Menuju konten utama
Periksa Data

Pileg 2024: Keterwakilan Perempuan di Parlemen Makin Turun?

Proporsi perempuan dari daftar bakal caleg yang didaftarkan partai politik lebih kecil jika dibandingkan Pemilu 2019.

Pileg 2024: Keterwakilan Perempuan di Parlemen Makin Turun?
Periksa Data Keterwakilan Perempuan yang Terancam Mengecil di Pemilu. tirto.id/Quita

tirto.id - Keterwakilan perempuan menjadi salah satu isu yang menarik perhatian jelang pemilihan umum (Pemilu) 2024. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum mengamanatkan keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen sebagai bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota yang diajukan partai politik.

Seiring dengan ditutupnya pendaftaran bakal caleg DPR RI pada 14 Mei 2023 lalu, 18 partai politik yang akan bertarung dalam pesta demokrasi tahun depan, telah menetapkan nama-nama yang mereka usung. Dari informasi yang berhasil dihimpun Tirto dari pemberitaan berbagai media, semua partai politik telah memenuhi persentase minimal ini.

Untuk gelaran Pemilu 2024, Partai Ummat mendaftarkan paling banyak perempuan, jumlahnya mencapai 288 dari total 580 orang atau setara dengan 49,66 persen. Di bawahnya ada Partai Persatuan Indonesia (Perindo) yang mendaftarkan 250 orang caleg perempuan dari total juga 580 kuota (43,1 persen).

Tiga partai lain yang juga mendaftarkan caleg perempuan setidaknya 40 persen dari total caleg adalah Partai Gelora (42 persen), Partai Bulan Bintang atau PBB (40 persen), dan Garuda (40 persen).

Sementara dari sembilan partai yang saat ini punya wakil di parlemen, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi yang paling banyak mendaftarkan caleg perempuan sebanyak 208 orang (35,86 persen), diikuti Gerindra, 205 orang (35,34 persen).

Sementara partai parlemen lainnya mendaftarkan caleg perempuan di bawah 35 persen; PDIP dan NasDem dengan 33,1 persen, Golkar 33,97 persen, serta PPP, Demokrat, PAN, dan PKB semua 30 persen.

Sebagai catatan, kuota maksimal caleg yang bisa didaftarkan tiap partai politik adalah 580 orang. Hanya Partai Gelora yang mendaftarkan kurang dari jumlah tersebut, tepatnya 481 orang.

Terkait persentase bakal caleg perempuannya yang mencapai 43 persen dari total bakal caleg yang didaftarkan partai, Perindo menyatakan bahwa ini juga terkait inklusivitas yang diusung partai.

"Inklusivitas Partai Perindo itu dapat dilihat dari komposisi caleg, dari komposisi kepengurusan dan kita tidak pernah membedakan apa pun," kata Sekretaris Jenderal (Sekjen) Perindo Ahmad Rofiq, Minggu (14/5/2023).

Persentase Turun dari 2019

Meski sudah memenuhi syarat keterwakilan perempuan, jika dibandingkan dengan Pemilu tahun 2019 lalu, persentase keterwakilan perempuan ini cenderung turun.

Berdasar arsip BBC, semua partai politik punya calon legislatif perempuan paling sedikit 36 persen pada pendaftaran bakal caleg 2019. Partai seperti PSI, PPP, Hanura, PBB, dan Partai Garuda punya keterwakilan perempuan di kisaran 40 persen pada gelaran Pemilu 2019.

Sementara partai yang akhirnya lolos ke parlemen juga mendaftarkan perempuan lebih banyak pada 2019 dibanding untuk Pemilu 2024, setidaknya dilihat secara proporsinya. PDIP misalnya keterwakilan perempuan saat itu mencapai 37,52 persen, sementara Gerindra, yang proporsinya paling kecil, bahkan mencapai 36,73 persen.

Kondisi ini ditakutkan akan membuat representasi perempuan sebagai anggota dewan nantinya juga akan mengecil jumlah dan peluangnya.

