian keperdataan, seperti (tidak punya) akte kelahiran dan akte pernikahan. Ini, kan, menyangkut hak-hak sipil, ekonomi, dan budaya.”

Dewi merupakan warga Cigugur, Kuningan, Jawa Barat, yang menganut agama Sunda Wiwitan. Tidak diakuinya aliran kepercayaan atau agama lokal, termasuk Sunda Wiwitan, sebagai agama resmi di Indonesia menyebabkan kolom agama Kartu Tanda Penduduk (KTP) para pemeluknya diisi tanda strip. Hal ini mendatangkan berbagai kesulitan, mulai mengurus akta kelahiran anak, mendaftarkan anak sekolah, sampai memakamkan jenazah di tempat pemakaman umum.

Menurut Dewi, hal tersebut menjadi salah satu faktor sebagian penganut Sunda Wiwitan beralih memeluk salah satu dari enam agama resmi yang ditetapkan Pemerintah Indonesia. Dengan beralih, berbagai urusan administratif yang rumit dan berbelit-belit bisa diselesaikan.

“Sekarang jarang yang masih berpikir untuk konsisten. Karena tekanan politik identitas, membuat segala ruang hidupnya terbatas,” ujar cicit Pangeran Madrais, penyebar ajaran Sunda Wiwitan Cigugur, tersebut.

Baca juga: Agama-agama yang Dipinggirkan

Ketika Kristen Menjadi Pilihan

Beralihnya para penganut kepercayaan menjadi pemeluk agama resmi sudah dimulai sejak 1960-an. Gavin W. Jones, dalam Religion and Education in Indonesia, menyatakan pemeluk Kristen di Hindia Belanda pada 1900 berjumlah 1% penduduk. Sementara pada 1933 jumlahnya meningkat setidaknya menjadi 2,8%. Sedangkan pada 1971, umat Kristen di Indonesia mencapai 7,4%. Peningkatan jumlah penganut Kristen berlangsung di kawasan yang sebelumnya, pada 1930an, masih banyak dihuni penganut kepercayaan.

Sulitnya mendapat data-data soal pertumbuhan penduduk Muslim membuat Jones memfokuskan kajiannya ke umat Kristen di Indonesia. Jones membandingkan angka pertumbuhan penduduk Indonesia dengan jumlah umat Kristen di Indonesia. Hasilnya, secara umum, pada interval 1933-1971, penduduk Indonesia bertambah sebanyak 1,9 kali sementara penduduk beragama Kristen di setiap daerah meningkat sebanyak 4,9 kali.

Di Jawa Barat (pada waktu sensus Provinsi Banten dan Jakarta dihitung masuk ke Jawa Barat), misalnya, pada 1933 ada sebanyak 34.600 penduduk Kristen. Sedangkan pada 1971 jumlah tersebut bertambah 17,8 kali lipat menjadi 614.600 orang.

Pertumbuhan pesat umat Kristen terjadi di Kalimantan Tengah dan Timur. Pada 1971 ada 239.300 penduduk beragama Kristen. Padahal pada 1931 tercatat hanya ada 7.200 orang memeluk agama Kristen.

Dari mana limpahan angka itu berasal? Kata Jones: “Pengkristenan para pemeluk agama tradisional pribumi.”

Meskipun angkanya tidak sama persis, riset serupa juga ditulis oleh Jerson Benia Narciso dalam Christianization In New Order Indonesia (1965-1998): Discourses, Debates And Negotiations. Narciso mencatat, populasi umat Katolik di Indonesia selama 1966-1967 meningkat sebanyak 7,45%. Terdapat laporan yang mengatakan jumlah orang yang menunggu dibaptis secara Katolik setelah 1965 di Jawa Tengah jumlahnya melebihi umat Katolik yang ada di Indonesia pada waktu itu.

Pertumbuhan umat Kristen juga dapat dilihat dari naiknya jumlah anggota gereja. Anggota Gereja Baptis Indonesia meningkat dari 1.317 pada 1960 menjadi 3.391 pada 1965. Sementara dari Juli sampai Agustus 1966, Gereja Kristen Jawa Timur membaptis sekitar 10.000 orang. Di Sumatera Utara, Gereja Protestan Batak Karo membaptis lebih dari 26.000 orang antara 1966 hingga 1967.

Dalam Defining ‘religious’ in Indonesia: toward neither an Islamic nor a secular state, Myengkyo Seo menjelaskan situasi politik yang terjadi pada waktu itu yang kemudian berakibat pada kehidupan beragama di Indonesia.

"Agama Menjadi Garis Pemisah"

Pada 1965, Sukarno mengeluarkan Keputusan Presiden yang membatasi negara hanya mengakui 6 agama saja, yakni Islam, Kristen, Katolik, Buddha, Hindu dan Konghucu. Ketetapan No.1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama diterbitkan Sukarno untuk mengakomodir permintaan dari organisasi-organisasi Islam yang ingin melarang aliran kepercayaan. Mereka menganggap aliran kepercayaan bisa menodai agama yang ada di Indonesia. Ketetapan Sukarno tersebut disarikan menjadi pasal 156a KUHP.

Merujuk laporan Human Rights Watch berjudul "Atas Nama Agama" yang diterbitkan pada Februari 2013, pada awal dekade 1960-an kalangan konservatif muslim menganjurkan pemerintahan Sukarno mengambil tindakan terhadap ajaran mistisisme, termasuk kepercayaan lokal seperti Sunda Wiwitan yang dianggap menodai Islam.

