Menuju konten utama

Pilihan Jadi Honjok, Lajang Penyendiri & Menikahi Diri Sendiri

Kaum Honjok atau lajang sebagai penyendiri semakin jadi fenomena di Korea Selatan.

Pilihan Jadi Honjok, Lajang Penyendiri & Menikahi Diri Sendiri
Seorang pria asia makan sendirian di sebuah restoran. Wikipedia/Guian Bolisay

tirto.id - Kaum milenial Korea Selatan sempat menganggap negara itu ibarat neraka lantaran budaya dan aturan yang menghimpit mereka untuk jadi seorang lajang yang penyendiri.

“Orang-orang di sini hanya fokus kerja dan tidak mencari teman. Kalau mencari teman saja sulit, apalagi pacar?” tutur Jenna Park, 26 tahun kepada Crystal Tai, jurnalis I-D.

Seorang pekerja di stasiun televisi, Hwang Min-joo, 26 tahun juga pernah bilang, "Aku tidak bisa membayangkan diriku menikah dan punya anak. Aku masuk kerja hari Senin pagi dan keluar kantor pada Kamis malam. Kerjaan selesai jam sembilan malam saja rasanya seperti kemewahan," tuturnya pada jurnalis Washington Post, Anna Fifield.

Kisah-kisah serupa makin sering terdengar sekitar dua tahun terakhir. Para milenial Korea Selatan sulit mencari pekerjaan yang bisa bikin kaya. Dalam "Young South Koreans call their country ‘hell’ and look for ways out", Fifield menyatakan sejak dilanda krisis finansial pada 2008, sebagian besar masyarakat Korea Selatan putus harapan lantaran sempat mengalami masa kehilangan pekerjaan dan tempat tinggal.

"Kaum milenial lahir dari orangtua yang menikmati dampak kejayaan perekonomian Korsel pada 1960-1980an. Mereka punya pekerjaan yang menghasilkan begitu banyak uang. Situasi itu berubah sekitar 10 tahun belakangan," tulis Fifield.

"Aku tidak bisa melihat masa depan ku di negara ini," kata Lee Ga-hyeon, 22 tahun, yang memilih untuk hijrah ke Australia demi mendapat karier menjanjikan.

Situasi seperti itu membuat Korsel nampak serupa dengan London, New York, Paris, dan Jepang; kota yang dikenal dengan warganya yang kesepian. Hal yang dialami manusia usia produktif di empat kota tersebut serupa dengan yang terjadi di Korea Selatan. Beberapa faktor seperti menurunnya gaji, ketiadaan jaminan sosial, meningkatnya tuntutan pekerjaan, rentannya hubungan dengan keluarga, dan kesulitan bersosialisasi membuat mereka yakin bahwa kesendirian adalah solusi agar bisa berjarak dari ragam tekanan.

Di Korea Selatan, tekanan tersebut bertambah dengan anggapan bahwa lajang penyendiri ialah pecundang. Anggapan tersebut membuat sejumlah kaum muda murka dan bergabung pada kelompok Hell Joseon, komunitas yang terbentuk via Facebook sebagai sarana curhat kaum muda yang tersiksa situasi.

Tahun lalu, kaum lajang penyendiri ini mencoba memandang hidup lebih positif dengan menyebut diri sebagai "Honjok". Sebuah kata dalam bahasa Korea yang berarti kaum penyendiri. Kata ini lantas dimaknai sebagai cara kaum muda menikmati hidup dalam kesendirian.

“Photographers capture the rise of South Korea's 'loner' culture” memuat hasil penelitian Korean Statistical Information Service yang menyatakan rumah tangga lajang menempati porsi 28 persen dari seluruh rumah tangga yang ada di Korsel dua tahun lalu. Angka ini membuat pemimpin negara Korsel gusar dan meminta timnya merancang kampanye yang menjelaskan bahwa budaya kesendirian mengakibatkan munculnya berbagai penyakit. Anggapan ini tentu tidak membuat hati kaum Honjok gentar.

"Bertumbuhnya individualisme ini mampu jadi sumber kepenuhan hidup," kata Jang Jae Young, pendiri situs Honjok.me kepada I-D. Ia meyakini kaum Honjok bisa menemukan kenyamanan dalam kesendiriannya.