"Saya khawatirnya begitu, dari yang tahun 2019 di atas 30 persen saja cuman 20,5 persen yang jadi anggota dewan. Tahun 2024 ini kalau lihat pencalonan juga lebih kecil persentasenya, khawatir nanti yang terpilih juga sedikit," ujar Direktut Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI) Hurriyah ketika dihubungi Tirto, Selasa (16/5/2023).

Melihat data yang dirangkum dari pemilu-pemilu sebelumnya, kursi caleg perempuan yang akhirnya terpilih menjadi anggota DPR juga belum pernah mencapai 30 persen.

Dalam jurnalnya, Dosen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Bina Nusantara, Ellas S. Prihatini mencatat kursi perempuan di DPR pada tahun 2019 berada pada angka 20,52 persen. Proporsi ini sebenarnya lebih tinggi daripada gelaran sebelum-sebelumnya; Pemilu 2004 dengan 11,6 persen, Pemilu 2009 dengan 18,04 persen, dan Pemilu 2014 17,32 persen persentase caleg perempuan di kursi parlemen.

Proporsi caleg perempuan ini sejalan dengan persentase bakal caleg yang didaftarkan. Persentase bakal caleg perempuan jumlahnya terus meningkat setiap tahunnya. Melihat komposisi bakal caleg perempuan yang sudah didaftarkan pada Pemilu 2024 yang turun dari Pemilu 2019, tren ini dikhawatirkan akan berbalik.

Kondisi ini diperparah dengan dirumuskannya Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 10 Tahun 2023.

Dalam beleid tersebut, tepatnya di Pasal 8 ayat (2) disebutkan kalau diberlakukannya pembulatan ke bawah apabila perhitungan 30 persen keterwakilan perempuan dari total bakal caleg yang dibutuhkan menghasilkan angka desimal kurang dari 50. Ketentuan ini akan membuat partisipasi perempuan untuk setidaknya mendaftar sebagai calon legislatif berkurang.

Tidak hanya melemahkan posisi perempuan untuk bisa terjun ke kancah politik praktis, hal ini juga bertentagan dengan isi undang-undang. Secara praktik, menurut Hurriyah, berarti daerah pemilihan (dapil) dengan jumlah bakal caleg empat, tujuh, delapan, dan 11 akan punya keterwakilan di bawah 30 persen setelah pembulatan.

"Kalau kandidatnya lebih sedikit, keterwakilan politik perempuan di parlemen terancam semakin menurun," tegas dia lagi.

Jika disimulasikan dengan kursi DPR, penerapan aturan pembulatan angka desimal ini akan berdampak pada pencalonan perempuan di 38 daerah pemilihan yang menjadi di bawah 30 persen.

Pasal 8 ayat (2) PKPU 10/2023 hanya menjadi salah satu upaya mengurangi partisipasi politik perempuan.

Catatan Puskapol UI pada tahun 2022 lalu, lewat PKPU No. 4/2022, terdapat juga penghapusan syarat keterwakilan perempuan minimal 30 persen dalam kepengurusan partai politik di tingkat provinsi dan kabupaten.

"Ini berarti syarat keterwakilan perempuan minimal 30 persen sebagai pengurus partai politik hanya berlaku untuk di tingkat nasional," ujar Hurriyah.

Hal ini memperkuat anggapan kalau keterwakilan 30 persen perempuan ini hanya menjadi syarat dan partai politik tidak benar-benar menyiapkan kader perempuan yang berkualitas untuk maju ke kursi DPR.

Aturan PKPU 10/2023 juga kemudian didorong publik untuk segera direvisi. KPU pun telah merespon dan berjanji akan memperbaikinya agar lebih mengakomodir keterwakilan perempuan sebagaimana diamanatkan undang-undang.

Caleg Perempuan dalam Tiap Pemilu

Jika melihat data ke belakang, proporsi bakal caleg perempuan menunjukkan tren peningkatan sejak Pemilu 2004.

