Menuju konten utama
10 Januari 1929

Ketika Tintin Mendarat di Kemayoran dan Pertualangan di Pulau Bompa

Pada 1968, Herge pernah membuat seri petualangan Tintin di Indonesia sebagai persinggahannya saat akan menuju ke Sydney.

Ketika Tintin Mendarat di Kemayoran dan Pertualangan di Pulau Bompa
Header Mozaik Petualangan Tintin. tirto.id/Sabit

tirto.id - “Pesawat Qantas Boeing 707 mendarat di Bandara Kemayoran, Jakarta. Pesawat 714 dari London tiba di Pulau Jawa, pemberhentian terakhir sebelum Sydney, Australia.” Begitu narasi komik petualangan Tintin seri Flight 714 To Sydney yang dirilis pada 1968. Seri ini aslinya berbahasa Prancis: 714 pour Sydney.

Dalam versi Indonesia, ceritanya sama, namun ada perbedaan nama-nama karakter. Juga penyebutan bandara. Di versi Indonesia pula nama bandara bukan Kemayoran, melainkan Cengkareng.

Komik ini berkisah tentang petualangan Tintin sang wartawan pemberani bersama Kapten Haddock, Profesor Calculus, dan anjing kesayangannya Snowy dalam perjalanan menuju Sydney yang pesawatnya singgah di Bandara Kemayoran.

Kebetulan, di Jakarta mereka bertemu Piotr Skut, kawan lama mereka yang seorang pilot. Ketika itu Stut sedang bekerja sebagai pilot pesawat pribadi milik industrialis pesawat dan jutawan eksentrik Laszlo Carreidas. Singkat kata, mereka akrab dengan sang jutawan lalu diajak bergabung menumpang pesawat jet pribadi.

Rupanya, belum lama mereka terbang, pesawat Carreidas 160 dibajak oleh orang-orang yang berkomplot dengan sekretaris Carreidas, Walter Spalding. Setelah dibajak, pesawat itu sempat berhubungan dengan menara pengawas di Makassar, yang kala itu disebut Ujung Pandang.

Mereka dibawa ke sebuah pulau kecil bernama Bompa yang ada gunung berapi. Gunung berapi itu punya dua kaldera. Para pembajak rupanya membangun landasan di pulau tersebut. Dalam cerita komik, diperkirakan pulau Bompa berada di sekitar kawasan yang dulunya disebut Kepulauan Sunda Kecil.

Diceritakan, di pulau itu terdapat spesies bekantan yang biasa ditemukan di sekitar Kalimantan. Juga komodo, yang biasa ditemukan di Pulau Komodo. Ada juga kelelawar yang umum ada di Indonesia, tapi banyak ditemukan di sekitar Sulawesi.

Para pembajak itu ternyata anak buah dari Rastapopoulos, musuh bebuyutan Tintin. Mantan teman sekapal Kapten Haddock, Allan, juga bergabung dengan komplotan Rastapopoulos. Pulau tempat Tintin disandera itu dijaga sekelompok milisi lokal yang dijadikan tentara bayaran oleh Rastapopoulos. Milisi-milisi itu digambarkan sebagai bekas pejuang kemerdekaan Indonesia.

Setelah mendarat, ketika keluar dari pesawat, anjing kesayangan Tintin yang bernama Snowy alias Milo kabur dan ditembak penculik. Tintin mengira Snowy terbunuh. Setelahnya, para sandera dipisah dan ditahan di bunker-bunker peninggalan Jepang dalam Perang Pasifik.

Demi mengorek nomor rekening Carreidas di bank Swiss yang uangnya akan diambil oleh Rastapopoulos, Carreidas pun disuntik serum khusus oleh dokter Krollspell. Kekacauan terjadi. Bukan soal nomor rekening yang diceritakan Carreidas, dia malah semangat bercerita soal keburukannya sebagai orang licik, penipu, dan sebagainya.

Rastapopoulos kesal. Dengan geram dia mencoba menekuk lutut Krollspell, yang masih memegang jarum suntik serum kebenaran itu. Tanpa sengaja, serum tersuntik ke tubuh Rastapopoulos. Dia melakukan hal sama terhadap Carreidas. Mereka berdua terlibat adu mulut dan masing-masing merasa dirinya paling jahat.

Snowy yang ternyata masih hidup akhirnya menemukan Tintin dan Haddock, yang belakangan melumpuhkan penjaga bunker untuk membebaskan Carreidas lalu menyandera Krollspell dan Rastapopulos. Keduanya digiring, tapi anak buah Rastapopoulos, yang dipimpin Allan, mengejar Tintin ke hutan-hutan di pulau vulkanik itu.

Akhir cerita, komplotan Rastapopoulos serta Tintin dan koleganya bertemu pesawat luar angkasa. Mereka dihipnosis. Setelah bebas dari pengaruh hipnosis, mereka lupa apa yang terjadi. Bersama Profesor Calculus, Kapten Haddock, dan Snowy, Tintin melanjutkan perjalanan lagi dengan pesawat 714 ke Sydney dari Bandara Cengkareng.

Infografik Mozaik Petualangan Tintin

Infografik mozaik Petualangan Tintin. tirto.id/rangga

Ada ucapan menarik dalam adegan kejaran-kejaran: “Apakah kalian, pejuang-pejuang revolusi yang gagah, takut pada seorang pelaut mabuk, temannya yang cebol, dan beberapa kelelawar,” bentak Allan sang pemimpin serdadu-serdadu bayaran itu.

Milisi-milisi macam yang dibentak Allan itu memang masih bertebaran di sekitar Jawa dan Sulawesi pada awal dekade 1960-an. Di Jawa ada kelompok Kartosuwiryo dan di Sulawesi ada kelompoknya Kahar Muzakkar. Kelompok milisi pemberontak itu dulunya pejuang kemerdekaan Indonesia.

George Remi alias Herge sebagai kreator komik hanya melakukan studi pustaka yang alakadarnya untuk membangun cerita Penerbangan 714 ke Sydney ini. Juga cerita-cerita lain soal petualangan Tintin di negara-negara berbeda. Herge tak menginjakkan kaki ke Indonesia; nama Indonesia sendiri disulap menjadi Sondenesia. Namun, baik edisi luar maupun Indonesia, tetap saja menggunakan nama bandara yang pernah ada di Indonesia, yakni Kemayoran dan Cengkareng.

Ketika Herge merampungkan seri Penerbangan 714 ke Sydney ini pada 1968, bandara Cengkareng belum beroperasi, yang ada ialah bandara Kemayoran. Di tahun-tahun pembuatannya, ratusan ribu orang Indonesia mengalami pembantaian pasca-1965. Ratusan ribu orang yang dituduh komunis terbantai.

Dalam dunia nyata, Herge dianggap anti-komunis, bahkan dicap pro-fasis. Karakter Tintin yang diciptakan pertama kali pada 10 Januari 1929, tepat hari ini 91 tahun lalu, sempat dicap sebagai propaganda fasisme. Seri Tintin yang dibuat pertama adalah petualangan Tintin ke Uni Soviet. Ketika itu negara tersebut dipimpin Joseph Stalin. Seperti saat menulis Penerbangan 714 ke Sydney, Herge juga belum pernah ke Soviet.

==========

Artikel ini pertama kali ditayangkan pada 10 Januari 2017. Kami melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk rubrik Mozaik.

Baca juga artikel terkait PETUALANGAN TINTIN atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Humaniora
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Maulida Sri Handayani & Irfan Teguh