Menuju konten utama

Pimpinan dan UU KPK Baru, Citra Buruk Pemberantasan Korupsi

Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai tahun ini merupakan tahun paling buruk bagi pemberantasan korupsi.

Pimpinan dan UU KPK Baru, Citra Buruk Pemberantasan Korupsi
Wakil Ketua KPK Saut Situmorang menghadiri Dialog Kanal KPK yang menghadirkan pembicara, Direktur PP LHKPN KPK Isnaini, Peneliti ICW Kurnia Ramadhana (kedua kiri), Direktur Pusako Universitas Andalas Feri Amsari dan Juru Bicara KPK Febri Diansyah di gedung KPK, Jakarta, Jumat (2/8/2019). ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso/wsj.

tirto.id - Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai tahun ini merupakan tahun paling buruk bagi pemberantasan korupsi serta kehancuran bagi lembaga KPK.

Parahnya, hal ini disponsori oleh Presiden Joko Widodo dan anggota DPR.

"Kenapa kami katakan ini menjadi polemik yang sangat luar biasa? Untuk isu KPK saja, ada dua catatan. Pertama, Istana dan DPR berhasil meloloskan lima figur pimpinan KPK yang kami nilai paling buruk sepanjang sejarah KPK. Kedua, isu revisi UU KPK," ucap Peneliti ICW Kurnia Ramadhana, di kantornya, Minggu (29/12/2019).

Ia menjelaskan ihwal pimpinan KPK sekarang paling buruk sepanjang sejarah, alasannya karena lima pimpinan KPK saat ini dihasilkan dari proses seleksi yang banyak persoalan.

Dalam proses pemilihan pimpinan, saat itu tiga di antaranya memiliki kedekatan dengan institusi kepolisian dan Panitia Seleksi ahistoris dengan keberadaan KPK. "Mereka diasumsikan publik memberikan karpet merah kepada penegak hukum untuk menjadi pimpinan KPK," jelas Kurnia.

Berkaitan dengan proses seleksi, ICW menduga dan memastikan proses seleksi ini tidak ada nilai integritas, karena figur yang lolos menjadi pimpinan KPK adalah orang-orang yang sebelumnya memiliki catatan buruk di masa lalu.

"Terkait dengan integritas, masih ada satu di antara lima pimpinan KPK yang tidak patuh melaporkan LHKPN. Itu catatan krusial," kata Kurnia.

Ihwal rekam jejak pimpinan KPK, lanjut dia, pihak Istana dan DPR berhasil meloloskan figur terduga pelanggar kode etik, bahkan orang itu sekarang duduk menjadi ketua lembaga antirasuah yaitu Komjen Pol Firli Bahuri.

Kurnia menambahkan, Undang-Undang KPK baru membuat KPK bekerja lambat. Konteks hari ini, Presiden Joko Widodo sedang memainkan isu meletakkan orang-orang 'baik' di dalam sistem yang salah. Argumen dari pemerintah menyebutkan, mereka menghadirkan lima 'orang baik' sehingga Perppu tidak lagi relevan dan UU KPK dianggap baik.

Ia menyatakan ada sosok Artidjo Alkostar, Albertina Ho, Syamsuddin Haris, yang memang secara individu integritasnya baik sebagai Dewan Pengawas KPK, tapi orang-orang baik ini diletakkan di tempat salah.

"Siapapun yang ditempatkan presiden sebagai Dewan Pengawas, tidak akan mengubah sedikitpun penilaian bahwa presiden tidak paham menempatkan KPK dan merestui sistem penegakkan hukum di KPK terganggu," jelas Kurnia.

Selanjutnya, ICW mencatat tiga persoalan dari Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.

Pertama, Presiden Joko Widodo dan DPR mengabaikan aspek formal pembentukan Perppu. Dua pihak itu dianggap serampangan saat membahas dan mengesahkan revisi UU KPK. Berbagai persoalan menyelimuti proses kilat pengesahan regulasi ini.

"Misalnya UU KPK tidak masuk dalam daftar Prolegnas Prioritas DPR tahun 2019, pengesahan UU KPK tidak diikuti keseluruhan anggota DPR dalam sidang paripurna, dan KPK yang tidak dilibatkan sedikit pun selama proses perencanaan, pembahasan dan pengesahan," jelas Kurnia.

Kedua, substansi melucuti kewenangan KPK. Lantaran dalam undang-undang itu terdapat pembentukan Dewan Pengawas dengan kewenangan berlebih, penerbitan surat perintah penghentian penyidikan, perubahan status pegawai menjadi aparatur sipil negara, dan pencabutan kewenangan Komisioner KPK sebagai penyidik dan penuntut umum.

Ketiga, melenceng dari kesepakatan internasional (UNCAC dan Jakarta Principles). Kurnia berpendapat, kebijakan legislasi dengan merevisi UU KPK yang menegasikan independensi justru bertolak belakang dengan kesepakatan internasional tersebut. "Misalnya, perubahan status kelembagaan KPK menjadi bagian dari pemerintah dan status pegawai lembaga anti rasuah itu sebagai aparatur sipil negara," ucap dia.

Baca juga artikel terkait KPK atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Hukum
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Hendra Friana