Dalam artikel yang merangkum jurnal-jurnalnya, Ella Prihatini mencatat pada Pemilu 2004 terdapat 32,32 persen bakal caleg perempuan. Angka ini naik di Pemilu 2009 menjadi 35,49 persen. Lima tahun kemudian pada Pemilu 2014 angkanya kembali naik menjadi 37,34 persen dan gelaran teranyar, Pemilu 2019 jumlahnya menjadi 41,16 persen.

"Lebih banyak perempuan yang maju dalam pemilihan umum legislatif 2019 dibanding pileg-pileg sebelumnya," bunyi salah satu simpulannya dalam artikel yang dimuat The Conversation.

Dari rangkumannya, tujuh partai politik yang telah berpartisipasi dalam setiap pemilihan umum legislatif (Pileg) sejak tahun 2004 dan memiliki kursi di DPR, telah mendaftarkan calon perempuan dengan proporsi di atas 30 persen sejak tahun 2014.

Lebih lanjut dia menjelaskan, kuota gender ini penting untuk meningkatkan keterpilihan perempuan agar mencapai critical mass.

Critical mass adalah jumlah minimal yang diperlukan untuk menciptakan perubahan. Besarannya sendiri disebut rata-rata 30 persen dari kursi legislatif.

Namun, meski partai politik telah memenuhi syarat keterwakilan perempuan untuk bakal calon legislatif, kemudian mereka yang terpilih masih terlampau kecil jumlahnya. Belum pernah mencapai 30 persen.

"Ini karena banyak partai yang masih belum memprioritaskan caleg perempuan," bunyi salah satu kutipan dari artikel yang sama. Hal ini bisa terlihat dari masih sedikitnya partai yang memberikan nomor urut satu kepada perempuan. Padahal mayoritas calon legislatif terpilih adalah mereka yang punya nomor urut atas.

Senada, Hurriyah dari Puskapol UI juga menyoroti pentinganya nomor urut ini. Dari hasil riset mereka pada Pemilu 2019, telihat semakin kecil nomor urut caleg, maka peluang terpilihnya untuk menjadi anggota DPR makin besar.

Hasil analisis Puskapol UI menunjukkan caleg laki-laki dengan nomor urut 1 punya persentase dipilih sampai 68 persen, sementara untuk perempuan persentasenya 48 persen. Untuk nomor urut 2, caleg laki-laki punya peluang terpilih 17 persen, sementara perempuan 25 persen. Di nomor urut 3 persentase keterpilihannya turun drastis, caleg laki-laki di nomor urut ini keterpilihannya hanya 3 persen sementara perempuan 12 persen. Untuk nomor urut lebih besar dari 3, persentase keterpilihan caleg laki-laki 12 persen, dan perempuan 15 persen.

Selain tidak dibekali dengan pendidikan politik dan persiapan yang memadai, caleg perempuan juga tidak mendapat nomor urut atas karena hanya dijadikan sarana untuk bisa memenuhi jumlah bakal caleg yang didaftarkan.

Menurut Hurriyah, kebanyakan caleg perempuan untuk bisa mendapatkan nomor urut atas di kertas suara, perlu punya salah satu "modal". Modal yang dimaksud sendiri antara punya afiliasi kekerabatan politik dalam partai, punya sumber daya untuk membeli nomor teratas, atau populer di masyarakat. Faktor yang terakhir yang kemudian mendorong banyaknya artis yang kemudian terjun ke dunia politik.

Dalam pemetaan daerah pemilihan dan caleg perempuan, Puskapol UI juga mencatat terdapat 19 daerah pemilihan tanpa caleg perempuan terpilih pada Pemilu 2019. Dapil-dapil tersebut yaitu: Aceh 2, Riau 1 dan 2, Babel, Kepri, Lampung 1, DKI 3, Jateng 1 dan 10, Jatim 4 dan 11, Bali, NTB 1, NTT 1, Kalbar 1, Kalsel 1 dan 2, Kaltara, serta Papua Barat.

Baca juga artikel terkait PERIKSA DATA atau tulisan lainnya dari Alfons Yoshio Hartanto

tirto.id - Politik
Penulis: Alfons Yoshio Hartanto
Editor: Farida Susanty