Menuju konten utama

Piala Dunia 1978 dan Kekejaman Junta Militer Jorge Rafael Videla

Mengapa Piala Dunia 1978 merupakan Piala Dunia yang paling buruk dalam sejarah?

Piala Dunia 1978 dan Kekejaman Junta Militer Jorge Rafael Videla
Jorge Rafael Videla dalam sebuah parade militer di Buenos Aires, 1978. FOTO/Wikicommon

tirto.id - Graciela Daleo justru menangis getir saat Buenos Aires melangsungkan pesta juara Argentina di Piala Dunia 1978. Ia merasa seperti orang asing dan tak tahu harus berbuat apa ketika orang-orang memadati jalanan kota itu sambil menari, bernyanyi, dan berbahagia. Padahal saat itu ia berada di tengah-tengah pesta.

“Aku mulai menangis karena aku sadar: jika aku berteriak bahwa aku Les Desaparecidos alias ‘Yang Hilang’, orang-orang itu tetap tak akan peduli denganku,” kenang Daleo, dikutip dari Financial Times.

Hari itu, 25 Juni 1978, penderitaan Daleo bermula setelah Argentina menang 3-1 atas Belanda di laga final Piala Dunia 1978. Beberapa saat setelah Daniel Bertoni mencetak gol pengunci kemenangan Argentina, Jorge Acosta mendatangi ESMA, pusat kamp tahanan para pembangkang pemerintah Argentina, tempat Daleo ditahan, dibungkam, dan disiksa.

Namun, alih-alih berbuat keji seperti biasa, salah satu tokoh penting dalam rezim militer Jorge Rafael Videla di Argentina itu justru berbuat sebaliknya: ia memeluk beberapa tahanan, satu per satu, termasuk Daleo, dan mengatakan, “Kita menang! Kita menang!” dengan nada penuh kebanggaan.

Setelah itu Acosta kemudian mengajak Daleo dan beberapa tahanan lain untuk ikut merayakan pesta kemenangan Argentina di pusat kota Buenos Aires. Ia menyiapkan beberapa mobil untuk arak-arakan, termasuk mobil Peugeot 504 yang kelak akan ditumpangi oleh Daleo beserta tahanan lain.

Dari situlah Daleo kemudian merasa bahwa perjalanan itu akan berat dan menyakitkan. Sebab, “Jika itu adalah kemenangan untuknya,” kenang Daleo, “itu berarti kekalahan untuk kami.”

Kekejaman Rezim Videla

Pada Maret 1976, Argentina punya pemerintahan baru yang dipimpin oleh Jorge Rafael Videla. Rezim itu berhasil berkuasa setelah menggulingkan rezim sebelumnya, pemerintahan Isabel Peron, melalui serangkaian teror bom hingga penculikan berbagai politikus. Janda mendiang Juan Peron itu lengser setelah hanya dua tahun memimpin Argentina.

Sebagian besar masyarakat berharap bahwa rezim baru itu mampu memperbaiki keadaan Argentina. Namun, suratan ternyata berkata lain: Alih-alih membuat masyarakat Argentina hidup tenteram dan nyaman, rezim Videla justru menyuguhi mereka dengan kekejamanan paripurna.

David Winner, dalam bukunya yang berjudul Brilliant Orange (2000), menyebut bahwa tanda-tanda kekejaman Videla bahkan sudah terlihat sejak awal masa pemerintahannya. Jika rezim-rezim sebelumnya masih memanusiakan para pemberontak, Videla lebih senang menarik pelatuk bedil untuk membungkam mereka.

“Sebanyak mungkin orang harus mati agar negeri ini bisa kembali aman,” demikian yang ia ucapkan tatkala sebagian besar gerilyawan sayap kiri maupun politikus sayap kanan pendukung Peron tiba-tiba menghilang tanpa jejak.

Kekejaman Videla tak hanya berhenti hanya sampai di situ. Pada tahun 1977, saat para penentang pemerintahannya semakin meningkat, ia menambahkan: “Pertama, kita harus membunuh semua pemberontak; lalu, para simpatisan; lalu, orang-orang yang punya pandangan berbeda; Dan terakhir, semua orang yang ketakutan.”

Agar semua berjalan mulus, Videla bahkan merancang pembunuhan itu sedemikian rupa. Mula-mula ia menculik para pemberontak itu ke salah satu kamp tahanan rahasia yang tersebar di 340 tempat di Argentina. Sesampainya di kamp, mereka akan disiksa dan dipaksa buka mulut untuk memberitahukan siapa saja yang tak sepaham dengan pemerintah. Eksekusi baru dilakukan setelah pemberontak tak punya apa-apa.

Dalam bukunya yang berjudul Angel with Dirty Faces (2015), Jonathan Wilson menilai kekejaman Videla membuat keadaan Argentina jauh lebih mengerikan daripada sebelumnya. Rezim itu tidak hanya memicu “Perang Kotor”, tapi juga bikin wajah Argentina di mata dunia jadi tambah kotor. Namun, saat orang-orang luar semakin gencar menyebutnya sebagai pelanggar Hak Asasi Manusia, Videla ternyata masih punya senjata: Piala Dunia 1978.

Wilson menulis: “Piala Dunia 1978 amat penting bagi Videla. Ajang empat tahunan FIFA itu bahkan bisa memberikan dampak besar terhadap kekuasaannya: menunjukkan Argentina masih baik-baik saja, memperkuat semangat nasionalisme, hingga memberikan kesempatan lebih besar bagi Videla untuk membungkam musuh-musuhnya.”

