Menuju konten utama
Periksa Data

PHK Hantam Industri Tekstil, Apakah Ekspor TPT Tengah Terganggu?

Faisal dari CORE Indonesia berpendapat bahwa tekanan dari sisi permintaan terjadi pada kuartal IV.

PHK Hantam Industri Tekstil, Apakah Ekspor TPT Tengah Terganggu?
Header Periksa Data PHK Hantam Industri Tekstil. tirto.id/Mojo

tirto.id - Kabar Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) masih berdengung di seantero negeri. Pasalnya, badai itu tak sekadar menghantam perusahaan teknologi, melainkan juga industri tekstil dan pakaian jadi (garmen).

Kementerian Perindustrian (Kemenperin) pada 8 November 2022 melaporkan tenaga kerja yang terdampak mencapai 92.149 orang dari industri tekstil dan garmen, dan 22.500 orang dari industri alas kaki. Laporan dari sejumlah asosiasi yang diterima Kemenperin mengungkap industri tekstil dan produk tekstil (TPT) serta alas kaki tengah mengalami kinerja yang melambat.

Kemenperin menyatakan, musababnya yakni menurunnya utilisasi di sektor industri serat (20 persen), spinning/pemintalan (30 persen), tenun dan rajut (50 persen), garmen (50 persen), pakaian bayi (20 sampai 30 persen), dan alas kaki (49 persen). Beberapa perusahaan itu sudah ada yang memangkas jam kerjanya jadi 3-4 hari, yang biasanya 7 hari kerja.

Jika mengamati data Badan Pusat Statistik (BPS), pada triwulan III tahun ini, industri TPT memang mengalami perlambatan secara kuartal ke kuartal (q-to-q), terkontraksi hingga -0,92 persen dibandingkan triwulan sebelumnya sebesar 1,64 persen.

Begitu juga jika melihat pertumbuhan industri ini secara tahunan. Pada triwulan III, laju pertumbuhan industri TPT hanya menyentuh level 8,09 persen year-on-year (yoy), turun ketimbang triwulan II sebesar 13,74 persen yoy. Namun industri alas kaki, kulit, dan barang dari kulit tumbuh dari 13,12 persen yoy pada kuartal II 2022 menjadi 13,44 persen yoy pada triwulan ketiga ini.

Ekspor Terpukul pada Kuartal IV?

Direktur Eksekutif CORE Indonesia Mohammad Faisal dalam webinar bertajuk “CORE Economic Outlook 2023: Harnessing Resilience against Global Downturn” yang dihelat 23 November lalu menilai industri tekstil memang menjadi salah satu yang terdampak perlambatan ekonomi global, sebab produk tekstil termasuk juga alas kaki banyak berorientasi pada pasar luar negeri.

Belum lagi Indonesia bukan satu-satunya eksportir TPT dan pukulan semacam ini juga dialami oleh negara-negara lain, menurut Jemmy Kartiwa Sastraatmaja selaku Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API). Ia bilang, ada China, Bangladesh, Vietnam, India, Pakistan yang secara nilai dan volume jauh di atas Indonesia yang juga mencoba mencari pasar ekspor baru. Kabarnya, Indonesia termasuk incaran pengembangan ekspor mereka.

“Padahal daya beli masyarakat Indonesia juga mulai mengalami perlemahan. Akibat serangan mereka, utilisasi sektor TPT baik dari hulu-hilir kian memburuk,” pungkasnya kepada Tirto, Rabu (23/11/2022).

Lain pihak lain cerita, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan sektor tekstil masih menunjukkan pertumbuhan yang signifikan, bahkan memberikan kontribusi terhadap kinerja ekspor. Senada, Kemenperin juga menyebut, ekspor TPT secara kumulatif masih mengalami kenaikan sampai dengan September 2022 sebesar 15,6 persen bila dibandingkan data pada periode yang sama tahun 2021.

Menurut dia, ekspor pakaian jadi dan aksesoris dengan kode HS61 masih tumbuh pada September 2022 sebesar 19,4 persen, diikuti ekspor pakaian jadi dan aksesoris non-rajutan dengan kode HS62 yang juga tumbuh 37,5 persen. Selain itu ekspor produk tekstil lainnya seperti alas kaki dengan kode HS64 juga masih tumbuh 41,1 persen pada periode sama, yang menandakan produksi di sektor garmen tekstil tidak mengalami gangguan berarti.

Pernyataan itu didukung oleh data BPS per November 2022, yang mencatat ekspor 3 produk TPT seperti pakaian dan aksesori rajut, pakaian dan aksesori bukan rajut, dan alas kaki di angka 13,4 miliar dolar Amerika Serikat (AS). Angka itu naik tipis sebesar 2 persen dari capaian Januari - November tahun 2021 sejumlah 13,1 miliar dolar AS.

