Menuju konten utama

Pilkada Calon Tunggal: Kegagalan Partai dan Pemborosan Anggaran

Sejak Pilkada 2015 dan Pilkada 2017 tidak ada calon tunggal yang kalah melawan kotak kosong.

Pilkada Calon Tunggal: Kegagalan Partai dan Pemborosan Anggaran
Pendukung calon bupati dan wakil bupati Pati Haryanto dan Saiful Arifin menghadiri kampanye terbuka di Stadion Joyokusumo, Pati, Jawa Tengah, Sabtu (11/2). Pasangan calon tunggal dalam Pilkada Pati tersebut mendapat dukungan 8 Partai yakni partai Gerindra, PDIP, PKB, PPP, PKS, Hanura, Golkar, dan Demokrat untuk maju dalam Pilkada serentak 15 Febuari mendatang. ANTARA FOTO/Yusuf Nugroho/ama/17.

tirto.id - Fenomena calon tunggal dinilai sebagai anomali fungsi partai politik dalam kaderisasi guna menghasilkan calon pemimpin. Anomali ini misalnya terjadi karena partai bersikap pragmatis di dalam menyikapi pasangan calon (paslon) yang secara elektabilitas terlalu kuat.

“Daripada lelah kemudian kalah lebih baik berkompromi dengan pasangan calon yang sudah ada,” katanya Direktur Ekskutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini kepada Tirto, Senin (15/1).

Persoalannya, kata Titi, paslon tunggal yang umumnya pemimpin petahana tak melulu berkinerja baik. Hal ini lah yang kemudian memunculkan kecurigaan adanya ketidakberesan yang melibatkan partai politik dengan paslon tunggal di Pilkada. “Kalau kinerja kurang baik, performa tidak mendukung, calonnya tetap tunggal ini yang membuat dugaan pragmatisme dan politik transaksional menguat,” ujarnya.

“Dan ini di sebagian daerah Indonesia menguat.”

Sistem dan aturan yang berlaku di dalam rezim Pilkada turut mendukung meningkatnya fenomena calon tunggal di pilkada. Titi misalnya mencontohkan berat persyaratan bagi calon perseorangan di Undang-Undang Pilkada No.10/2016. Di sana disebutkan calon perseorangan mesti memiliki dukungan berkisar 6,5% persen hingga 10% dari daftar pemilih tetap (DPT). Rinciannya: 10% dukungan untuk jumlah DPT 2 juta, 8,5% untuk jumlah DPT antara 2 juta-6 juta; 7,5% untuk jumlah DPT 6 juta-12 juta, dan 6,5% untuk jumlah DPT lebih dari 12 juta. “Menurut saya syarat dukungan kepada calon perseorangan diturunkan seperti di UU Pilkada lama yakni 3% sampai 6,5% dari DPT,” katanya.

Selain itu keharusan partai politik memiliki 20 persen kursi DPRD atau meraih 25 persen suara sah di pemilu tingkat daerah juga menstimulus tren calon tunggal di pilkada. Sebab hal ini memberatkan koalisi partai politik yang memiliki perbedaan platform dan ideologi lebar. “Ini yang mesti kita ubah,” ujarnya.

Kendati demikian Titi menyatakan fenomena paslon tunggal dalam Pilkada bukan berarti rakyat tak memiliki pilihan di Pilkada. Menurutnya, rakyat masih bisa memilih kolom kotak kosong di kertas suara apabila merasa tidak sepakat dengan visi dan misi yang ditawarkan paslon tunggal. Sebab paslon tunggal baru bisa ditetapkan sebagai pemimpin daerah apabila ia berhasil memperoleh suara 50%+1 dari total suara sah. Apabila syarat itu tidak terpenuhi maka penyelenggaraan Pilkada akan diulang dari tahap awal.

Tren kemunculan paslon tunggal dalam Pilkada memang meningkat dari tahun ke tahun. Pilkada serentak 2015 menghadirkan lima calon tunggal yang terdapat di Kabupaten Blitar (Jawa Timur), Kabupaten Tasimalaya (Jawa Barat), Kabupaten Timur Tengah Utara (Nusa Tenggara Timur), Kota Mataram (Nusa Tenggara Bara), dan Kota Samarinda (Kalimantan Timur).

Selanjutnya di Pilkada 2017 calon tunggal terjadi di sembilah daerah: Kota Tebing Tinggi, Kabupaten Tulang Bawang Barat, Kabupaten Pati, Kabupaten Landak, Kabupaten Buton, Kabupaten Maluku Tengah, Kota Jayapura, Kabupaten Tambrauw, dan Kota Sorong.

Terakhir di Pilkada 2018 yang akan diselenggarakan pada Juli mendatang KPU memperkirakan calon tunggal ada di 13 daerah: Kabupaten Lebak, Kabupaten Tapin, Kota Prabumulih, Kota Tangerang, Kabupaten Tangerang, Kabupaten Pasuruan, Kabupaten Karanganyar, Kabupaten Padang Lawas Utara, Kabupaten Minahasa Tenggara, Kabupaten Enrekang, Kabupaten Mamasa, Kabupaten Puncak, dan Kabupaten Jaya Wijaya.

