Menuju konten utama

Piet van Straveren, Desersi dari Militer Belanda dan Membantu RI

Piet van Straveren adalah pemuda komunis Belanda yang cinta Indonesia. Itulah kenapa dia desersi dan membantu perjuangan RI.

Piet van Straveren, Desersi dari Militer Belanda dan Membantu RI
Piet van Staveren. tirto.id/Lugas

tirto.id - Sulit bagi laki-laki bule Belanda bernama Piet van Straveren untuk diterima kebanyakan orang Indonesia. Padahal dia adalah salah satu pendukung kemerdekaan RI. Tapi cap Komunis yang melekat pada Piet muda bisa menjadi ganjalan untuk dihormati di Republik ini. Di Indonesia, komunis sederajat dengan setan atau segala hal buruk lainnya.

Orang Indonesia masa kini barangkali tak sudi menyejajarkan Piet dengan Jan Poncke Princen, pembelot hebat yang sebetulnya kawan Piet, yang tidak dicap komunis. Piet van Straveren tampaknya tak ada dalam "daftar resmi" untuk dikenang sebagai salah pendukung kemerdekaan Indonesia.

Piet van Straveren mirip dengan Erik Verhagen, karakter gubahan Peter van Dongen dalam komik Rampokan Jawa & Celebes (2013). Erik berusia awal 20-an waktu dikirim ke Indonesia, dicap komunis, melarikan diri dari kesatuan, dan berkacamata. Persis seperti Piet van Straveren.

Waktu diberangkatkan ke Jawa, Piet satu kapal dengan Princen. Princen sudah dianggap desersi pada 1946, dengan kabur ke Perancis Selatan. Sebelum akhirnya ke Belanda dan dijadikan tentara sambil menunggu dipenjara sebentar di Jawa.

“Aku tidur dekat dengan Piet van Straveren, seorang komunis dan anggota pengurus Lembaga Persahabatan dengan Republik Indonesia,” aku Princen dalam autobiografinya, Kemerdekaan Memilih (1995: 55).

Datang sebagai Teman, bukan Musuh

Piet begitu benci pada tindakan Kerajaan Belanda mengirimkan pemuda-pemuda untuk berperang dengan Republik. Seperti Princen, Piet pernah menyembunyikan diri waktu ada panggilan wajib militer. Setelah ada pengampunan dan gombalan pemerintah bahwa wajib militer dikirim demi perdamaian, barulah Piet mau ikut ke Hindia Belanda yang sudah dinamai Indonesia itu. Princen ingat sekali apa yang ditulis di helm Piet: "Kami datang sebagai teman, tidak sebagai musuh".

Di mata Princen—yang merasa dirinya “masih mentah” dan tidak memiliki keteguhan seperti kawan komunisnya itu—Piet bukan berdiri di garis netral, tapi berpihak. Pemihakannya tidak lain kepada Republik Indonesia. Sebuah Republik yang, dengan segala kekurangannya, tampak tak bermasa depan di periode 1945-1949. Militer Indonesia di masa Revolusi masih rapuh untuk melawan angkatan perang macam KNIL. Jika diadu secara militer, Indonesia bisa habis. Tapi di situlah Piet van Straveren menaruh harapan sucinya.

Princen benar. Piet pun lebih dulu menyeberang ke Republik pada pertengahan 1947. Alasan penyeberangan Piet tentu saja karena merasa kecewa dengan propaganda pemerintah Belanda. Hingga Piet harus melakukan perjalanan jauh untuk melakukan pekerjaan kotor, menjadi tentara pendudukan yang menembaki pejuang kemerdekaan.

"Kalau begitu saya tentu harus menyerang Kapitalisme dan Kolonialisme Belanda," kata Piet seperti dikutip Martijn Blekendaal dalam artikelnya, "Indië-ganger in gewetensnood" di media Historisch Nieuwsblad (Mei 2013).

Jadilah dia musuh bangsanya sendiri. Baginya Belanda bangsa yang salah di masa itu dan Indonesia adalah pihak yang benar.

Pihak Republik tidak langsung percaya padanya. Martijn Blekendaal menyebut dia ditahan di Ganjuran selama tujuh bulan. Sebelum akhirnya dipindah ke sekitar Madiun. Meski begitu, Piet merasa tidak ada masalah. Bahkan dia mengirim kabar kepada keluarganya di Den Haag, “Aku sehat dan tinggal di Ganjuran. Aku punya banyak teman di sini. Jangan khawatirkan aku.”

Pelarian bule Belanda macam Piet bisa meningkatkan moril orang-orang Indonesia. Itu berarti bahwa apa yang dilakukan pemerintah Belanda salah. Piet tampaknya menikmati masa desersinya sebagai periode yang indah. Dia seperti menjadi bagian dari sebuah bangsa yang pernah dijajah negeri kelahirannya.

“Jika aku menikah, maka itu pasti dengan seorang gadis Indonesia," katanya.

Pada Mei 1948 Piet mengajukan naturalisasi. Diberikan atau tidak, Piet sudah punya nama baru yang disukainya: Pitojo Koesoemo Widjojo. Piet alias Pitojo adalah anggota dari Badan Kongres Pemuda. Dia sudah merasa sama dengan orang Indonesia lain. “Kita rakyat Indonesia,” katanya pada suatu kali. Tentang revolusi melawan tentara Belanda, baginya juga adalah "perjuangan nasional kita".

Infografik Seri Desersi Piet van Staveren

undefined

Kena Sial di Madiun

Piet berada di Madiun pada akhir 1948. Dia seperti berada di tempat dan waktu yang salah. Perang saudara di sekitar Solo dan Madiun mempersulit posisi Piet. Sebagai komunis, tentu dia akan dikaitkan dengan Musso dan Amir Sjarifoeddin yang bermain api pada 1948 itu.

Harry Poeze dalam Madiun 1948: PKI Bergerak (2011: 143) menyebut Piet mengaku melihat massa rakyat datang berdemonstrasi di Madiun dengan membawa golok dan mengayun-ayunkannya. Soal itu, di kemudian hari Pitojo mengaku bahwa dia terlibat secara tidak langsung. Tidak jelas apakah Pitojo segaris persis seperti Musso dan kawan-kawan atau tidak. Yang jelas “[Pitojo] ditugaskan sebagai pemimpin organisasi dan petugas penghubung penyiar Volksradio (Radio Front National).”

Poeze juga mencatat di radio yang terkenal dengan nama Radio Gelora Pemuda itu Pitojo mengurus siaran berbahasa Belanda (hlm. 162).

Pitojo mengaku melakukan kebodohan pada tahun berikutnya. Dia naik jip berbendera PBB ke daerah yang terdapat tentara Belanda ketika perang agak mereda. Ketika itu dia ditangkap dan akhirnya dibawa pulang ke Belanda. Pitojo pun diperlakukan sebagai penjahat oleh Kerajaan Belanda. Peristiwa itu terjadi pada September 1949.

Pemerintah Indonesia tidak ambil pusing atas penangkapan Pitojo meski ada keringatnya dalam perjuangan kemerdekaan. Pitojo dianggap sudah tidak penting lagi.

Di tahun 1950 Pitojo pun dibui selama 7 tahun oleh pemerintah Belanda. Tapi dia hanya menjalaninya sampai 1954. Sialnya Pitojo harus satu kubu dengan musuh sejati kaum komunis, golongan fasis Belanda, NSB, di Penjara Leeuwarden.

Bagi Pitojo, itu adalah penghinaan terburuk.

Baca juga artikel terkait TENTARA BELANDA atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Humaniora
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Ivan Aulia Ahsan