Menuju konten utama

Pidato Prabowo Menyebut Orang-Orang yang Bunuh Diri, Etiskah?

Prabowo bisa menyampaikannya tanpa menyebut metode secara eksplisit, apalagi dengan nada mendramatisasi.

Pidato Prabowo Menyebut Orang-Orang yang Bunuh Diri, Etiskah?
Calon Presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto (kiri) didampingi calon Wakil Presiden Sandiaga Uno (kanan) menyampaikan pidato kebangsaan di Jakarta Convention Center, Jakarta, Senin (14/1/2019). ANTARA FOTO/Galih Pradipta

tirto.id - Dalam Pidato Kebangsaan Indonesia Menang pada 14 Januari 2019 di Jakarta Convention Center, calon presiden Prabowo Subianto menyebut kasus bunuh diri di Indonesia, lengkap dengan nama, asal, serta cara bunuh dirinya. Tak hanya satu yang disebutkannya, tetapi tiga kejadian bunuh diri. Pidato ini lantas mendapat sorotan, diberitakan, dan diperbincangkan.

Etiskah yang dilakukan capres ini?

Pendiri Komunitas Pencegahan Bunuh Diri Into The Light, Benny Prawira Siauw, mengatakan sebaiknya Prabowo tak menyebutkan metode bunuh diri dalam pidatonya. Apalagi Prabowo menyampaikan dengan nada bicara yang menggebu-gebu.

“Memang itu lebih baik dihindari, karena bisa menyampaikan kesan bahwa kematian bunuh diri itu ada metodenya yang mematikan dan dapat digunakan oleh orang lain,” ujar Benny.

Benny juga menyampaikan bahwa pidato yang disampaikan Prabowo itu bisa efek glorifikasi: ketika seseorang mati dengan cara bunuh diri, ia akan mendapat perhatian lebih. Ia memberi saran, apabila hendak menyampaikan tingkat bunuh diri yang memprihatinkan di masyarakat, Prabowo bisa menyampaikan tanpa menyebut metode secara eksplisit, apalagi dengan nada mendramatisasi.

“Jadi memang kalau mau menyebutkan keprihatinan, ya hayuk sebutkan aja bahwa bunuh diri di kalangan apa yang ternyata cukup tinggi terjadi dan bagaimana solusinya. Bukan menunjuk masalahnya saja,” tutur Benny.

Di pidato itu, Prabowo menyampaikan bahwa kejadian-kejadian bunuh diri yang ia sampaikan diketahui dari berita-berita yang muncul di media massa. Menurut Benny, tak masalah jika media memuat pemberitaan tentang kejadian bunuh diri. Namun, berita itu tidak boleh disensasionalkan. Apalagi jika menyebutkan metode bunuh diri.

“Tidak disebutkan sebab tunggal, sebisa mungkin tone-nya tidak mendramatisir kronologi. Hal-hal seperti itu kan juga perlu diperhatikan,” ungkap Benny.

Pemberitaan Bunuh Diri Berdampak

Di beberapa negara seperti Austria, Amerika, Australia, dan Selandia Baru, telah diatur ihwal pemberitaan bunuh diri. Hal itu dilakukan karena pemberitaan bunuh diri memiliki dampak terhadap angka kejadian bunuh diri.

G. Sonneck, E. Etzersdorfer, dan S. Nagel-Kuess pernah melakukan penelitian tentang “Imitative Suicide on The Viennese Subway” (PDF) yang dilakukan di Vienna, Austria. Dalam penelitian itu, mereka melakukan penelitian terhadap seluruh kasus kematian akibat bunuh diri yang diberitakan oleh dua koran harian terbesar di Austria.

Sonneck, dkk melakukan penelitian tersebut setelah melihat peningkatan kasus bunuh diri dan percobaan bunuh di jalur kereta api sejak jalur itu dibuka pada 1978. Peningkatan itu disebabkan karena bentuk pemberitaan yang ada di media massa.

Akhirnya, Austrian Association for Suicide Prevention, Crisis Intervention and Conflict Resolution membuat pedoman bagi media dan meminta mereka mengikuti aturan tersebut. Dasar pedoman tersebut adalah asumsi bahwa jenis laporan tertentu tentang bunuh diri akan memicu perilaku bunuh diri.

Hasilnya cukup mengejutkan. Mereka mencatat penurunan kejadian bunuh diri di jalur kereta api hingga 75 persen dan kejadian bunuh diri dengan berbagai cara hingga 20 persen pada pertengahan kedua 1987.

Dalam buku berjudul International Handbook of Suicide Prevention yang disunting oleh Rory C. O’Connor, Stephen Platt, dan Jacki Gordon (2011:531), Jane Pirkis dan Merete Nordentoft menulis “Media Influences on Suicide and Attempted Suicide”. Di situ, mereka menuliskan tentang “Werther effect”, yakni sebuah fenomena peningkatan angka bunuh diri akibat mengikuti seseorang setelah membaca berita di media.

Dalam buku tersebut, Pirkis dan Nordentoft menceritakan peningkatan werther effect: ketika sebuah media memberitakan kematian selebritas. Peningkatan kejadian bunuh diri makin terjadi ketika sebuah media secara konsisten mengikuti sebuah kasus bunuh diri.

Infografik efek peniru bunuh diri

Infografik efek peniru bunuh diri

Pada era digital, rupanya kasus bunuh diri makin meningkat karena kemudahan akses informasi di internet. Apalagi sejak kemunculan situs-situs pro bunuh diri. Karena alasan itulah, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) membuat rekomendasi untuk media dalam melakukan reportase kejadian bunuh diri yang ditulis pada “Preventing Suicide A Resource for Media Professionals”.

Pedoman itu ditulis karena WHO menganggap bahwa bunuh diri merupakan masalah kesehatan yang penting karena bisa membawa dampak sosial, emosional, dan ekonomi. Menurut catatan WHO, setiap tahunnya terdapat 1 juta kejadian bunuh diri di dunia, dan setiap 1 kejadian bunuh diri akan membawa dampak bagi 6 orang lainnya.

Rekomendasi penulisan berita bunuh diri yang disampaikan WHO itu meliputi:

  • memberikan edukasi kepada masyarakat tentang bunuh diri,
  • menghindari penggunaan bahasa sensasional atau membentuk persepsi bahwa bunuh diri merupakan sebuah solusi penyelesaian masalah,
  • menghindari pemberian informasi tentang lokasi bunuh diri dan menceritakan secara detail tentang metode bunuh diri,
  • menghindari pemberian informasi rinci tentang situs-situs pro bunuh diri,
  • tidak menempatkan bunuh diri sebagai berita utama,
  • berhati-hati dalam menggunakan foto atau rekaman video,
  • berhati-hati dalam membuat informasi bunuh diri dari selebriti,
  • informasikan bahwa pemberitaan media bisa berpengaruh terhadap keinginan bunuh diri,
  • berikan informasi tentang bantuan profesional ketika muncul rasa ingin bunuh diri, atau ada orang di sekitar kita menunjukkan tanda-tanda ingin bunuh diri.

Baca juga artikel terkait PIDATO PRABOWO atau tulisan lainnya dari Widia Primastika

tirto.id - Kesehatan
Penulis: Widia Primastika
Editor: Maulida Sri Handayani