Dengan pertumbuhan ekspor TPT, dugaan Sri Mulyani saat itu adalah bahwa banyak perusahaan melakukan realokasi pabrik seiring dengan membaiknya kondisi infrastruktur di tempat lain di Indonesia atau karena pengusaha ingin mencari kawasan dengan upah buruh yang lebih baik.

Melihat tren pada tahun-tahun sebelumnya, ekspor ketiga produk tersebut cenderung terus melorot selama 2018 – 2020, namun merangkak naik pada 2021. Per November tahun ini, jenis ekspor yang paling banyak yaitu alas kaki, dengan nilai ekspor menyentuh 5,9 miliar dolar AS, kemudian disusul dengan pakaian dan aksesori bukan rajut, serta pakaian dan aksesori rajut.

Pada tahun 2021 mayoritas pakaian jadi dari tekstil itu dikirim ke AS, jika mengacu pada laporan BPS. Nilai ekspornya saat itu mencapai 3,86 miliar dolar AS, alias lebih dari 50 persen dari total nilai ekspor pakaian jadi Indonesia pada 2021 sebanyak 6,9 miliar dolar AS. Itu artinya, AS merupakan negara paling berpengaruh terhadap industri tekstil Indonesia.

Posisi AS juga tak pernah bergeser dan selalu bertengger di urutan pertama negara tujuan ekspor pada 4 tahun sebelumnya. Namun nilainya sempat anjlok pada 2020, yakni di angka 2,9 miliar dolar AS setelah konsisten pada kisaran 3,7 miliar dolar AS. Negara lain seperti Jepang, Jerman, Korea Selatan, Australia, dan Tiongkok jadi terbesar berikutnya sebagai pasar ekspor TPT pada 2021.

Kendati kinerja ekspor tekstil secara keseluruhan terlihat masih baik, Faisal dari CORE Indonesia berpendapat bahwa tekanan dari sisi permintaan terjadi pada semester kedua atau menjelang kuartal IV.

"Kalau kumulatif memang pasti akan ada peningkatan karena tren penurunannya kan bukan terjadi dari awal tahun, tapi baru beberapa bulan terakhir. [....] Ya sejalan juga dengan kondisi di Amerika lah ya, yang sebetulnya kekhawatirannya menjelang akhir tahun ini," katanya.

Ucapan Faisal sejalan dengan data BPS yang menunjukkan perlambatan pertumbuhan industri TPT, baik secara kuartal maupun tahunan, di kuartal ketiga 2022.

Faisal pun mengungkap bahwa industri tekstil telah menghadapi masalah sejak sebelum pandemi, yakni daya saingnya yang terus tergerus turun. Menurutnya, di satu sisi biaya produksi dan upah semakin meningkat, di sisi lain kompetitor negara-negara lain lebih efisien.

Sementara itu, jika melihat permintaan pasar dalam negeri, survei Bank Indonesia (BI) menunjukkan kinerja penjualan eceran pakaian melambat pada September tahun ini. Hal itu tercermin dari Indeks Penjualan Riil (IPR) kelompok sandang yang melorot, dari 56,4 persen yoy pada Agustus menjadi 34,6 persen yoy di bulan September.

Begitu juga secara bulanan pada September 2022, penjualan sandang menukik turun menjadi -8,3 persen month-to-month (mtm) dari bulan sebelumnya sebesar 0,5 persen mtm. Menukil laporan BI, itu terjadi seiring dengan penurunan permintaan. Kendati demikian, IPR sandang nampak paling tinggi dibanding kelompok lainnya.

Buruh Klaim Situasi Lapangan Tak Sesuai

CCC Koalisi Indonesia yang terdiri atas serikat buruh termasuk buruh yang bekerja di sektor garmen, tekstil, dan sepatu mempertanyakan klaim asosiasi pengusaha mengenai berkurangnya order. Sebab, realita di lapangan menunjukkan sebaliknya.

Nyatanya, menurut mereka target produksi harian buruh tidak banyak mengalami perubahan. Bahkan selama periode Agustus hingga September 2022, buruh harus melaksanakan lembur.

Mereka menilai, resesi global, kekurangan order dan situasi geopolitik bukan alasan untuk memperpanjang penderitaan buruh garmen, sepatu, dan tekstil, serta tak menjadi basis untuk memecat buruh dan mengurangi upah. Karena dalam situasi normal sekalipun, mereka menyebut, para buruh kerap mengalami pemecatan dan pengurangan upah.

“Sebagai contoh, pada awal 2022 ketika situasi mulai membaik dan produksi di pabrik meningkat, pemasok garmen, tekstil dan sepatu, tidak segera memulihkan hak-hak buruh. Dengan demikian resesi global sekadar dalih untuk merampas hak buruh,” mengutip siaran pers CCC Koalisi Indonesia, Minggu (20/11/2022).

