Menuju konten utama

Pimpinan KPK Ingin UU Tipikor Direvisi

Laode menilai masih banyak kekurangan dalam UU Tipikor sehingga perlu pemerintah dan DPR RI merevisinya.

Pimpinan KPK Ingin UU Tipikor Direvisi
Wakil Ketua KPK Laode M. Syarif (kiri), Alexander Marwata (kanan), dan Konselor Iklim dan Hutan Norwegia Marianne Johanssen (kedua kiri) menyampaikan pendapatnya pada pertemuan Program Peningkatan Kapasitas Penegak Hukum dan PPNS di Sektor Kehutanan dan Sumber Daya Alam di Gedung Pusat Edukasi Antikorupsi KPK, Jakarta, Rabu (18/12/2019). ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso/pd.

tirto.id - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode Muhammad Syarif berharap pemerintah segera merevisi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Laode menilai masih banyak kekurangan dalam undang-undang tersebut sehingga perlu pemerintah dan DPR RI merevisinya.

"KPK merasa banyak kekurangan dalam undang-undang Tipikor sehingga kami mengusulkan kepada pemerintah dan DPR-RI untuk mengubah," ujar Laode dalam diskusi publik di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Kamis (19/12/2019).

Ada beberapa kekurangan yang diakui Laode, antara lain perihal penyuapan pejabat asing, korupsi di sektor swasta, memperdagangkan pengaruh jabatan, dan persoalan pengembalian aset (asset recovery).

"Khusus untuk asset recovery sebenarnya sudah lama di DPR RI tapi mereka tidak memperbaikinya. Tidak menyelesaikannya, bahkan tiba-tiba UU KPK yang diubah padahal dalam review enggak ada satu rekomendasi itu, mengubah undang-undang KPK," ujarnya.

Ia menilai apabila undang-undang Tipikor direvisi dan poin-poin yang disebutkan dimasukan, hal itu dapat mempengaruhi indeks persepsi korupsi di Indonesia.

Revisi UU Tipikor, lanjut Laode juga bisa lebih meluaskan cakupan KPK dalam memberantas tindak pidana korupsi sampai ke tingkat akar rumput dalam tatanan masyarakat. Sebab selama ini hal itu tidak diakomodir dengan baik sehingga KPK merasakan keterbatasan ruang lingkup.

Sehingga menurut Laode, dalam naskah rekomendasi definisi penyelenggaraan negara diperluas dan bahkan hingga ke level swasta.

"Yang diperlukan masyarakat umum sebenarnya adalah layanan dasar yang setiap hari itu yang diteliti oleh peneliti untuk menentukan itu. Misalnya urus KTP, rumah sakit, sekolah tapi KPK tidak boleh mengurus guru, rumah sakit karena dibatasi penyelenggara negara padahal yang dirasakan masyarakat itu di bawah," pungkasnya.

Baca juga artikel terkait REVISI UU TIPIKOR atau tulisan lainnya dari Alfian Putra Abdi

tirto.id - Hukum
Reporter: Alfian Putra Abdi
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Bayu Septianto