Menuju konten utama

Pilkada Solo: Anak Muda Pendukung Gibran dan Mitos Milenial

Gibran dianggap mewakili anak muda sehingga kelak, ketika menjadi Wali Kota Solo, ia mau melakukan saran-saran generasinya, demikian kata pendukungnya.

Pilkada Solo: Anak Muda Pendukung Gibran dan Mitos Milenial
Ilustrasi Gibran Rakabuming. tirto.id/Lugas

tirto.id - Dalam beberapa tahun terakhir, Solo, kota kecil di Jawa Tengah, konsisten mempersolek diri. Pembangunan infrastruktur digencarkan. Jalan layang. Renovasi stadion. Hotel berbintang. Semua didirikan penuh ambisi menjadi kota yang bertaji.

Tapi, kondisi itu tak bikin kegelisahan Giri Notolegowo, pendiri Solo Last Friday Night (SLFN), komunitas bersepeda, seketika menguap. Baginya, geliat pembangunan itu seperti bergerak tanpa visi yang jelas alias modal bangun saja.

Giri mencontohkan makin ke sini keberadaan jalur lambat di Solo makin tergilas ruas jalur cepat maupun terhalang para pedagang asongan. Konsekuensinya, minim ruang cukup aman untuk para pesepeda dan pejalan kaki.

Giri menilai tampilan luar Solo sekarang ini tak dilepaskan dari betapa minim ruang bagi anak-anak muda memberikan ide maupun saran atas kebijakan pemerintah kota. Sekalipun ada ruang semacam itu, ia berkata pejabat kota paling banter menjawab normatif: kami tampung dan dengarkan, tapi tanpa respons konkret.

Giri berkata beberapa kebijakan Wali Kota Rudyatmo ada yang berhasil, "tapi Solo kalau bisa jangan gini-gini terus.”

Atas dasar itu pula, dalam pertarungan Calon Wali Kota Solo sekarang, Giri sudah menjatuhkan dukungan dan pilihannya terhadap satu sosok: Gibran Rakabuming, anak sulung Presiden Joko Widodo berusia 33 tahun, yang lebih dikenal sebagai pengusaha sejumlah bisnis rintisan kuliner. Gibran mendapatkan restu dari Megawati, Ketua Umum PDI Perjuangan, meski dia mentah dalam politik, menyingkirkan Achmad Purnomo, politikus senior PDIP dari Solo, Wakil Wali Kota Surakarta yang mengenal birokrasi pemerintahan sejak 2013.

Lawan Gibran adalah kandidat dari jalur independen, Bagyo Wahono dan Suparjo (disingkat Bajo), yang diusung oleh kelompok masyarakat bernama Tikus Pithi Hananta Baris, setelah dianggap memenuhi syarat dukungan 38.831 orang dari 63.028 KTP yang diserahkan ke Komisi Pemilihan Umum Kota Surakarta. Gibran berpasangan dengan politikus senior PDIP, Teguh Prakosa, yang didukung oleh seluruh kekuatan parpol minus Partai Keadilan Sejahtera. Kubu Bajo menolak disebut "calon boneka", sementara Gibran menolak pencalonannya berkat faktor bapaknya.

Dianggap Mewakili 'Anak Muda'

Pilkada Solo tak sekadar meninggalkan pembahasan ihwal dinasti politik atau kepanjangan tangan dari kekuasaan oligarki. Di level akar rumput, Pilkada ini turut menyertakan narasi anak muda: Bagaimana mereka mendukung Gibran dan apakah dukungan itu mampu mengubah peta politik Solo yang banyak dianggap tak beranjak ke mana-mana.

Giri bercerita ia sudah mengenal baik Gibran jauh sebelum si pengusaha katering Chili Pari ini melangkah ke jalur politik praktis. Gibran adalah lawan bicara yang cukup baik, katanya kepada Tirto. Keduanya dapat membicarakan tentang apa saja, dari musik, budaya, hingga bisnis.

Keterlibatannya tidak terikat dengan kiprah relawan maupun tim sukses Gibran. Dia berdiri sebagai seorang teman dan didasari keinginan Solo dapat "maju". “Dan saya merasa Mas Gibran bisa melakukan itu.”

Giri berkata meski pencalonan Gibran menuai kontroversi (Achmad Purnomo bahkan menolak gabung ke tim pemenangan Gibran), "saya langsung percaya Mas Gibran bisa dan layak [maju pilkada] walaupun pengalaman politiknya minim,” katanya.

Dalam beberapa kesempatan, Giri ikut agenda blusukan Gibran. Selain itu, “Saya bersama Mas Gibran pelan-pelan mendekati anak-anak [muda] di subculture dan movement di Solo. Kami jelaskan soal rencana ke depan dan dari situ anak-anak muda yang ada bisa menyampaikan keluh kesah atau keinginan mereka,” jelasnya.

Dukungan terhadap Gibran juga datang Aldhy Usman, pengusaha berumur 27 tahun di balik lini bisnis seperti Oesman Barber dan USUAL, yang tergolong populer di Solo.

