Menuju konten utama

Petualangan Para Tarzan di Belantara Komik Indonesia

Popularitas Tarzan mengilhami komikus lokal menciptakan sosok petualang rimba khas Indonesia.

Petualangan Para Tarzan di Belantara Komik Indonesia
Ilustrasi Hutan lindung. ANTARA FOTO/Ampelsa

tirto.id - Perkembangan komik Indonesia di masa rintisan tak lepas dari pengaruh Amerika Serikat. Usai Perang Dunia II, media massa Indonesia sering kali menampilkan komik strip terjemahan dari negeri Paman Sam. Flash Gordon, detektif Rib Kirby, atau Johny Hazard si agen rahasia adalah karakter komik Amerika Serikat yang juga memukau pembaca Indonesia kala itu.

Hal itu berlanjut hingga dekade 1950-an kala beberapa karakter dari kultur pop Amerika Serikat ditiru atau dijadikan inspirasi oleh para kreator lokal. Deretan adisatria Indonesia seperti Sri Asih, Putri Bintang, dan Garuda Putih mengambil ilham dari Superman dan Wonder Woman.

Juga jangan lupakan Tarzan. Menilik judul-judul komik Indonesia yang terilhami oleh manusia rimba satu ini, tak berlebihan jika dikatakan bahwa ia adalah karakter yang paling banyak direproduksi oleh komikus Indonesia di luar geng superhero.

Jagoan rimba ini adalah karakter bikinan penulis Edgar Rice Burroughs. Ia semula hadir dalam cerbung Tarzan of the Apes yang terbit di majalah The All-Story edisi Oktober 1912. Dua tahun kemudian cerbung itu diterbitkan sebagai novel utuh.

Encyclopedia of Comic Books and Graphic Novels suntingan Keith M. Booker menyebut karakter Burroughs itu mendapat pengaruh dari karya-karya penulis cerita petualangan seperti Rudyard Kipling (The Jungle Book) dan Henry Rider Haggard (King Solomon’s Mines). Lalu pada 1915, seiring dengan popularitasnya yang menanjak, Burroughs menerbitkan lagi dua seri novel Tarzan berjudul The Return of Tarzan dan The Beasts of Tarzan. Serial itu kemudian terus dilanjutkan Burroughs hingga 23 novel.

Tarzan pertama kali diadaptasi dalam bentuk cergam pada 1929. Desainer iklan Hal Foster dipercaya menggambarnya dan distribusinya dikelola oleh United Features Syndicate. Lini cerita Tarzan pun berkembang sejak saat itu. Kanon cerita asli Burroughs untuk strip harian dan lini cerita baru untuk strip mingguan.

Petualangan Tarzan dalam komik strip itu—baik cetakan ulang maupun cerita baru—terus diterbitkan hingga dekade 2000-an. Selepas Hal Foster berhenti pada 1937, beberapa ilustrator terkenal sambung-menyambung menggarap Tarzan. Burne Hogarth, Rex Maxon, Russ Manning, Bob Lubbers, dan John Celardo adalah beberapa di antaranya.

Arswendo Atmowiloto dalam artikel “Wiro, Tarzan yang Faham Lingkungan” yang terbit di Kompas (13 Desember 1980) menulis, “Sampai sekarang ini, Tarzan dilanjutkan oleh komikus yang lain, barangkali sudah sampai tiga generasi. Kita catat penerusnya yang utama Burne Hogarth, yang sejak tahun 1936, memberikan bentuk Tarzan yang kita kenal ini. Susunan ototnya, penggarapan anatomi yang mengingatkan keemasan jaman Michael Angelo.”

Seperti ilustratornya yang berganti-ganti, distributornya pun demikian. Dari United Features Syndicate kemudian diambilalih oleh King Features Syndicate, Dark Horse Comics, hingga penerbit raksasa Marvel dan DC.

Para Tarzan Indonesia

Seturut penelusuran akademikus Marcel Bonneff, komik Tarzan mulai beredar di media massa Indonesia setidaknya sejak 1947. Saat itu, koran Keng Po mendapat hak distribusinya dari King Features Syndicate. Seperti halnya karakter Flash Gordon atau Superman yang kemudian mengilhami lahirnya adisatria khas Indonesia, Tarzan pun ikut membawa gelombang cerita manusia rimba.

Menurut prosa asli Burroughs, asal-usul Tarzan adalah bayi John Clayton, putra klan bangsawan dari Inggris. Bayi John dan orang tuanya dikisahkan terdampar di sebuah pantai di Afrika. Malangnya, ibu dan ayahnya tewas oleh serangan sekelompok kera besar di hutan. John yang sebatang kara lalu diadopsi oleh seekor kera betina bernama Kala.

