Menuju konten utama

Pilkada Saat Corona: Anggaran Naik dan Rawan Jual Beli Suara

Pilkada tetap digelar tahun ini. Sangat mungkin banyak masalah muncul.

Pilkada Saat Corona: Anggaran Naik dan Rawan Jual Beli Suara
Petugas KPPS melakukan penghitungan suara Pilpres di TPS 002 Selong, Kebayoran Baru, Jakarta, Rabu (17/4/2019). ANTARA FOTO/Galih Pradipta/hp.

tirto.id - Rabu (3/6/2020) lalu, Komisi II bersama Mendagri, KPU, DKPP, dan Bawaslu RI mengadakan rapat dengar pendapat untuk membahas Pilkada 2020. Rapat itu tertutup hingga sore hari--biasanya rapat-rapat di DPR bisa dipantau secara online.

Wakil Ketua Komisi II DPR RI Fraksi PPP Arwani Thomafi mengatakan rapat tersebut menyepakati adanya pengajuan penambahan anggaran. Tambahan anggaran dipakai untuk menerapkan protokol kesehatan COVID-19 seperti memastikan ada hand sanitizer di tiap TPS dan alat pelindung bagi petugas. Rapat itu juga menetapkan jumlah pemilih di TPS dibatasi maksimal 500 orang.

Penambahan anggaran ini disetujui. "Tetapi berapa nominalnya, nanti menunggu rapat dengan Menkeu dan Gugus Tugas [Penanganan COVID-19]," kata Arwani saat dikonfirmasi pada Rabu (3/6/2020) malam.

Tambahan anggaran itu rencananya bersumber dari APBN dan APBD. "Daerah-daerah yang memang mampu tetap gunakan APBD, tapi kalau yang enggak mampu ya enggak boleh dipaksa," katanya.

Pemerintah bersama DPR RI akan tetap melaksanakan Pilkada pada Desember 2020. Salah satu rangkaian agendanya akan dimulai bulan ini.

Bahaya Mengintai Pilkada

Peneliti dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Fadli Ramadhanil mempertanyakan mengapa sampai ada pembahasan pengajuan penambahan anggaran untuk Pilkada 2020 dengan rapat yang tertutup. Ia heran saat tahu kalau penambahan anggaran itu untuk penerapan protokol kesehatan karena saat ini pandemi belum menunjukkan tanda-tanda mereda.

"Kurva infeksi masih naik, tapi pilkada tetap dilaksanakan. Logikanya bertabrakan," kata Fadli saat dihubungi wartawan Tirto, Kamis (4/6/2020) siang.

Selain khawatir pilkada dapat memicu ledakan penambahan kasus positif, ia juga menilai akan banyak celah hukum yang akan membikin hasil pemilihan tidak sah. Salah satu celah hukum yang ia maksud adalah tahapan pilkada yang tidak konsisten dengan ketentuan di UU Pilkada. UU Pilkada tidak mengatur mekanisme pelaksanaan di tengah bencana non-alam.

"Begitu juga Perppu Nomor 2 Tahun 2020 [tentang Pilkada] tidak mengatur mekanisme pilkada dengan protokol bencana."

Ia juga menegaskan kalau keputusan presiden tentang bencana nasional yang diteken pada 13 April lalu belum dicabut. Sementara di dalam UU Pilkada, kata Fadli, "kalau bencana non-alam belum selesai pilkada dapat ditunda kembali."

"Lalu sekarang kenapa dan untuk siapa memaksakan diri melaksanakan pilkada di Desember? Tahapannya akan mulai 15 Juni. 11 hari lagi. Sementara anggaran untuk melaksanakan protokol Covid saja belum ada sama sekali."

Memaksakan pilkada tetap digelar di masa pandemi pun akan memunculkan banyak celah pelanggaran, kata koordinator harian Konstitusi dan Demokrasi Inisiatif (KoDe Inisiatif) Ikhsan Maulana. Hal ini dapat terjadi salah satunya karena sulitnya menegakkan transparansi dan pengawasan.

"Partisipasi masyarakat juga menjadi bagian penting dalam proses pengawasan. Jika masyarakat sudah tidak aware dengan pilkada, partisipasi pengawasan yang dapat dilakukan juga akan hilang," katanya. "Belum lagi sampai hari ini belum ada informasi kapan Bawaslu akan mengeluarkan Perbawaslu yang disesuaikan dengan pandemi COVID-19 untuk optimalisasi pengawasan."

Potensi pelanggaran lain, kata Ikhsan, adalah pemberian 'bansos Corona' dari para petahana kepala daerah masing-masing. Contoh nyata dari ini adalah kasus Bupati Klaten beberapa waktu lalu. Hal ini akhirnya "akan memberikan dampak pada persaingan kampanye yang tidak sehat dan fair."

Potensi pelanggaran lain yang paling krusial, menurut Ikhsan, adalah makin besarnya potensi manipulasi dan jual-beli suara. "Masyarakat masih banyak yang terkena dampak ekonomi akibat COVID-19 ini, dan ini bisa saja dimanfaatkan oleh calon kepala daerah untuk jual beli suara atau politik uang."

Pada akhirnya, potensi masalah ini akan berdampak pada "kualitas pilkada" secara umum.

Baca juga artikel terkait PILKADA 2020 atau tulisan lainnya dari Haris Prabowo

tirto.id - Politik
Reporter: Haris Prabowo
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Rio Apinino