Menuju konten utama

Petruk Dadi Ratu adalah Simbol Perlawanan terhadap Oligarki

Lakon Petruk Dadi Ratu yang disitir Fadli Zon sebenarnya mengandung makna lebih dalam: itulah cara rakyat mendobrak oligarki.

Pertunjukan wayang kulit dengan lakon "Petruk Dadi Ratu" oleh dalang Ki Seno Nugroho di kompleks Masjid Mataram, Kota Gede, Bantul, Yogyakarta. Foto Antara/Yoga Pradeva

tirto.id - Saling serang antarpendukung capres dan cawapres terus terjadi. Pada Selasa (12/2/2019) Fadli Zon, pendukung pasangan Prabowo-Sandi, menyindir Jokowi sang petahana. Fadli kembali menggunakan lakon wayang Petruk Dadi Ratu sebagai bahan sindiran.

“Saya ingin mulai dengan cerita Petruk Dadi Ratu. Singkat cerita, Petruk menjadi Prabu Kantong Bolong, lalu menjadi raja saat dapat Wahyu Keprabon. Saat lepas, dia menjadi Petruk lagi […] Masalahnya memang kapasitas,” ungkapnya seperti dikutip Detik.

Pada November 2018 ia bahkan membuat puisi untuk menajamkan sindirannya saat beredar poster bergambar Jokowi memakai mahkota yang membuatnya seolah-olah seorang raja. Berikut sepenggal puisi itu:

Petruk bertahta di singgasana

mimpi perbaiki keadaan

tak tahu apa mau dilakukan

merusak aturan tatanan

semua jadi dagelan

Lakon Petruk Dadi Ratu mendapat banyak perhatian dari pelbagai kalangan, baik politikus, sejarawan, seniman, maupun akademisi. Dan tentu saja dengan beragam tafsirnya.

Antropolog Paul Stange dalam Politik Perhatian: Rasa dalam Kebudayaan Jawa (2008) sempat mencatat sebuah peristiwa yang dipantik oleh lakon ini saat Orde Baru masih berkuasa.

Warsa 1971, sebelum pemilu digelar, seorang pemain wayang orang bernama Surono ditahan aparat keamanan. Petruk yang tengah berkuasa yang ia perankan tertimpa sebuah pohon beringin. Alih-alih melindungi, pohon itu justru membuatnya celaka.

Di tangan Surono, dengan penambahan ceritanya tentang Petruk yang tertimpa pohon beringin, lakon ini dipakai untuk menyindir rezim Orde Baru.

“Dalam konteks ini, hal tersebut ditafsirkan sebagai pernyataan bahwa Golkar, yang kebetulan berlambang beringin mungkin akan berakibat tidak baik bagi Soeharto,” tulis Stange.

Benedict Anderson, Indonesianis yang sempat dicekal masuk Indonesia, menulis artikel bertajuk “Petrus Dadi Ratu” di jurnal New Left Review (Mei-Juni 2000) untuk memaparkan keterlibatan Soeharto dalam peristiwa G30S. Penjelasan Anderson didasarkan atas pengakuan Kolonel Abdul Latief, bekas Komandan Brigade I Kodam V Jakarta Raya, yang terlibat dalam malam berdarah tersebut.

Soeharto yang berkuasa selama 32 tahun itu dinilai culas dan bertakhta dari peristiwa goro-goro, mirip Petruk yang menjadi raja saat orang lain bertikai.

Pandangan lain yang menggunakan lakon Petruk Dadi Ratu untuk mengkritisi pemimpin nasional adalah Sri-Bintang Pamungkas. Dalam Ganti Rezim Ganti Sistim: Pergulatan Mengusai Nusantara (2014), dengan menyitir ramalan Jayabaya, ia menilai kursi presiden ketujuh yang diraih Jokowi lahir karena faktor luar yang sangat dominan, bukan kapasitas dirinya.

“Konon Petruk yang seorang kawula, di antara para pelayan atau Punakawan para Ksatria dan Raja, tiba-tiba memimpikan menjadi Raja, dia berkesempatan mencuri Jimat Kalimasada (benda suci yang bertuah, berasal dari kata-kata “dua kalimat Syahadat” dalam agama Islam) […] Seketika Petruk berubah menjadi Raja, lalu berperilaku yang aneh-aneh, tidak rasional,” tulisnya.

Dalam konteks kontemporer, hal ini ia padankan dengan terpilihnya Jokowi karena permainan media sosial yang menyebarluaskan pelbagai cerita sanjungan yang meningkatkan popularitasnya. Polesan-polesan ini akhirnya membuat “Petruk” dipuji dan dianggap seolah-olah berilmu tinggi.

Kritik Wong Cilik sebagai Penyelamat

Dalam trilogi Nusa Jawa Silang Budaya (2018), tepatnya pada bagian ketiga yang bertajuk Warisan Kerajaan-kerajaan Konsentris, sejarawan Denys Lombard menyebut Petruk sebagai punakawan yang berniat jahat untuk menarik keuntungan pribadi lewat kesaktian jimat Kalimasada.

Perang antara Bambang Priyambada dan Dewi Mustakaweni menyebabkan jimat Kalimasada—yang ditafsirkan kaum Muslim sebagai deformasi dari kalimat syahadat—akhirnya jatuh ke tangan Priyambada. Ia memercayakan jimat tersebut kepada Petruk, abdinya yang setia agar menyimpannya di tempat yang aman.

