Menuju konten utama

Pidato Kenegaraan Jokowi dalam Empat Tahun: HAM Bukan Prioritas

Hanya ada satu paragraf singkat tentang HAM dalam 27 halaman Pidato Kenegaraan Jokowi tahun ini.

Pidato Kenegaraan Jokowi dalam Empat Tahun: HAM Bukan Prioritas
Sejumlah pegiat HAM yang tergabung dalam Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK) menggelar aksi Kamisan di depan Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (2/8/2018). ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A

tirto.id - Dalam Pidato Kenegaraan Sidang Tahunan MPR, Kamis (16/8), Presiden Joko Widodo mengungkapkan bahwa pemerintah menaruh perhatian kuat terhadap penghormatan, perlindungan, pemenuhan, dan penegakan Hak Asasi Manusia (HAM).

“Pemerintah berupaya mempercepat penyelesaian kasus-kasus HAM masa lalu serta meningkatkan perlindungan HAM agar kejadian yang sama tidak terulang lagi di kemudian hari,” ujar Jokowi.

Salah satu langkah yang telah ditempuh, menurut Jokowi, adalah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 33 tahun 2018 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2015 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RANHAM) Tahun 2015-2019.

Jokowi menegaskan, masalah penegakan HAM masih belum bisa dituntaskan sepenuhnya. Jokowi pun mengharapkan dukungan, bantuan, dan kerjasama dari seluruh pihak untuk bersama-sama menangani penegakan HAM di Indonesia.

“Saya menyadari masih banyak pekerjaan besar, pekerjaan rumah perihal penegakan HAM yang belum bisa tuntas diselesaikan,” sebut presiden seperti dikutip dari Antara. “Hal ini membutuhkan kerja kita semuanya, kerja bersama antara pemerintah pusat dan daerah dan seluruh komponen masyarakat dan dengan kerja bersama kita hadirkan keadilan HAM, kita hadirkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,” ucapnya.

Sebatas Janji Kampanye?

Apa yang disampaikan Jokowi soal HAM di Pidato Kenegaraan Kamis kemarin bukan sesuatu yang baru. Dalam Pidato Kenegaraan 2015, Jokowi mengatakan pemerintah berkomitmen membentuk komite rekonsiliasi untuk pelanggaran HAM berat.

“Saat ini pemerintah sedang berusaha mencari jalan keluar paling bijaksana dan mulia untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM di Tanah Air. Pemerintah menginginkan ada rekonsiliasi nasional sehingga generasi mendatang tidak terus memikul beban sejarah masa lalu,” kata Jokowi.

Setahun kemudian, di panggung yang sama, Jokowi tak menyinggung urusan HAM. Pidatonya berfokus pada isu pertumbuhan ekonomi dan pembangunan yang disebutnya sebagai “langkah menuju Indonesia maju.”

Pada 2017, urusan HAM lagi-lagi tak masuk daftar isi pidato kenegaraan presiden yang waktu itu mengenakan pakaian adat Bugis.

Ketiadaan atau sedikitnya bahasan HAM dalam pidato kenegaraan Jokowi menjelang ulang tahun kemerdekaan itu melahirkan pertanyaan: bagaimana sebetulnya Presiden Jokowi memandang penuntasan kasus pelanggaran HAM di masa lalu? Sebatas janji kampanye kah?

Empat kali pidato kewarganegaraan, empat kali pula Jokowi fokus pada dua tema kunci: pembangunan infrastruktur dan percepatan ekonomi—dua hal yang acapkali ia tegaskan berkali-kali sebagai modal utama pemerintahannya.

Ada cukup banyak kasus pelanggaran HAM di Indonesia yang belum tuntas penyelesaiannya, baik di masa lalu maupun masa sekarang. Di masa lalu, ada kasus pembantaian 1965, penembakan misterius (petrus) 1982-1985, penghilangan orang secara paksa 1997-1998, kerusuhan Mei 1998, peristiwa Trisakti, Semanggi I, Semanggi II, hingga kasus pembunuhan Munir.

Sementara di masa sekarang, kendati tak selalu berakhir dengan pembunuhan, hak-hak dasar warga negara kerap gagal mendapat perlindungan negara. Yang jadi sasarannya jelas kelompok minoritas, dari agama sampai seksual. Human Rights Watch, misalnya, mengatakan bahwa pemerintah menutup mata, bahkan tak jarang terlibat dalam aksi gebuk, persekusi, dan diskriminasi terhadap kelompok LGBT melalui retorika penuh kebencian yang seringkali diutarakan di hadapan publik.

Tak hanya menimpa kelompok LGBT, pelanggaran hak-hak dasar warga negara juga dialami oleh minoritas agama. Masih mengutip Human Rights Watch, kelompok-kelompok rentan ini senantiasa dihadapkan pada situasi serba sulit: peraturan diskriminatif, pelecehan, intimidasi, dan kekerasan dari kelompok-kelompok intoleran. Hasilnya? Mereka terusir dari kampung halamannya sampai tak bisa menjalankan ritus ibadah sebab dihalang-halangi aparat dan serangkaian regulasi pemerintah daerah.

Kasus Ahmadiyah, Syiah, Gafatar, sampai penyegelan GKI Yasmin adalah contohnya. Kasus-kasus pelanggaran HAM ini telah berlangsung sejak era SBY dan tak kunjung diselesaikan di zaman Jokowi.