Data Komisi Pemilihan Umum yang dihimpun tim riset Tirto, belum ada paslon tunggal yang kalah di Pilkada serentak 2015 dan 2017. Rerata perolehan suara kemenangan paslon tunggal pada Pilkada 2017 bahkan berada di atas 70% sampai 90% persen. Hanya Pilkada Kabupaten Buton yang paslon tunggalnya menang dengan perolehan suara 55,08%. Fakta ini menurut Titi menunjukkan masih adanya peluang bagi masyarakat menentukan pilihan di Pilkada dengan paslon tunggal.

“Ini yang penting [disampaikan] sebagai pendidikan politik ke masyarakat agar tidak skeptis. Calon tunggal belum tentu menang, masyarakat bisa memiliki pilihan berbeda [memilih kotak kosong di surat suara],” kata Titi.

Infografik tunggal potensi masalah pilkada

Namun begitu bukan berarti tidak ada hipotesis lain menyikapi fenomena pilkada calon tunggal. Peneliti Indonesian Public Institute menilai pilkada dengan calon tunggal sebagai bentuk kemubaziran demokrasi. Hal ini karena partai politik sebagai salah satu instrumen demokrasi tidak menyediakan pilihan kepada masyarakat. “Ini yang mencederai demokrasi,” ujarnya.

Anggapan Karyono tak sepenuhnya keliru. Ongkos penyelenggaraan Pilkada 2018 dengan paslon tunggal di 12 kabupaten/kota (minus Kabupaten Puncak) bisa menghabiskan Rp449,59 miliar. Rinciannya Kabupaten Lebak Rp2.500.000.000, Kabupaten Tapin 20.820.772.000, Kota Prabumulih Rp5.113.377.600, Kota Tangerang Rp61.312.946.670, Kabupaten Tangerang Rp110.000.000.000, Kabupaten Pasuruan Rp52.743.061.900, Kabupaten Karanganyar Rp17.000.000.000, Kabupaten Padang Lawas Utara Rp35.410.569.893, Kabupaten Minahasa Tenggara Rp24.084.269.000, Kabupaten Enrekang Rp18.494.702.926, Kabupaten Mamasa Rp26.652.919.000, Kabupaten Jayawijaya Rp75.461.270.325.

Karyono mengatakan mestinya KPU memberi ruang untuk memperpanjang masa pendaftaran di daerah yang penyelenggaraan pilkadanya hanya ada paslon tunggal. “Menurut saya perlu toleransi memperpanjang masa pendaftaran,” katanya.

Fenomena paslon tunggal di Pilkada bagi Karyono muncul karena partai enggan melawan kandidat yang terlalu kuat secara elektabilitas. Parameter elektabilitas menurut Karyono bisa ditentukan kinerja dan ketokohan paslon di daerah. Dalam konteks ini, parpol lebih memilih “bermain aman” ketimbang harus mengeluarkan biaya kampanye namun potensi kemenangannya kecil. “Supaya lebih aman dan efisien,” ujarnya.

Meski demikian fenomena paslon tunggal juga tidak menutup potensi adanya kesepakatan nonideologis antara partai dengan calon. Kesepakatan itu, kata Karyono, bisa berupa mahar politik yang diberikan oleh paslon maupun konsesi bersifat ekonomi. Semakin tinggi tingkat elektabilitas paslon, maka daya tawarnya untuk memperoleh dukungan partai semakin kuat. “Deal (kesepakatan) itu bisa berupa mahar. Mungkin kerjasama projek (ekonomi). Deal ini tergantung kekuatan kandidiat,” katanya.

Ketua Komisi II DPR Zainuddin Amali berpendapat fenomena paslon tunggal di 13 daerah Pilkada 2018 tak perlu dipersoalkan. Hal itu menurutnya justru menunjukkan sang calon mendapat dukungan penuh seluruh partai politik.

"Tidak masalah, berarti dia bagus dan mendapat dukungan semua partai," seperti dilansir dari Antara.

Dia menjelaskan rekomendasi seluruh parpol kepada satu kandidat dalam Pilkada sangat dimungkinkan dan tidak bisa dilarang. Amali meyakini rekomendasi dukungan partai sudah memiliki pertimbangan, salah satunya tingkat elektabilitas yang tinggi. "Saya nilai partai sudah mempertimbangkan dengan baik dan misalnya Golkar melihat dari elektabilitas yang tinggi sehingga kami prioritaskan," ujarnya.

Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Arief Budiman pada Minggu (15/1) menyatakan pihaknya akan memperpanjang masa pendaftaran calon kepala daerah yang hanya memiliki paslon tunggal. Perpanjangan berlangsung selama tiga hari, dari 14 Januari hingga 16 Januari 2018.

Baca juga artikel terkait PILKADA SERENTAK 2018 atau tulisan lainnya dari Jay Akbar

tirto.id - Politik
Reporter: Jay Akbar
Penulis: Jay Akbar
Editor: Jay Akbar