Infografik Cinta Bukan Alasan Menikah

Infografik Cinta Bukan Alasan Menikah

Kenyamanan Si Penyendiri

Kini para pebisnis di Korea Selatan ramai-ramai membikin beragam produk dan pelayanan agar kaum lajang penyendiri makin nyaman menikmati kesendirian.

Jurnalis Quartz Isabella Steger melaporkan, para pebisnis retail makanan dan minuman membuka bar, restoran Korean Barbeque, dan restoran Jepang untuk tamu yang datang sendirian. Emart, perusahaan retail terbesar Korea Selatan, sudah berencana menambah produksi buah-buahan ukuran mini setelah melihat penjualan produk semangka sebesar telapak tangan meningkat cukup signifikan-- pembelinya adalah kaum penyendiri.

Bank penyedia layanan kartu kredit menyediakan kartu khusus lajang dengan promo diskon yang lebih banyak ketimbang jenis kartu lain. Sejumlah produsen perlengkapan rumah tangga juga menggenjot produksi perkakas seperti rice cooker dan mesin cuci berukuran kecil. Berikutnya, pengusaha furnitur mulai memperbanyak desain benda multifungsi guna memudahkan pergerakan para penghuni rumah sempit. Dari semua itu, yang paling ekstrem adalah kemunculan jasa fotografi pernikahan solo.

“Ada beberapa perempuan Korea Selatan yang berani melakukan tindakan ‘menikahi diri sendiri’. Mereka menyewa jasa fotografi pernikahan, busana pengantin, sampai menggelar pesta pernikahan agar bisa merasakan pengalaman jadi pengantin dan menerima angpao dari para tamu,” tulis Steger dalam “Exhausted by the Heard, single South Korean are gingerly embracing ‘YOLO’ Lifestyle” yang tayang pada 2017.

Salah satu kustomer jasa fotografi pernikahan solo adalah Yang Eun-joo, perempuan 32 tahun yang gagal menikah tetapi ingin punya potret menggunakan baju pengantin mumpung masih terbilang muda dan bugar.

Kemunculan berbagai jenis usaha yang sepintas terdengar ganjil ini adalah akibat semakin banyaknya kaum Honjok di Korea Selatan.

Fotografer Nina Ahn mengisahkan kehidupan kaum Honjok lewat sebuah esai foto. Potret yang dimuat CNN menunjukkan ragam ekspresi kaum muda berusia kepala dua dan tiga yang melakukan berbagai aktivitas di tempat umum seorang diri.

“Foto-foto itu terkesan muram dan memang hal itu yang terjadi pada kaum muda. Sekarang ini kerja keras dan masa depan cerah tidak bisa menjamin kebahagiaan. Jadi, kenapa tidak memanjakan diri sendiri?” kata Ahn.

Selain Ahn, para pelaku industri kreatif lain seperti novelis dan produser serial televisi mulai mengeluarkan karya bertema Honjok. Lewat karya tersebut mereka hendak memberitahu cara asyik menikmati hidup sendiri di dalam kota.

Hilangnya Dukungan Orangtua

Berbagai bisnis yang tercipta bagi kaum Honjok seolah dibuat untuk membantu meringankan beban hidup mereka. Sebagian besar milenial Korsel dibesarkan oleh orangtua konservatif yang cukup memaksakan kehendak mereka pada sang anak misalnya menikah di bawah usia 30, kemampuan untuk menafkahi isteri-- bagi anak lelaki, menjadi ibu rumah tangga setelah menikah-- bagi anak perempuan, larangan keluyuran keluar rumah dan bersenang-senang dengan teman bila sudah berusia 30 tahun ke atas. Rangkaian ekspektasi tersebut hanya membuat anak-anak jadi stres.

Kandidat doktor dalam kajian populisme, Kim Seo Yeon, 28 tahun, berkata “laki-laki Korsel menolak menikah karena mereka lelah mencari pacar dan membangun relasi romantis. Laki-laki dituntut membiayai semua kebutuhan. Dan di momen ketika perekonomian sedang tidak kondusif seperti sekarang, mereka sangat sulit mendapat pekerjaan yang baik dan tidak mampu untuk membiayai kencan.”

