Menuju konten utama

Pimpinan KPK Bukan Bawahan Polri, Firli Sebaiknya Pensiun Dini

Peneliti ISESS Bambang Rukminto mempertanyakan pernyataan Brigjen Pol Dedi Prasetyo yang menyebut Firli Bahuri tak perlu mundur sebagai Pati Polri.

Calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri menjalani uji kepatutan dan kelayakan di ruang rapat Komisi III DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (12/9/2019). ANTARA FOTO/Nova Wahyudi/ama.

tirto.id - Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI memilih lima dari 10 nama calon pimpinan KPK. Lima nama ini terpilih melalui proses voting, dihadiri 56 anggota Komisi III. Irjen Pol Firli Bahuri mendapatkan suara terbanyak sehingga ia menjadi Ketua KPK periode 2019-2023.

Firli saat ini masih menjabat sebagai Kepala Polisi Daerah (Kapolda) Sumatra Selatan. Karopenmas Mabes Polri Brigjen Pol Dedi Prasetyo mengatakan untuk jabatannya itu akan segera diselesaikan di internal kepolisian.

“Menunggu waktu untuk pergantiannya. Sebelum pelantikan Desember nanti,” kata Dedi.

Namun, Dedi mengatakan pengangkatan Bahuri sebagai Ketua KPK tidak akan menggugurkan statusnya sebagai Perwira Tinggi (Pati) di Kepolisian Republik Indonesia.

“Ya tidak. Beliau, kan, kelahiran tahun 1963, saat ini usianya masih 56 tahun. Artinya masa pengabdian masih dua tahun lagi,” kata Dedi kepada reporter Tirto, Jumat (13/9/2019).

Menurut Dedi, hal itu sesuai dengan Peraturan Kapolri No.4/2017 tentang Penugasan Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia di Luar Struktur Organisasi.

Bermasalah dengan Aturan

Pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Bambang Rukminto, mempertanyakan pernyataan Dedi mengenai peraturan yang memperbolehkan Firli dengan alasan penugasan kepolisian.

“Kalau mengacu Peraturan Kapolri tentang penugasan khusus dari Polri itu ngawur, artinya Perkap di atas UU KPK posisinya. Apa itu juga berarti komisioner KPK di bawah Kapolri? Kalau hal itu diteruskan, akan merusak tatanan lembaga negara,” kata Bambang saat dihubungi reporter Tirto, Sabtu (14/9/2019).

Bambang menilai, merujuk pada UU ASN maupun Perkap bahwa komisioner KPK adalah penugasan dari Polri, hal tersebut jelas akan salah kaprah. Sebab, kata Bambang, aturan itu tidak berlaku untuk komisioner KPK, tetapi berlaku untuk penugasan tenaga fungsional dan teknis di bawahnya.

"Sedangkan komisioner KPK adalah pejabat negara. Bila komisioner KPK [sebagai lembaga negara] tak perlu mundur dan menjalani penugasan dari lembaga pemerintah [Polri], bisa diartikan KPK menjadi subordinasi pemerintah. Itu artinya fungsi supervisi KPK pada Polri juga gugur. Bagaimana lembaga di bawah koordinasi Polri melakukan supervisi pada Polri?" kata Bambang.

Bambang menambahkan “konflik kepentingan akan muncul dan tak ada jaminan komisioner bisa bertindak profesional.”

Selain itu, Bambang menilai jabatan Ketua KPK sama setingkat dengan Ketua Mahkamah Agung (MA) atau Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

"Jadi mengapa harus mengecilkan diri untuk masih bertahan menjadi anak buah Kapolri? Jadi tak perlu untuk membuat polemik yang tak berarti, sebaiknya mundur dari Polri dan segera fokus bekerja untuk KPK," kata dia.

Hal tersebut, kata Bambang, juga mengacu dalam Pasal 29 UU No. 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, tertulis bahwa komisioner harus melepaskan jabatan struktural atau jabatan lain di institusi sebelumnya.

Firli Harus Mundur

Peneliti dari Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) Yogyakarta, Zaenur Rohman, terpilihnya Firli sebagai Ketua KPK harus membuat irjen tersebut mundur dari keanggotaan kepolisian alias pensiun dini.

"Firli harus mundur keanggotaan Polri. Jadi tidak hanya non-job, tapi harus mundur dari keanggotan Polri. Kenapa? Untuk menghindari konflik kepentingan,” kata Zaenur.

Sebab, kata Zaenur, KPK sangat mungkin suatu saat misalnya menangani perkara dari institusi lain, seperti Polri. “Lantas bagaimana jika pimpinannya anggota dari institusi tersebut?” kata Zaenur mempertanyakan.

"Kalau tidak bersedia mundur, menurut saya tidak etis. Jadi bukan saja melepaskan jabatan, tapi mengundurkan dari keanggotaan atau pensiun dini istilahnya," lanjut dia.

Zaenur menilai, jika Firli ingin tetap membuktikan bahwa dirinya bukan titipan Polri untuk menjabat di KPK, maka ia harus mundur.

"Kalau alasan yang digunakan dalam UU Polri atau Perkap ada istilah penugasan, kalau Firli tidak mengundurkan diri berarti memang Firli itu ditugaskan oleh Polri untuk menjadi pimpinan KPK. Logikanya seperti itu. Sehingga Ketua KPK adalah petugasnya Mabes Polri,” kata dia.

"Jadi kalau Firli tidak mundur berarti dia adalah petugas Mabes Polri, karena berasal dari penugasan Polri ke institusi lain," kata Zaenur.

Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi Nasdem, Zulfan Lindan, juga menilai hal serupa. Menurut dia, Firli harus pensiun dini agar tak menimbulkan konflik kepentingan saat menjadi Ketua KPK.

“Ya nanti kan dia harus pensiun (dini). Otomatis ketika menjadi komisioner KPK aktif, dia harus berhenti. Kalau enggak ada konflik kepentingan. Kami menegaskan harus berhenti dari jenderal aktif, dia harus segera berhenti, kalau enggak nanti ada konflik kepentingan,” kata Zulfan.

Baca juga artikel terkait KETUA KPK atau tulisan lainnya dari Haris Prabowo

tirto.id - Politik
Reporter: Haris Prabowo
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Abdul Aziz
-->