Menuju konten utama

Petugas KPPS Banyak Meninggal, Perlukah Menerapkan E-Voting?

Sistem e-voting dianggap efektif dan efisien. Namun, di balik itu, ia punya celah masalah yang besar.

Petugas KPPS Banyak Meninggal, Perlukah Menerapkan E-Voting?
Petugas memperlihatkan Kartu Pintar atau Smart Card e-Voting Sistem Pemilu Elektronik, di Bandung, Jawa Barat, Selasa (24/10/2017). ANTARA FOTO/Fahrul Jayadiputra

tirto.id - Puluhan petugas dari Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) meninggal dunia usai bekerja pada hari pemilihan umum, 17 April lalu. Sebabnya macam-macam, dari kecelakaan hingga━yang jumlahnya paling banyak━kelelahan.

Berdasarkan rekapitulasi Komisi Pemilihan Umum (KPU), hingga Senin (22/4) kemarin, terdapat 91 petugas KPPS yang meninggal dunia akibat panjangnya durasi kerja selama pemilu serentak.

Bagi petugas KPPS, sistem pemilu serentak yang baru digelar tahun ini memang membuat jam kerja mereka amat panjang. Para petugas mesti menghitung ratusan atau bahkan ribuan surat suara Presiden-Wakil Presiden, DPR RI, DPRD Provinsi, DPRD Kota atau Kabupaten, dan DPD RI.

Selain melakukan rekapitulasi, menyusun laporan, dan melengkapi berita acara, petugas KPPS juga harus membantu memfasilitasi calon pemilih agar mendapatkan haknya. Petugas juga bertanggung jawab terhadap fisik TPS. Artinya, mereka juga bekerja sebelum hari pemilihan━meski beban terberat tetap pada hari H.

Meniru India?

Di samping Pemilu serentak yang dianggap tidak sangkil dan mangkus pula melelahkan, dan karenanya direkomendasikan tidak dilakukan lagi, tragedi yang menimpa petugas KPPS seperti membuka kembali wacana pemungutan dan penghitungan suara secara elektronik (electronic voting).

Proses voting secara elektronik sendiri bukanlah sesuatu yang asing. Lembaga Internasional Pemilu dan Demokrasi (IDEA), yang berkantor pusat di Stockholm, Swedia, menyebut sudah ada sekitar 32 negara yang menerapkan electronic voting dalam kegiatan pemilunya. Negara-negara tersebut antara lain Swiss, Kanada, Australia, AS (hanya di beberapa negara bagian), Jepang, Korea Selatan, hingga India.

India merupakan contoh yang tepat bila berbicara tentang electronic voting. Sistem coblosan secara elektronik ini sudah diterapkan sejak beberapa dekade silam, tepatnya saat pemilihan Majelis Konstituante di Kerala pada 1982.

Dalam setiap coblosan, Komisi Pemilihan Umum India (EC) menyiapkan alat bernama Electronic Voting Machine (EVM). Mesin ini terdiri atas dua bagian: unit kontrol dan pemungutan suara━keduanya terhubung dengan kabel sepanjang lima meter.

Unit kontrol ditempatkan di dekat petugas, sementara unit pemungutan suara berada di dalam kotak atau bilik bersama para pemilih. Agar pemilih dapat menyalurkan suaranya, mereka diminta menekan satu dari sekian tombol━berisikan keterangan kandidat maupun daftar partai politik━yang terletak di samping unit pemungutan suara.

EVM dirancang oleh Komite Ahli Teknis KPU India (TEC) yang bekerja sama dengan dua perusahaan BUMN, Bharat Electronics dan Electronic Corporation of India. Pada pemilu 2014, KPU India menyediakan sekitar 1,6 juta EVM yang masing-masing mampu merekam 2.000 suara. Dana produksi yang dibutuhkan untuk satu mesin yakni 8.670 rupee atau sekitar Rp1,7 juta.

Keunggulan EVM, menurut klaim pemerintah, ialah bisa dipakai di daerah tanpa listrik karena memanfaatkan tenaga dari baterai; mampu menghilangkan suara tidak sah sehingga dapat menghemat anggaran negara; meniadakan percetakan jutaan surat suara; proses penghitungan sangat efektif dan hasilnya dapat diumumkan dalam 3 hingga 5 jam kemudian; serta keberadaan mesin betul-betul memastikan “satu orang, satu suara” dapat terealisasi sebab ketika pemilih sudah menekan tombol, maka suara yang masuk mesin otomatis langsung terkunci dan tak bisa berubah lagi.

Dalam penelitian berjudul “The Impact of Electronic Voting Machines on Electoral Frauds, Democracy, and Development” (2017, PDF), Sisir Debnath, Mudit Kapoor, dan Shamika Ravi mengungkapkan bahwa kehadiran EVM mampu menurunkan tingkat kecurangan, mendorong perempuan dan orang-orang dari kelompok kasta terendah lebih aktif memberikan suara mereka, hingga mengurangi angka kriminalitas (pembunuhan, pemerkosaan) yang muncul sehubungan dengan pemilu.

