Menuju konten utama

Peter Lindbergh: Pelopor Fotografi Fesyen yang 'Apa Adanya'

Peter Lindbergh adalah fotografer mode yang anti editan, anti makeup, dan anti keglamoran.

Peter Lindbergh: Pelopor Fotografi Fesyen yang 'Apa Adanya'
Fotografer bintang Peter Lindbergh mengambil foto pers dengan teleponnya di depan fotografi jalanan selama pameran 'Women on Street' di NRW Forum Gallery di Duesseldorf, Jerman, Kamis, 2 Februari 2017. AP / Martin Meissner

tirto.id - Sebenarnya Peter Lindbergh tidak suka melihat potret orang tertawa, sebagaimana ia juga tidak tertarik memotret model menggunakan riasan wajah.

Lindbergh adalah fotografer mode asal Jerman yang mulai berkarya pada awal 1970an. Di ranah mode, namanya melejit setelah ia memotret Linda Evangelista, Christie Turlington, Cindy Crawford, Tatjana Patitz, dan Naomi Campbell untuk majalah mode Vogue edisi Inggris yang terbit pada Januari 1990.

Sampai saat ini, para pelaku mode masih menganggap deretan potret tersebut ikonik karena berhasil menyatukan para model populer pada zamannya. Hal itu juga menandakan kelahiran supermodel--istilah bagi model dengan bayaran tinggi yang wajahnya tampil mewakili jenama retail mode dan kecantikan premium.

Editor Vogue Inggris saat itu, Liz Tilberis, menghubungi Lindbergh dan memintanya memotret model yang potensial bersinar pada dekade 1990an. Namun, kali ini ada pertimbangan khusus mengenai detail fotonya.

“Konsep cantik harus diperluas. Tidak bisa disederhanakan pada kriteria tertentu semisal rambut blonde, atau mata biru,” kata Lindbergh kepada Tilberis sebagaimana dikutip British Vogue.

Lindberg kemudian memilih lima model perempuan yang menurutnya mewakili berbagai macam ras, lalu ia memotret mereka tanpa riasan wajah dan rambut yang mencolok. Busana yang dikenakan juga terlihat seperti busana sehari-hari. Sementara lokasi pemotretan pun dilakukan di lokasi yang biasa saja: salah satu trotoar di New York.

“Ini berbeda dari gaya foto pada dekade sebelumnya di mana model biasa tampil dalam riasan rambut yang ekstravagan dan menggunakan baju yang membuat dada mereka terlihat berisi. Konsep foto ini terasa segar dan baru,” catat British Vogue.

Awal Mula Fotografi Mode

Bila ditarik mundur, konsep fotografi fesyen muncul pada 1911. Dalam Steichen: A Biography (1997) karya Penelope Niven dijelaskan, pada tahun tersebut, seorang fotografer Edward Steichen ditantang rekannya, Lucien Vogel, penerbit publikasi mode, untuk mempromosikan fesyen sebagai seni lewat medium fotografi. Steichen kemudian memotret model perempuan yang memakai baju karya desainer adibusana pertama Paul Poiret, lalu hasil fotonya diterbitkan di majalah Art et Decoration.

Dua tahun setelahnya, majalah Vogue Paris memutuskan untuk menerapkan konsep fotografi fesyen dalam majalah. Sejak pertama kali diterbitkan pada 1892, Vogue selalu menggunakan ilustrasi dalam menggambarkan busana dan model. Saat melihat potensi dalam ranah fotografi fesyen, mereka lantas merekrut fotografer Adolph de Meyer sebagai karyawan tetap Vogue.

Pada era tersebut, orang yang bekerja sebagai fotografer di majalah mode biasanya punya latar belakang seni dan memiliki profesi lain seperti kurator, kolektor, atau pelukis.

Menurut laporan DW, fotografer pada era tersebut terinspirasi dari karya seni patung bernuansa art deco. Para model yang menggunakan gaun-gaun hasil rancangan desainer adibusana dipotret di dalam ruangan dan diminta meniru gerakan patung penari perempuan. Potret dibuat dengan pencahayaan remang dan fokus yang tidak terlalu tajam.

Laporan CNN edisi 11 Februari 2016 menyebut, pada era 1940-1950an para fotografer mode seperti Richard Avedon mulai berani bereksperimen dalam hal menciptakan konsep foto. Misalnya saat Avedon memotret salah satu modelnya berdampingan dengan gajah sirkus .

Lalu pada 1960, muncul model yang juga berprofesi sebagai selebritas seperti Twiggy. Pada era ini, fotografi fesyen mulai jadi materi promosi yang benar-benar diandalkan para pelaku mode.

Maju ke era 1980an, gaya foto fesyen didominasi oleh foto-foto mode komersil--iklan produk mode dan kecantikan. Rata-rata model didandani dengan lipstik merah merona, celana denim setinggi pinggang, dan memakai jenis busana lain yang terbuka.

Pada dekade yang sama muncul fotografer yang “melawan” konsep tersebut dengan menyajikan konsep foto lebih natural. Namun, konsep foto yang tidak glamor itu semula dianggap tak berkelas. Dan Lindbergh adalah salah satu fotografer yang menganut gaya "sederhana" tersebut.

Fotografer 'Sederhana'

Dasar pemikirannya Lindbergh sederhana. Sebagaimana ia jelaskan dalam The Supermodel Photographer yang ditayangkan DW: “Aku merasa perempuan memiliki banyak sisi menarik. Mereka lebih observant, bertanggungjawab, terbuka, dan berani mengambil risiko.”