Beberapa perusahaan di Jakarta, Banten, Jawa Barat dan Jawa Tengah juga mereka sebut telah memperlihatkan tren positif yang ditandai dengan kebijakan penambahan buruh atau rekrutmen.

“Artinya ada demand (permintaan) order yang meningkat, sehingga perusahaan merasa membutuhkan tambahan supply (penawaran) dari sisi tenaga kerja untuk memenuhi target demand (order),” masih dari siaran pers yang sama.

Mereka mengatakan, ketika para pengusaha di Jabodetabek berusaha meyakinkan buruh di tingkat pabrik dengan mengatakan order menurun, pada saat yang bersamaan order di perusahaan lain yang menjadi subkontraknya melejit.

Berdasarkan penelusuran CCC Koalisi Indonesia, salah satu pemasok Adidas di Tangerang misalnya, mengaku turun oder kemudian memecat ribuan buruhnya. Akan tetapi, anak usahanya di Brebes Jawa Tengah, dengan produk yang sama meningkat tajam.

Merespons situasi pelik ini koalisi buruh mendesak pemerintah untuk membatalkan kesepakatan-kesepakatan tingkat pabrik yang mengurangi hak-hak buruh. Kebijakan itu disebut tidak manusiawi dan melanggar Konvensi 131 Tahun 1970 mengenai Konvensi Upah Minimum.

CCC Koalisi Indonesia juga menyerukan kepada seluruh buruh Indonesia, untuk menolak PHK dan pengurangan upah atas nama resesi global.

Butuh Alternatif dan Insentif

Apabila melihat kondisi ekspor tekstil tahun depan, Direktur Eksekutif CORE Indonesia Mohammad Faisal beranggapan situasi pasar ekspor Tiongkok berbeda dengan Amerika, dalam arti agak sedikit lebih baik ketimbang tahun ini. Meski begitu, ia menilai industri TPT tetap perlu mencari alternatif.

“Jadi artinya, menghadapi tahun 2023, industri tekstil ini, dalam kondisi di mana permintaan itu mengalami penurunan, pasarnya terutama mengalami penurunan. Jadi harus dicari alternatif daripada pasar, entah dari negara yang lain, tujuan ekspor yang lain untuk tekstil dan produk tesktil, maupun juga ke pasar dalam negeri,” ungkapnya ketika ditanya Tirto dalam acara daring CORE Economic Outlook 2023, Rabu (23/11/22).

Dirinya berpendapat, pasar dalam negeri semestinya menjadi salah satu alternatif lantaran potensi permintaan pada tahun depan masih relatif kuat.

“Walaupun memang tidak gampang [….] Perlu ada insentif yang diberikan, untuk supaya produk-produk yang tadinya diekspor itu tetap kompetitif untuk dipasang dalam negeri. Jadi dari sisi kebijakan perdagangan harus ada penyesuaian,” sambungnya.

Menyusul Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 18 Tahun 2022 tentang kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) tahun 2023 maksimal 10 persen yang baru-baru ini diteken, Faisal menaksir keuntungan dan permintaan dalam industri tekstil akan mengalami penurunan.

Sebab katanya, dampak krisis geopolitik terhadap peningkatan harga bahan baku, biaya logistik, dan biaya untuk energi saat ini juga telah lebih banyak ditanggung oleh produsen dibandingkan konsumen.

“Nah, untuk itu, insentif bukan hanya dari sisi pasarnya, atau pedagang di hilirnya. Tapi juga kalau ingin supaya bisa tetap mempekerjakan buruh dengan ekspektasi ada peningkatan upah minimum maka harus ada insentif untuk supaya biaya produksi yang meningkat, ini ada insentif untuk meringankan. Jadi dari sisi biaya bahan bakunya kah, atau insentif dari sisi logistik atau juga energi,” ungkap Faisal.

Lebih lanjut ia menyatakan bahwa hal itu dilakukan supaya opsi PHK menjadi pilihan yang terakhir, bahkan kalau memungkinkan masih bisa memberikan upah yang lebih tinggi dengan maksimal 10 persen.

“Tanpa ada insentif untuk membantu biaya produksi, saya rasa akan kecil kemungkinan untuk industri seperti tekstil untuk tidak merumahkan paling tidak sebagian dari karyawannya,” katanya.

Dari sisi pemerintah Kemenperin telah membentuk Satuan Tugas Pengamanan Krisis Industri Tekstil, Kulit Dan Alas Kaki untuk menginventarisasi industri TPT dan alas kaki yang terdampak oleh krisis perekonomian global, serta permasalahan yang dihadapi.

Baca juga artikel terkait PERIKSA DATA atau tulisan lainnya dari Fina Nailur Rohmah

tirto.id - Bisnis
Penulis: Fina Nailur Rohmah
Editor: Farida Susanty