Menuju konten utama

Pilpres 2019 & Sejarah Pemilu Serentak Pertama di Indonesia

Pemilu serentak digadang-gadang memiliki banyak kelebihan, namun ternyata masih sulit untuk diwujudkan.

Pilpres 2019 & Sejarah Pemilu Serentak Pertama di Indonesia
Contoh surat suara saat simulasi Pemilu 2019. ANTARA FOTO/M Agung Rajasa/aww.

tirto.id - Pilpres 2019 menjadi bagian dari pemilihan umum (Pemilu) serentak pertama di Indonesia dalam sejarah. Selain memilih Presiden dan Wakil Presiden, Pemilu 2019 juga menjadi momen bagi rakyat Indonesia untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.

Sejarah digelarnya pemilu serentak berawal dari aksi Effendi Ghazali dan Koalisi Masyarakat untuk Pemilu Serentak. Pada 2013, peraih gelar Ph.D., dalam bidang komunikasi politik dari Radboud Nijmegen University Belanda ini menggugat Undang-Undang (UU) Nomor 42/2008 tentang Pilpres ke Mahkamah Konstitusi (MK).

MK mengabulkan dan mengeluarkan putusan uji materi (judicial review) untuk UU yang digugat Effendi Ghazali tersebut pada Mei 2013 kendati baru resmi disidangkan pada Januari 2014. Namun, penerapan pemilu serentak bisa dilakukan pada 2019, bukan untuk Pemilu 2014 dengan alasan waktu yang terlalu mepet. Effendi Ghazali pun mempertanyakan kebijakan MK tersebut.

"Kalau begitu, kenapa tidak dari dulu diputuskan? Kenapa baru sekarang?” tukasnya usai mengikuti sidang putusan di Gedung MK, Jakarta, Kamis (23/1/2014), dikutip dari Kompas.com.

“Coba tanyakan ke MK, kenapa bisa ada kata-kata kalau pemilu tinggal beberapa bulan lagi, sementara putusan ini sudah dibuat sejak Mei 2013 kemarin?" imbuh pria kelahiran Padang, Sumatera Barat, ini.

Maka, sesuai dengan keputusan MK, Pemilu 2019 pun tercatat dalam sejarah sebagai pemilu serentak pertama di Indonesia.

Digadang-gadang Lebih Baik

Gagasan menyatukan Undang-Undang Pemilu ke dalam satu undang-undang sebenarnya sudah tercetus lama, tepatnya setelah Pemilu 2004 berakhir. Namun, tulis Nimatul Huda dalam Penataan Demokrasi dan Pemilu di Indonesia (2017), saat itu gagasan tersebut dianggap belum mendesak.

Setelah hampir satu dekade, terbitlah Putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013 yang menetapkan kebijakan tentang pemilu serentak. Putusan ini pada pokoknya menyatakan bahwa pemisahan penyelenggaraan Pileg dan Pilpres adalah inkonstitusional.

Pemilu serentak semula dianggap lebih efisien, baik dari sisi waktu juga anggaran dana. Menurut MK, sebagaimana dilaporkan Kompas.com (23/01/2014), dengan pemilu serentak, uang negara yang berasal dari pembayar pajak dan hasil sumber daya alam serta sumber daya ekonomi, dapat lebih dihemat dalam pembiayaannya.

Masih menurut MK, pemilu serentak dapat pula mengurangi pemborosan waktu dan menekan konflik atau gesekan horizontal di masyarakat pada masa-masa pemilu. Selain itu, “Hanya dengan pemilihan umum serentak warga negara dapat menggunakan haknya untuk memilih secara cerdas dan efisien,” tulis MK.

MK juga meyakini bahwa pemilu serentak akan membuat proses pesta demokrasi menjadi lebih bersih dari kepentingan-kepentingan tertentu terkait lobi-lobi atau negosiasi politik yang dilakukan oleh partai-partai politik sebelum menentukan pasangan capres-cawapres yang bakal diusung.