Namun, ternyata Petruk menggunakannya untuk meraih kekuasaan dan menjadi raja serta memakai gelar Prabu Belgeduwelbeh Tongtongsot. Para raja dan bangsawan negeri Astina, Amarta, dan Dwarawati kemudian bergerak untuk menghentikan petualangan Petruk.

Gareng dan Semar sebagai saudara dan bapaknya Petruk pun ikut turun tangan untuk menghentikannya. Pada akhir cerita, Petruk akhirnya mengalah dengan mengembalikan jimat Kalimasada yang bukan haknya.

Setelah kejadian itu, para dewa meminta kepada Pandawa untuk tidak bersikap keras kepada Petruk.

Lombard menilai lakon ini merupakan khas punakawan yang merepresentasikan rakyat jelata dalam mengkritisi kekuasaan. Kehadirannya selalu dalam kebebasan tertentu dalam berbahasa dan bertingkah laku.

“Jika dalam kenyataan mereka pada akhirnya selalu tunduk dan patuh, mereka tidak ragu-ragu mengungkapkan pendapat mereka, mengomel, dan bahkan mengkritik. Mereka sedikit banyak berfungsi sebagai katup pengaman sosial,” tulisnya.

Karena mewakili wong cilik, kehadiran mereka selalu ditunggu-tunggu dan disambut meriah oleh penonton. Seperti ulasan Paul Stange, Lombard juga menyinggung soal pementasan wayang wong pada tahun-tahun setelah peristiwa 1965.

“Bahkan ada pemeran Petruk yang 'agak kelewat' kritis memainkan perannya sampai dijebloskan dalam penjara sesudah tahun 1965,” tambahnya.

Peran punakawan, dalam kasus ini Petruk, yang disebut Lombard sebagai “katup pengaman sosial”, menurut sastrawan Seno Gumira Ajidarma justru lebih heroik karena dianggap sebagai penyelamat pusaka negara yang bernama jimat Kalimasada.

Dalam tuturannya, keputusan Petruk memanfaatkan jimat tersebut untuk meraih kekuasaan dinilai para dewa sebagai sikap penyelamatan pusaka agar tak jatuh ke tangan orang yang tidak tepat sehingga akan menimbulkan bahaya.

Kekuasaannya yang sekejap adalah hadiah atau penghiburan baginya atas jasanya itu. Tindak-tanduknya saat menjadi raja—yang mengherankan para bangsawan karena perilakunya yang tetap seperti rakyat dan akhirnya tunduk kepada Gareng dan Semar—juga menjadi titik perhatian Seno.

“Tapi apa salahnya seperti rakyat biasa? Selain itu, benarkah segala hal yang tidak mampu diatasi oleh para punggawa, akhirnya harus diselesaikan oleh rakyat juga—seperti kasus Petruk yang hanya bisa diatasi oleh Semar dan Gareng?” tulisnya dalam Surat dari Palmerah: Indonesia dalam Politik Mehong 1996-1999 (2002).

Infograftik Petruk Dadi Ratu

Infograftik Petruk Dadi Ratu

Petruk Mendobrak Oligarki

Prapto Yuwono, pengajar Sastra Jawa di Universitas Indonesia, menuturkan bahwa dalam konteks filosofi Jawa para punakawan adalah rakyat kecil yang sebetulnya berpura-pura. Di balik itu mereka sebetulnya adalah para dewa.

“Filosofi ini sejatinya membela rakyat kecil, artinya jangan main-main dengan rakyat kecil. Dalam konteks kekuasaan, lakon Petruk Dadi Ratu ini adalah sebuah carangan (cerita tambahan yang keluar dari pakem) dalam menghadapi persoalan-persoalan kekuasaan,” ucapnya.

Ia menambahkan, lakon ini adalah sindiran terhadap kekuasaan tentang bagaimana jika rakyat menjadi penguasa. Polah Petruk saat menjadi raja merupakan tingkah rakyat yang sederhana: kadang salah, kadang terpeleset, dengan tujuan untuk mendobrak kemandekan kekuasaan.

“Mendobrak kemandekan, mendobrak ketidaksesuaian, masalah moral, dan sebagainya. Jadi kalau Petruk jadi ratu, ia akan membuat perubahan-perubahan, seperti pola kekuasaan, sikap kekuasaan, tindakan, dan moral. Ini sebuah sindiran sebetulnya,” terang Prapto.

Dalam pelbagai penuturan di atas, Petruk si rakyat jelata, yang dikisahkan menjadi raja dengan segala kekurangannya, sejatinya mempunyai konteks. Lakon ini tak dibangun untuk sekadar menunjukkan kegagapan rakyat jelata ketika mendapat kuasa, tapi ada makna yang lebih jauh.

Dalam konteks politik kiwari, misalnya, dominasi oligarki mesti didobrak oleh rakyat agar kekuasaan tak melulu berputar di sekeliling elite lama atau kelompok tertentu.

Baca juga artikel terkait WAYANG atau tulisan lainnya dari Irfan Teguh

tirto.id - Politik
Penulis: Irfan Teguh
Editor: Ivan Aulia Ahsan