Situasi di Papua lebih brutal lagi. Proyek infrastruktur yang digenjot Jokowi di provinsi itu tidak diimbangi dengan pemenuhan jaminan atas Hak Asasi Manusia.

Laporan terbaru Amnesty International Indonesia bertajuk “’Sudah, Kasi Tinggal Dia Mati’: Pembunuhan dan Impunitas di Papua” (PDF) menyebutkan bahwa sepanjang Januari 2010 sampai Februari 2018, terdapat 69 kasus pembunuhan ekstra-yudisial. Para pelakunya tak tersentuh alias kebal hukum. Ironisnya, dari puluhan kasus itu, 39 kasus pembunuhan sewenang-wenang terjadi pada masa pemerintahan Jokowi.

Laporan organisasi HAM asal London ini menegaskan bahwa tak satu kasus pun diproses lewat mekanisme penyelidikan atau penyidikan independen oleh institusi yang anggotanya diduga melakukan pembunuhan.

Kasus-kasus itu menelan 95 korban jiwa; 85 di antaranya orang asli Papua, 10 korban lain orang non-Papua. Sebanyak 34 kasus diduga dilakukan pihak kepolisian; 23 kasus diduga dilakukan pihak militer; dan 11 kasus diduga dilakukan kedua institusi tersebut.

Rangkuman kasus di atas termasuk 25 kasus pembunuhan yang tidak diinvestigasi, bahkan tanpa penyelidikan internal. Sementara dalam 26 kasus lain, polisi dan militer mengaku telah menyelidiki secara internal dengan hasil yang tak diumumkan ke publik. Hanya ada 6 kasus pembunuhan di mana para pelakunya dimintai pertanggungjawaban.

“Papua merupakan salah satu lubang hitam pelanggaran HAM di Indonesia,” ujar Usman Hamid, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, dalam peluncuran laporan tersebut di Jakarta, awal Juli silam sebagaimana dikutip Tirto.

“Di wilayah Papua, pasukan keamanan membunuh wanita, pria, dan anak-anak selama bertahun-tahun, tanpa kemungkinan untuk dimintai pertanggungjawaban dalam suatu mekanisme hukum yang independen,” lanjutnya.

infografik janji kosong jokowi soal HAM

Usman menjelaskan bahwa mayoritas kasus tak terkait aktivitas politik. Selain itu, aksi penembakan oleh polisi dan militer seringkali tak didahului tembakan peringatan.

“Sangat mengkhawatirkan melihat fakta bahwa polisi dan militer menerapkan taktik kejam dan mematikan yang mereka gunakan terhadap kelompok bersenjata kepada aktivis politik damai. Semua pembunuhan di luar hukum melanggar hak untuk hidup, yang dilindungi oleh hukum internasional dan Konstitusi Indonesia,” ujar Usman.

Solusi Pemerintah: Musyawarah

Awal Juni lalu, setelah sempat tarik ulur mengenai waktu pertemuan, Jokowi dan keluarga korban pelanggaran HAM berat—yang bergabung dalam Aksi Kamisan—akhirnya bertatap muka pada pukul 14.30 WIB sampai sekitar 16.20 WIB. Dalam pertemuan itu, dokumen-dokumen kasus HAM di masa lalu diserahkan ke Jokowi.

Menurut pengakuan keluarga korban pelanggaran HAM berat, Jokowi berjanji mempelajari berkas yang telah disampaikan agar kasus-kasus pelanggaran HAM, khususnya yang terjadi di masa lalu, bisa diselesaikan sesuai visi-misi program Nawacita Jokowi-JK.

Namun, tak lama setelah pertemuan tersebut, pemerintah justru bikin blunder yang menambah ketidakpastian penyelesaian kasus HAM berat. Pasalnya, pemerintah berencana membentuk Dewan Kerukunan Nasional (DKN) untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu dengan cara musyawarah.

Juli lalu, Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Yati Andriyani, menyebutkan tiga persoalan hukum yang muncul jika DKN benar-benar dibentuk. Pertama, menurut Yati, mekanisme penyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat melalui DKN hanya berupa musyawarah tanpa proses hukum. Hal ini bertentangan dengan UUD 1945 yang mewajibkan negara “melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum” dan “memberikan kepastian hukum yang adil”.

Kedua, dia melanjutkan, keberadaan DKN akan bertabrakan dengan UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. UU tersebut mengatur kewenangan penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM dimiliki oleh Komnas HAM dan Kejaksaan Agung, dan bukan Kementerian Koordinator Polhukam.

Ketiga, Yati menilai ada potensi maladministrasi wewenang yang dilakukan oleh Menkopolhukam jika pembentukan DKN terealisasi, karena berdasarkan Perpres 7/2015 dan Perpres 43/2015, tugas Menkopolhukam hanya bersifat koordinatif.

Tuntutan penyelesaian kasus pelanggaran HAM di masa lalu akan terus jadi tantangan bagi pemerintahan Jokowi yang masa kerjanya tinggal satu tahun kurang. Agar isu HAM tak jadi materi kampanye semata, ada baiknya Jokowi kembali mengingat bahwa di tengah Pilpres 2014, ia mengaku mengagumi puisi Wiji Thukul, penyair cum aktivis yang sejak 1998 sampai sekarang masih hilang.

Baca juga artikel terkait KASUS PELANGGARAN HAM atau tulisan lainnya dari M Faisal

tirto.id - Hukum
Penulis: M Faisal
Editor: Windu Jusuf