“Penyelenggaraan Pilpres harus menghindari terjadinya negosiasi dan tawar-menawar (bargaining) politik yang bersifat taktis demi kepentingan sesaat, sehingga tercipta negosiasi dan koalisi strategis partai politik untuk kepentingan jangka panjang,” demikian yang tertulis dalam Putusan MK.

Belum Sesuai Harapan

Untuk Pemilu 2014, pemerintah melalui Kementerian Keuangan pada 2013 semula menganggarkan Rp16 triliun yang tercatat dalam APBN 2014. Jumlah ini hampir dua kali lipat dari realisasi anggaran Pemilu 2009 yang menelan dana sekitar Rp8,5 triliun.

Menteri Keuangan kala itu, Agus Martowardojo, menjelaskan, dana Rp16 triliun tersebut belum termasuk biaya persiapan pemilu yang sudah dimasukkan ke dalam APBN 2013 sebesar Rp8,1 triliun. “Dengan demikian, total anggaran Pemilu [2014] mencapai Rp24,1 triliun,” tambah Agus, dilansir Sindonews (15/3/2013).

Harapan bahwa negara akan lebih berhemat dengan pemilu serentak ternyata hanya teori belaka. Pemerintah menganggarkan Rp24,8 triliun untuk penyelenggaraan pemilu serentak pada 2019, yang meliputi Pilpres dan Pileg. Sebelumnya pada 2018, pemerintah juga telah mengalokasikan anggaran pemilu sebesar Rp16 triliun. Artinya, pemilu serentak justru menghabiskan lebih banyak biaya.

Mengenai pernyataan MK bahwa pemilu serentak dapat menekan konflik atau gesekan horizontal di masyarakat juga belum sepenuhnya bisa diwujudkan. Sengit dan panasnya Pemilu 2019, terutama Pilpres 2019 yang membelah masyarakat menjadi dua kubu besar pendukung dua paslon capres dan cawapres, sangat terasa.

Bukan hanya dalam proses menuju hari pemilihan, pertentangan dua kubu, yang tidak bisa dipungkiri dapat memantik konflik horizontal, ini juga terus terasa setelah penyelenggaraan Pilpres dan Pileg pada 17 April 2019 lalu. Dua pihak yang sama-sama mengklaim kemenangan menjadi salah satu penyebab belum redanya suasana panas setelah pilpres.

Begitu pula mengenai lobi-lobi partai politik yang sempat disinggung MK saat mengeluarkan putusan terkait pemilu serentak. Keyakinan MK bahwa pilpres dalam pemilu serentak dapat menghindari negosiasi dan tawar-menawar politik taktis barangkali juga sulit terwujud. Sejumlah peristiwa mengejutkan yang terjadi jelang penentuan capres-cawapres dari kedua kubu, misalnya, membuktikan itu.

Belum lagi energi yang harus dikeluarkan selama proses pemilu serentak yang amat melelahkan, terutama di sepanjang hari pencoblosan dan penghitungan suara. Tercatat, banyak petugas pemilihan di berbagai daerah yang tumbang karena keletihan, bahkan meninggal dunia, karena mengurusi pesta demokrasi yang disebut paling rumit di alam semesta ini.

Dengan menilik berbagai fakta yang terjadi, kelebihan pemilu serentak ternyata tidak seperti yang sebelumnya digembar-gemborkan. Pemilu serentak akan tetap diberlakukan pada pemilu-pemilu selanjutnya apabila tidak ada gugatan uji materi seperti yang pernah diusung Effendi Ghazali dan kawan-kawan pada 2013.

Pemilu serentak, seperti kata MK, wajib dilakukan jika tidak ingin terjadi pelanggaran konstitusi.

Baca juga artikel terkait PILPRES 2019 atau tulisan lainnya dari Iswara N Raditya

tirto.id - Politik
Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Zen RS