Dengan pendekatan seperti itu, Videla kemudian mempersiapkan Piala Dunia 1978 dengan serius. Bahkan, menurut laporan History, Piala Dunia sampai menjadi agenda utama dalam rapat pertama Videla sebagai penguasa.

Videla sampai nekat memakai 10% anggaran negara, sekitar 700 juta dolar Amerika, untuk mewujudkan keinginannya menggelar Piala Dunia. Dana itu akan digunakan untuk banyak hal: memperbaiki infrastruktur pertandingan, sarana transportasi, hingga — yang paling kontroversial — memperbaiki tata kota.

Selain itu, untuk meyakinkan FIFA, Videla juga menggunakan sebagian kecil dana itu untuk memperbaiki citra Argentina di mata dunia. Ia menyewa publik relation asal Amerika Serikat, Burson-Marsteller, dan menyuruh mereka untuk memberitakan hal-hal baik tentang Argentina.

Namun, ambisi terbesarnya bukan hanya itu. Videla percaya Argentina juga harus menjadi juara di Piala Dunia 1978.

Maka, selain menyatakan dengan tandas bahwa para pemain “berkewajiban untuk memperlihatkan mereka adalah yang terbaik di alam semesta”, Videla juga menyiapkan sebuah tontonan Piala Dunia yang tak pernah dibayangkan sebelumnya: mengatur agar Argentina keluar sebagai juara.

Infografik Kekejaman Videla dan Piala dunia 1978
Infografik Kekejaman Videla dan Piala dunia 1978. tirto.id/Sabit

Aib Piala Dunia 1978

Bergabung bersama Hungaria, Italia, dan Prancis di Grup 1, kiprah Argentina langsung mencurigakan sejak putaran pertama Piala Dunia 1978. Meskipun Mario Kempes dkk hanya lolos ke putaran kedua sebagai runner-up grup, kemenangan mereka atas Hungaria dan Perancis dipenuhi keputusan kontroversial.

Saat Argentina menang 2-1 atas Hungaria, misalnya, wasit mengusir dua pemain Hungaria tanpa alasan yang jelas. Sementara itu, kemenangan Argentina 2-1 atas Perancis juga diwarnai sebuah penalti kontroversial.

Kontroversi itu memang sempat mengendur beberapa saat. Argentina sempat kalah 0-1 dari Italia, dan pada putaran kedua mereka hanya mampu bermain imbang 0-0 melawan Brasil, serta hanya menang 2-0 atas Polandia. Namun, pada laga terakhir putaran kedua, apa yang dilakukan timnas Argentina sukar dipercaya: mereka berhasil mengalahkan Peru dengan skor 6-0.

Sebagaimana dikisahkan Will Hersey dalam salah satu tulisannya di Esquire, Argentina saat itu setidaknya harus menang 4-0 agar dapat lolos ke babak semifinal. Hal itu tentu tidak mudah diraih mengingat Peru termasuk tim kuat. Meskipun sudah tidak punya kesempatan lolos ke semifinal, Peru merupakan juara Grup 4 di putaran pertama.

Namun, saat menghadapi Argentina, Peru hanya bermain layaknya sebuah tim yang baru belajar bermain bola.

Masih menurut Hersey, banyak pihak yang kemudian menilai bahwa pertandingan itu tidak berjalan normal. Sementara pelatih Brasil menyebut pertandingan itu adalah aib. Brian Glanville, wartawan Inggris, percaya bahwa Peru sudah “dibeli”. Tentu Argentina menampik segala tuduhan tersebut, tapi bukti kuat adanya pengaturan skor terus bermunculan.

Konon, sebelum pertandingan, Videla terlihat mengunjungi kamar ganti pemain Peru. Maria Laura Avignolo, jurnalis investigatif asal Argentina, mendapatkan ancaman kematian saat ingin menguak fakta di dalam pertandingan tersebut. Dan terakhir, Hersey menulis:

“Satu tahun setelah pertandingan itu, seorang senator asal Peru mengklaim bahwa pertandingan itu sudah diatur. Transaksi itu melibatkan tahanan politik, uang, dan gandum.”

Menariknya, hingga akhirnya menjadi juara, kiprah Argentina terus diiringi dengan kontroversi. Terutama pada laga final melawan Belanda, mereka bahkan sudah tampak akan menjadi pemenang bahkan sebelum laga dimulai: panitia tiba-tiba menukar ofisial pertandingan dan bus yang mengangkut para pemain Belanda secara tak terduga diarak ke daerah yang dipenuhi pendukung Argentina.

Kelak, daripada membanggakan warga Argentina, dunia tahu bahwa kemenangan Argentina tersebut justru lebih membanggakan bagi Videla dan antek-anteknya. Piala Dunia 1978 adalah Piala Dunia terburuk yang pernah ada. Penyebabnya jelas: saat sebagian warga Argentina bersorak di dalam stadion, sebagian lainnya masih menjerit di balik pintu tahanan.

Sebagian besar jeritan itu bermuara di ESMA, yang hanya berjarak dua blok dari Stadion Monumental, pusat semesta Piala Dunia 1978. Ada sekitar 5000 orang yang dibungkam di sana dan Daleo adalah salah satunya. Setelah Videla lengser pada tahun 1983, hanya ada 200 orang yang selamat. Lalu berapa perkiraan total mereka yang hilang?

Sekitar 30 ribu orang.

Baca juga artikel terkait PIALA DUNIA atau tulisan lainnya dari Renalto Setiawan

tirto.id - Olahraga
Penulis: Renalto Setiawan
Editor: Eddward S Kennedy