Begitulah John dibesarkan oleh kawanan Kala dan diberi nama Tarzan—dalam bahasa kera artinya “kulit putih”.

Burroughs mendeskripsikan Tarzan tumbuh jadi pria tinggi, ganteng, dan berperawakan atletis dengan kekuatan di atas rata-rata. Ciri khasnya adalah mengenakan cawat dari kulit macan tutul. Ia juga dikisahkan bisa berkomunikasi dengan hampir semua binatang hutan, serta punya pendengaran dan penciuman yang lebih awas daripada manusia biasa.

Model ini jadi arketipe dan lalu diadaptasi oleh banyak komikus Indonesia pada 1950-an.

“Di Sumatra, Kalimantan, atau Irian selalu ada Tarzan Indonesia, laki-laki atau perempuan, yang bernama Djantaka atau Sri Rimba, Roban atau Nina. Mereka bertugas melindungi alam dan melestarikan bentuk aslinya,” tulis Bonneff dalam Komik Indonesia (2001, hlm. 27).

Dari pustaka lama yang bisa ditelusuri, kita punya banyak sekali “Tarzan”. Meminjam kata dari Arswendo, Tarzan lokal Indonesia lahir dan surut bersama komikusnya.

Pemula dari komik Tarzanisme di Indonesia agaknya adalah serial Marimba karya komikus Ed. Arswendo mencatat beberapa judul petualangan Marimba terbit sejak 1954. Lalu disusul terbitnya serial Wiro Anak Rimba Indonesia buah kolaborasi penulis Lie Djoen Liem dan ilustrator Kwik Ing Hoo pada 1956.

Pada periode yang hampir sama, di Bandung komikus John Lo mencipta dua serial, Nina Gadis Rimba yang bertualang di hutan Kalimantan dan Roban Pemuda Rimba yang bertualang di hutan Sumatra. Agaknya Nina adalah petualang rimba perempuan pertama yang dibuat oleh kreator Indonesia. Nina juga punya kemiripan asal-usul dengan Tarzan asli. Lain itu ada komikus Saleh Ardisoma yang mencipta serial Djakawana.

Sementara dari kalangan komikus Medan tercatat ada Luana (1956) karya Zam Nuldyn dan Mala di Rawa-rawa Turdon (1961) anggitan Bahzar Sou’yb.

“Tarzan wanita yang rambutnya panjang ini sudah memperlihatkan kecermatan Zam. Garis-garisnya, tokohnya, lebih dekat kepada gambar realis,” tulis Arswendo mengomentari komik Luana dalam “Zam Nuldyn Jendral yang Membuat Jalan” yang terbit di Kompas (4 September 1979).

Maestro komik adisatria, Hasmi, rupanya juga pernah menganggit jenis Tarzanisme. Muasalnya adalah order dari penerbit Kencana Agung untuk membuat kisah petualangan bergaya Tarzan. Ini tengara bahwa walaupun saat itu pasar dikuasai genre silat dan roman, komik Tarzan tetap punya ceruk pembaca sendiri. Maka itu Hasmi menyodorkan tokoh Maza yang rupanya sudah ia gambar sejak SMA.

“Untuk memenuhi permintaan penerbit, ia mengisahkan Maza sebagai si Dewa Rimba, bukan Maza Penakluk yang kelak begitu dikenali penggemarnya,” tulis Henry Ismono dalam Hasmi Pencipta Legenda Gundala (2019, hlm. 73).

Maza terbit pertama kali pada 1968 di bawah judul Memburu Permata Biru. Kisahnya lalu berlanjut di seri kedua yang berjudul Runtuhnya Tengkorak Hitam (1969). Baru di seri ketiganya Hasmi mengubah cerita Maza jadi superhero sebagaimana ia dikenal kini.

Dari masa yang lebih muda, ketika jenis Tarzanisme mulai pudar, Raden Ahmad Kosasih justru baru mulai menerbitkan serial Cempaka.

Tentang karakter terakhir ini, Arswendo menulis, “Dalam buku Lembah Maut (Maranatha, 1973), hanya disebutkan bahwa ratu rimba yang pakaiannya dari kulit macan tutul ini hidup di daerah tropik. Hanya di sini lawan Cempaka sudah bukan soal hutan, melainkan ilmu pengetahuan. Profesor jahat yang mampu menciptakan manusia setinggi enam meter. Cempaka juga ditemani Sabor (orangutan) dan Gomar (gajah).”