Seo Yeon menambahkan, seberapapun independennya seorang perempuan di Korsel, pada saat tertentu mereka tetap saja bisa bertindak layaknya pelayan yang menyajikan makanan dan mencuci piring di rumah seseorang misalnya-- di rumah kekasih saat sedang ada acara keluarga.

Dalam naskahnya, Fifield turut melaporkan bahwa orangtua sulit menerima keadaan bila sang anak belum mampu memenuhi ekspektasi mereka. "Orangtuaku selalu menganggap usahaku tidak cukup keras," kata Yeo Jung-hun, 31. Hal seperti ini semakin membuatnya merasa terhimpit dan tidak mampu memikirkan hal lain di luar pemenuhan ekspektasi orangtua.

Sepi sejak 1960an

Cikal bakal Honjok telah terjadi sejak 1960. Pada masa itu, sebagian besar Honjok adalah janda berusia 65 tahun ke atas yang memiliki tingkat pendidikan rendah. Pada 2015, Associate Professor, Kajian Sosiologi Universitas Pennsylvania, Hyunjoon Park dan asisten profesor, Kajian Ekonomi Universitas Sunkyungkwan, Jaesung Choi; melansir penelitian tentang tren hidup sendiri kaum muda Korea Selatan sepanjang tahun 1960-2010.

Riset berjudul “Long-term trends in living alone among korean adults: age, gender, and educational differences” tersebut dibuat berdasarkan data sensus penduduk yang dilansir pemerintah Korea Selatan. Temuan Park dan Choi menyatakan peningkatan persentase warga Korea Selatan yang hidup sendiri paling banyak terjadi pada perempuan. Seiring waktu perempuan berusia 25-34 tahun dengan latar belakang tingkat pendidikan menengah dan tinggi (universitas) cenderung untuk menunda dan memutuskan untuk tidak menikah.

“Dorongan untuk hidup sendiri menandakan tren meningkatnya harapan hidup, berkurangnya jumlah anak, dan penundaan pernikahan,” katanya.

Dua akademisi tersebut juga mengutip pendapat H.Lee dan R. Ronald dalam “Expansion, diversification, and hybridization in Korean public housing” yang menyatakan pasar properti-- khususnya tempat tinggal dan kebijakan publik terkait kepemilikan properti punya pengaruh langsung terhadap keputusan hidup sendiri. “Properti di Korea Selatan jadi sebuah sumber investasi yang sangat menarik.”

Hizkia Yosie Polimpung, peneliti Koperasi Riset Purusha, menyatakan keinginan milenial untuk hidup sendiri berhubungan dengan etika kerja. “Etika kerja adalah motivasi mengapa orang bekerja. Selama ini, seseorang dibuat untuk berpikir mencari uang adalah kegiatan utama. Sebetulnya, uang ini tidak berdiri sendiri. Benda itu ibarat kotak pandora. Orang bisa cari uang untuk menikah atau sekolah," terang Yosie.

Ia berkata paparan budaya populer seperti media massa yang menggaungkan narasi You Only Life Once (YOLO) dan ragam iklan yang menggemborkan asyiknya bertualang sendiri membuat kaum pekerja punya imajinasi lain di luar narasi yang diturunkan dari keluarga inti, rekan selingkungan, dan masyarakat pada umumnya.

“Orang yang terantai di meja kerja akan berpikir ‘what i can possibly achieve’ di luar situasi ekonomi yang dihadapi. Di tengah situasi saat ini, para pekerja bisa punya kecenderungan untuk merasa diri kurang kompetitif, kurang punya uang dan keahlian. Kecenderungan tersebut bikin mereka punya imajinasi lain seperti pilihan untuk hidup sendiri,” lanjut Hizkia.

Pemerintah Korea Selatan menyebut fenomena Honjok sebagai ‘kepunahan alamiah’ dan mereka memprediksi jumlah Honjok terus meningkat seiring waktu. Kini prosentase jumlah orang yang hidup sendiri di Korea Selatan sudah menghampiri Jepang, negara yang dikenal dengan warga yang kesepian. Fenomena kesendirian milenial metropolitan ini terjadi pula di Cina dan India, juga telah menghampiri Indonesia.

Baca juga artikel terkait PSIKOLOGI atau tulisan lainnya dari Joan Aurelia

tirto.id - Gaya hidup
Penulis: Joan Aurelia
Editor: Suhendra