Baca juga: Asal-Usul Pasal Penodaan Agama

Kemudian pada 27 Januari 1965, Sukarno sepaham dengan kalangan muslim konservatif tersebut, menganggap hampir di seluruh Indonesia timbul aliran-aliran dan organisasi-organisasi kebatinan atau kepercayaan masyarakat yang bertentangan dengan ajaran-ajaran dan hukum Agama. Maka Sukarno menerbitkan Ketetapan No.1/PNPS/1965.

Di tahun itu pula terjadi peristiwa G-30-S yang kemudian Partai Komunis Indonesia (PKI) dituduh berada di belakangnya. Sejak itu, para anggota PKI beserta simpatisannya pun diburu dan dibunuh oleh aparat negara dan laskar-laskar sipil.

Setelah Sukarno lengser pada 1967, Soeharto menganggap agama adalah benteng yang bisa menghalangi kembalinya komunisme. Rezim Orde Baru mengharuskan semua warga negara untuk menyatakan kepercayaan mereka kepada salah satu agama yang diakui negara. Pemerintah memang menekankan kebebasan beragama, tapi kebebasan semacam itu tidak termasuk hak untuk tidak percaya pada agama.

Baca juga: Perpecahan di Tubuh Parmalim

Sementara itu, secara implisit agama juga kerap dijadikan parameter kemodernan suatu bangsa. Anggota masyarakat kerap dikatakan terbelakang dan tidak sesuai dengan visi nasional karena tidak/belum memiliki agama (resmi yang diakui Pemerintah).

“Agama menjadi garis pemisah yang memisahkan massa petani dan penduduk perkotaan. Orang yang tidak memiliki agama yang diakui secara resmi disebut dalam bahasa Indonesia sebagai 'orang yang belum beragama'. Kata 'belum' menandakan peralihan ke agama resmi tidak dapat dihindari,” tulis Jane Monnig Atkinson dalam Religions In Dialogue: The Construction Of An Indonesian Minority Religion.

Beralih ke agama resmi yang diakui pemerintah juga dilakukan para penganut Sunda Wiwitan guna bertahan hidup selama masa ketegangan politik pasca 1965. Dewi menyebutkan berdasarkan catatan para pengurus adat, ada sekitar 10 ribu penganut Sunda Wiwitan di Jawa Barat yang beralih memeluk Kristen atau Katolik setelah 1965.

“Perubahan beberapa warga adat memilih agama-agama itu adalah strategi untuk survive. Terutama untuk Jawa Tengah dan Jawa Timur, korban pada 65 itu cukup banyak karena politik identitas. Tapi di daerah kami cenderung dapat ditekan dari segi korban jiwa,” ujar Dewi.

Menuruti Dewi, meskipun penganut Sunda Wiwitan berkurang, tetapi keputusan tersebut tepat diambil oleh leluhur guna menyelamatkan kehidupan dan nyawa manusia, khususnya masyarakat yang masih berpegang kepada tradisi.

“Ada istilah 'berteduh sementara', yakni spirit dari leluhur bahwa ketika mendapat ujian alam maka manusia sebagai makhluk yang berpikir harus menyelamatkan diri,” ujar Dewi.

Infografik umat kristiani

Pindah agama karena tekanan politik juga pernah diungkapkan Avery Willis, Jr., yang pada 1964 bekerja sebagai misionaris Gereja Baptis di Bogor, Jawa Barat, dan Jember, Jawa Timur. Dalam Indonesian Revival: Why Two Million Came to Christ, Willis menelusuri alasan orang berpindah agama menjadi Kristen yang saat itu terjadi amat masif di Indonesia.

Willis mencatat pada 1945 anggota jemaat di lima denominasi Protestan di Jawa hanya sebanyak 60.000. Sepuluh tahun kemudian jumlah jemaat naik menjadi 90.000 orang dan pada 1960 ada 95.000 jemaat. Uniknya, terjadi kenaikan drastis pada 1965. Jumlah jemaat tercatat menjadi 200.000 orang. Dari 551 responden yang diwawancarai Willis, ada 270 orang di antaranya yang berpindah agama.

Baca juga: Diskriminasi Penganut Kepercayaan

Willis mengemukakan orang yang beralih keyakinan ke Kristen tersebut secara kebanyakan berasal dari komunitas abangan yang kerap diidentifikasi dekat dengan kelompok kiri. Respondennya menyebutkan, sebagai abangan mereka sering dituduh tidak memiliki agama, dan hal tersebut berisiko: mereka gampang dilabeli komunis. Mereka juga menyebut peran para aktivis Islam di dalam pembantaian 1965-1966 sebagai alasan berpaling dari status sebagai penganut "Islam nominal" – sekarang setara dengan istilah "Islam KTP".

Menurut hasil wawancara Willis, bantuan yang diulurkan gereja Kristen bagi keluarga yang anggotanya dibunuh atau ditangkap juga membuat mereka semakin tertarik bergabung. Willis meyakini bahwa keterbukaan Gereja yang lebih besar terhadap budaya-budaya lokal menjadikan agama Kristen sebagai alternatif yang menarik. Gereja pun kewalahan menghadapi meluapnya jumlah jemaat.

“Para pastor mendapati bahwa mereka tidak mungkin dapat melayani semua yang datang untuk meminta nasihat rohani, sehingga mereka berpaling kepada para tetua dan para pemimpin gereja yang lain untuk memperoleh bantuan,” tulis Willis.

Baca juga artikel terkait PENGANUT KEPERCAYAAN atau tulisan lainnya dari Husein Abdulsalam

tirto.id - Politik
Reporter: Husein Abdulsalam
Penulis: Husein Abdulsalam
Editor: Zen RS