Aldhy menduduki posisi Ketua Gerakan Milenial Indonesia, komunitas anak-anak muda yang merapatkan diri pada gerbong Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, lawan Jokowi dalam Pilpres 2014 & 2019. Komunitas ini bergerak dalam pendidikan politik sampai kewirausahaan.

Setelah Prabowo-Sandiaga kalah, masa depan GMI sempat abu-abu. Tapi, Aldhy bertekad eksistensi GMI Solo harus dipertahankan, seenggaknya jadi ruang bertemu banyak ide maupun gagasan anak-anak muda tanpa selalu terikat dengan agenda-agenda politik.

Aldhy menilai Solo “diam di tempat” dan birokrasi pemerintah kota jauh dari suara anak muda. Ia mengklaim acara-acara bisnis kreatif anak-anak muda belum maksimal diakomodasi pemerintah kota. Aldhy ;menilai Gibran bisa menjadi "pemimpin yang adaptif". Dia merasa Gibran mewakili anak muda. Ia ikut menemani Gibran, baik secara pribadi maupun membawa bendera GMI, untuk berinteraksi dengan berbagai kelompok anak muda di Solo.

Gibran, misalnya, berkampanye online dengan menggunakan virtual box sebagai siasat “bertatap muka” di tengah pandemi COVID-19. Ia juga membuat podcast, yang ikut melibatkan Aldhy, untuk menjangkau pendengar anak-anak muda.

Infografik HL Kekayaan Gibran

Infografik HL Kekayaan Gibran. tirto.id/Lugas

Dapatkah Mengubah Keadaan?

Kelompok usia muda yang menjadi pilar Generasi Milenial, berada di antara rentang usia 20 hingga 34 tahun jika merujuk definisi dari Badan Pusat Statistik, merupakan lumbung elektoral yang gemuk. Pada 2019, jumlahnya diproyeksi 23,77 persen dari 268 juta jiwa total populasi Indonesia. Dengan kata lain, hampir seperlima penduduk di Indonesia adalah kelompok Milenial. Di Solo, kelompok anak muda ini berjumlah lebih dari 100 ribu orang atau sekitar seperlima dari total penduduk.

Hitung-hitungan di atas terlihat menggiurkan bagi para politikus, tak cuma bagi target pasar. Banyak komunkasi publik dari pejabat sampai politikus gampang menyebut "milenial" sebagai target audiens mereka, sudah menjadi "buzzword", sampai-sampai Presiden Jokowi juga membentuk pos baru untuk "staf khusus milenial".

Masalahnya, menurut studi bertajuk “Old Society, New Youths: An Overview of Youth and Popular Participation in Post-Reformasi Indonesia” (disusun Jonathan Chen dan Emirza Adi Syailendra), karakter milenial cenderung tak absolut. Artinya, dalam konteks elektoral, posisi milenial tak gampang diasumsikan menjadi satu karakteristik dan diolah menjadi satu kecenderungan suara tertentu.

Ini terjadi juga di Solo. Firman Prasetyo, salah satu tokoh pemuda di lingkaran ekosistem kreatif Solo lewat kiprahnya di House of Muara, Solo Radio, Rock In Solo, hingga Rambo Wadon Enterprise, menilai relasi anak-anak muda di Solo dengan dunia politik masih cenderung euforia semata berkat media sosial.

“Jadi, kalau mungkin Mas Gibran ingin merebut suara anak-anak muda," katanya, "itu agak susah secara market karena banyak anak muda yang masih SMA dan kuliah ... mereka belum into the politics."

Selain itu, anak muda jarang dilibatkan dalam kerja-kerja pemerintahan. Jikapun dilibatkan, biasanya untuk gimik.

“Dan lagi pula, anak-anak muda di sini masih menghadapi masalah internalnya: berada di zona nyaman," katanya.

Firman mendukung jika ada anak muda yang mau membantu Gibran. Pertanyaannya, katanya, apakah kelak saran-saran anak muda ini didengarkan dan direalisasikan oleh Gibran? “Jika didengar, syukurlah. Jika sama saja, kita tahu [apa yang dikampanyekan Gibran dengan citra anak mudanya] akhirnya jualan aja.”

Pendapat Firman tidaklah keliru. Kita sudah tahu jejak Gibran sebagai pengusaha muda, yang memulai usaha katering Chili Pari dalam usia 23 tahun. Bersama adiknya, Kaesang Pangarep, kini berumur 25 tahun, Gibran telah memiliki 24 perusahaan selama sepuluh tahun terakhir.

Tapi, yang belum kita tahu: Bisakah “anak muda” itu dia pertahankan ketika menjabat sebagai orang nomor satu di Kota Solo?

Baca juga artikel terkait PILKADA SOLO 2020 atau tulisan lainnya dari Faisal Irfani

tirto.id - Politik
Reporter: Faisal Irfani
Penulis: Faisal Irfani
Editor: Fahri Salam