Ditolak atau Lanjut?

Meski dianggap punya banyak keunggulan, tidak semua negara menerima penerapan electronic voting. Rata-rata punya basis argumen sama: dengan menyertakan mesin, potensi kecurangan━diretas, misalnya━lebih terbuka lebar.

Pada pemilu 2017, sebagaimana dilaporkan BBC, electronic voting di Venezuela dianggap jadi cara pemerintah untuk menggelembungkan suara━klaim yang lantas dibantah pemerintah. Di Argentina, e-voting ditolak sebab hasil pemilu dicemaskan bisa dimanipulasi. Sedangkan di Jerman, pada 2009, pengadilan melarang e-voting karena tidak semua warga paham bahasa pemrograman.

Respons masyarakat India sebetulnya tak jauh beda dari negara-negara di atas. Masyarakat menilai bahwa e-voting rawan diretas. Berbagai upaya pun dilakukan agar pemerintah India menimbang ulang penerapan e-voting. Salah satunya dengan menggugat ke pengadilan. Tujuh kali upaya hukum ditempuh, tujuh kali pula pengadilan menolaknya. Pemerintah selalu berdalih: EVM kokoh dan tak bisa ditembus para peretas.

Namun, pada 2010, pemerintah India mesti menanggung malu. Sekelompok peneliti yang dipimpin Alex Halderman dari University of Michigan memperlihatkan bahwa EVM bisa ditembus. Para peneliti ini menghubungkan perangkat buatan ke mesin dengan mikroprosesor serta mengirim pesan teks dari ponsel yang kemudian mampu mengubah angka dalam mesin penghitungan suara.

Penelitian tersebut lantas dituangkan dalam paper bertajuk “Security Analysis of India’s Electronic Voting Machines” (PDF). Para peneliti berpendapat, dari eksperimen yang sudah dilakukan, EVM di India sangat rentan terhadap “serangan serius”.

Penyerang, dengan akses tertentu, dapat mengubah hasil pemilihan sesuai kepentingannya. Keadaan itu, tegas mereka, berakar dari tidak transparannya pemerintah terhadap mesin bikinannya sendiri.

Infografik E-Voting

undefined

Agar masalah kecurangan dapat dihindari, Halderman dan kawan-kawannya menyarankan pemerintah, atau dalam hal ini KPU India, menyertakan VVPAT (Voter-Verified Paper Audit Trail) di setiap EVM yang ada. Tujuan pengadaan VVPAT adalah untuk meningkatkan transparansi selama proses pemungutan suara. VVPAT memungkinkan pengguna untuk bisa memverifikasi bahwa suara mereka diberikan sebagaimana yang dimaksud.

Mekanisme kerjanya secara sederhana: ketika suara sudah diberikan, mesin akan mencetak slip berisikan nama pemilih dan kandidat pilihannya yang sudah diberi nomor seri. Kemudian, cetakan ini otomatis akan terpotong dan jatuh di dalam kotak yang telah disediakan.

Laporan tersebut memicu gelombang pertentangan yang cukup keras. Akhirnya, pada Januari 2012, Pengadilan Tinggi New Delhi menyatakan bahwa EVM tidak sepenuhnya aman dari serangan siber. KPU India, sebagaimana putusan pengadilan, lantas diminta memasang VVPAT di setiap EVM guna mencegah aksi-aksi kecurangan.

Chantal Enguehard dalam “Transparency in Electronic Voting: the Great Challenge” (2009, PDF) menulis bahwa terlepas dari banyaknya kemudahan dan keuntungan yang ditawarkan e-voting, ia tetap punya isu besar berwujud transparansi. Hal itu, tegas Chantal, merupakan faktor penting dalam menciptakan kepercayaan bagi pemilih ketika proses pemungutan suara dilangsungkan.

Berbeda dengan sistem pemungutan suara konvensional yang memang sengaja didesain agar tetap transparan dan terhindar dari upaya kecurangan berskala besar, sistem e-voting justru rentan terhadap kedua hal itu. Sekalipun dalam perkembangannya e-voting melengkapi kepingan sistemnya dengan berbagai perangkat penunjang yang ditujukan untuk mencegah aksi-aksi culas, tetap saja sistem ini punya celah ruang yang sangat bisa dieksploitasi.

Pertanyaannya: apakah Indonesia perlu menerapkan e-voting atau tidak?

Baca juga artikel terkait PEMILU 2019 atau tulisan lainnya dari Faisal Irfani

tirto.id - Politik
Penulis: Faisal Irfani
Editor: Nuran Wibisono