Dan di mata Lindbergh, cara terbaik untuk menampilkan sisi tersebut adalah menampilkan mereka apa adanya tanpa rias wajah, tata rambut, atau busana yang berlebihan.

Demikian pula halnya dengan lokasi. Lindbergh dikenal dengan orang yang gemar memotret di jalanan atau kafe yang ramai dikunjungi di dalam kota. Alasannya: latar tersebut selalu mengingat ia akan suasana di Dusseldorf, Jerman, kampung halamannya. Bahkan sebagian potret ia buat dalam warna hitam putih dengan wajah model yang minim senyum.

“Buatku, hitam putih lebih bisa menggambarkan emosi yang lebih mendalam. Tawa itu membosankan. Ada banyak hal yang bisa kamu lihat pada potret seseorang yang tidak sedang tertawa. Mereka bisa saja sedang mengekspresikan keluhan, kemarahan, atau perasaan melankolis,” lanjut Lindbergh.

Gaya foto Lindbergh kemudian diminati para editor majalah mode seperti Vogue, Bazaar, dan Vanity Fair. Pada rentang dekade 1990an, gaya foto hitam putih yang diambil di jalanan itu kelak jadi “template” halaman mode.

Namun, ada kalanya gaya foto Lindbergh bikin model kesal. Linda Evangelista, misalnya, pernah protes karena diminta berpose di dalam sebuah pabrik.

Kala itu, Evangelista sudah dikenal dengan julukan model 1000 dolar--karena ia berkata tidak akan keluar rumah bila nilai kotrak kerja kurang dari 1000 dolar. Biasanya Evangelista berpose di dalam studio atau lokasi yang glamor sehingga latar pabrik cukup membuatnya terkejut.

Ada pun bagi Lindbergh, latar pabrik yang terkesan industrial, mengingatkannya pada film Metropolis karya Fritz Lang, film kesukannya.

Pada akhirnya, sikap prinsipil Lindbergh tidak berpengaruh apa-apa terhadap karier fotografinya. Produk kecantikan seperti Lancome dan Loreal, sebagai contoh, bahkan merekrut Lindbergh sebagai fotografer iklan mereka.

Lalu bagaimana foto-foto yang dihasilkan? Wajah yang memperlihatkan kerut dan freckles para model.

“Rasanya melegakan saat kamu dengar fotografer bilang bahwa kamu nggak perlu berpose, nggak perlu khawatir soal arah foto. Dia hanya pesan untuk jadi diri sendiri. Dia tidak mau mengedit foto wajahmu dan itu membuat orang tertarik untuk dipotret,” demikian ucap Kate Winslet yang sempat menjadi duta Lancome.

Pada 1990 dan awal 2000an, wacana inklusivitas belum terdengar seperti sekarang. Tapi Lindbergh setidaknya sudah memikirkan dan menerapkan hal serupa pada masa itu.

Lindbergh memang tidak serta-merta menetapkan hal tersebut menjadi ciri khasnya. Pada awal berkarya di majalah, misalnya, ia masih memotret di dalam studio. Para modelnya pun masih didandani dengan busana-busana heboh dan bergaya layaknya orang sedang menari. Foto juga diambil dengan kamera yang diletakkan di atas tripod.

Namun, lama kelamaan, Lindbergh merasa nyaman dengan memotret tanpa menggunakan tripod dan memotret secara candid para model yang sedang berjalan di tengah kota.

“Aku merasa lanskap kota memancarkan sisi misterius,” tuturnya lagi kepada DW.

Sikap Lindbergh tersebut kemudian membuat para pimpinan majalah mode seperti Franca Sozzani dari Vogue Italia dan Edward Enninful dari Vogue British menganggap Lindbergh adalah fotografer yang paling ahli dalam menghasilkan foto yang terkesan intim dan apa adanya.

“Peter melihat keindahan dalam diri seseorang dan dalam segala situasi yang sebenarnya terjadi. Ia bisa membuat semua orang merasa diri mereka berharga,” kata Enninful.

Infografiik Peter Lindbergh

Infografiik Peter Lindbergh. tirto.id/Quita

Lindbergh meninggal September lalu. Proyek foto fesyen terakhirnya adalah edisi spesial ulang tahun British Vogue. Ia bertugas memotret 15 perempuan yang memiliki peran positif dalam merealisasikan wacana sosial. Sosok tersebut di antaranya Greta Thunberg, Jacinda Ardern, Chimamanda Ngozi, Jameela Jamil, serta Adwoa Aboah.

Sosok-sosok tersebut adalah orang pilihan Enninful dan Meghan Markle--yang bertindak sebagai editor tamu edisi spesial ulang tahun British Vogue 2019. Baik Markle dan Enninful sama-sama berpendapat bahwa hanya Lindbergh yang mampu memotret perempuan-perempuan tersebut dengan baik dan sesuai karakter mereka.

Sampai akhir hayat, Lindbergh berhasil membuat orang mengingatnya sebagai fotografer pecinta freckles, kerutan, dan kecintaan terhadap perempuan apa adanya. Sebuah sikap yang kini mencerminkan kemerdekaan kaum perempuan.

Baca juga artikel terkait FOTOGRAFI atau tulisan lainnya dari Joan Aurelia

tirto.id - Gaya hidup
Penulis: Joan Aurelia
Editor: Eddward S Kennedy