Infografik Tarzan dalam Komik Indonesia

Infografik Tarzan dalam Komik Indonesia. tirto.id/sabit

Membalik Prasangka

Dari semua komik Tarzan lokal, satu yang amat menonjol dan terkenal adalah Wiro. Arswendo menyebut bahwa karakterisasi Wiro lebih membumi dan plotnya digarap dengan cermat. Gambarannya sebagai anak desa yang tangkas dan akrab dengan binatang dianggap lebih baik daripada Tarzan yang serba sempurna.

Motivasinya bertualang pun dikisahkan dengan wajar. Suatu hari Wiro kabur dari rumah lantaran tak tahan pada ayah tirinya yang galak. Bersama Kala, monyetnya yang setia, Wiro mengembara menjelajahi hutan dan kampung-kampung. Bekalnya hanya dua, katapel dan sebilah belati. Semula ia mengasah ketangkasan dan kemampuannya memahami binatang di hutan Jawa.

Dari hutan-hutan Jawa, pengembaraan lalu membawa Wiro menyeberang ke Sumatra. Kali ini Wiro memasuki rimba raya yang lebih ganas daripada hutan Jawa. Tapi, di sini pula ia mendapat kawan-kawan baru: Konga si orang utan, Tesar si harimau, dan Sambo si gajah.

Kisah lalu membawanya berkelana ke Kalimantan, Sulawesi, hingga Papua. Tak hanya liarnya rimba dan binatang buas, Wiro pun sempat berhadapan dengan bajak laut, kelompok rampok, hingga tentara Jepang. Goresan Ing Hoo yang cermat mampu menampilkan citra indah alam Indonesia.

“Wiro, potret remaja yang menghayati alam di mana ia lahir. Alam Indonesia. Dengan gugusan pulau-pulau, laut, yang semuanya terangkai dalam satu kesatuan,” puji Arswendo.

Namun, bukan berarti komik ini tak bercela. Arswendo dalam artikelnya terutama menyoroti cara pandang kreatornya terhadap suku setempat yang “selalu digambarkan sebagai manusia yang belum berbudaya”. Kritik senada juga diutarakan oleh Seno Gumira Ajidarma.

Bagi Seno, komik Wiro penting sebagai pembalik superioritas orang kulit putih terhadap orang kulit berwarna. Karakter Wiro juga berarti sebagai salah satu sumber alternatif bagi konstruksi identitas Indonesia. Itu tersaji saat pertemuan pertama Wiro dengan Dr. Watson dan Miss Lana di hutan Sumatra.

Keduanya adalah anggota The American Motion Picture Coy yang sedang menggelar ekspedisi untuk merekam kehidupan liar di Indonesia. Karena suatu sebab, Dr. Watson dan Miss Lana ditangkap oleh suku asli dan hendak dihukum mati. Saat itulah Wiro datang sebagai penolong.

Dr. Watson dan Miss Lana terheran-heran oleh aksi Wiro. Dirasanya itu seperti cerita dari dunia fiksi negeri mereka yang jadi nyata.

"Mungkinkah aku berhadapan dengan Tarzan? Siapakah dikau adanya?” tanya Dr. Watson saat Wiro membebaskan ikatannya.

"Aku bukan Tarzan, tetapi.. Wiro anak Indonesia," jawab Wiro.

Di sini, sekilas Wiro yang bumiputra itu tak lagi dipandang dalam posisi inferior. Namun, narasi ini goyah lagi gara-gara beberapa detail cerita yang inkonsisten dengan penegasan awal itu.

“Posisi Dr Watson dan Miss Lana, misalnya, jelas tetap teracu kepada wacana kolonial, dalam oposisi biner klasik bahwa kulit putih superior dan dalam Wiro ini ‘pribumi’ tetap inferior; seperti ditunjukkan dalam berbagai bentuk: teknologi kamera, buku-buku ilmu pengetahuan, arsenal senapan dan tank, para portir yang mirip ‘jongos’ (selalu berpeci), dan apalagi penggambaran suku-suku di pedalaman ataupun di pantai, yang lebih teracu kepada eksotisisme dalam komik dan film Tarzan dari Hollywood daripada suku-suku di pedalaman Indonesia itu sendiri,” tulis Seno dalam artikel “Wiro dan Sindrom Kolonial” yang terbit di harian Kompas (5 Desember 2010).

Baca juga artikel terkait KOMIK atau tulisan lainnya dari Fadrik Aziz Firdausi

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Fadrik Aziz Firdausi
Editor: Irfan Teguh