Menuju konten utama

Pete Buttigieg, Wali Kota Gay yang Berpotensi Gantikan Trump

Pete Buttigieg diprediksi cukup potensial memimpin AS di masa depan. Siapa dia? Bagaimana kiprahnya?

Pete Buttigieg, Wali Kota Gay yang Berpotensi Gantikan Trump
Pete Buttigieg di pertemuan musim dingin wali kota AS di Washington, Kamis (24/1/2019). AP / Jose Luis Magana

tirto.id - Pada Rabu, 23 Januari 2019, wali kota berusia 37 dari South Bend, Indiana, Amerika Serikat, memutuskan maju sebagai salah satu calon Presiden AS tahun 2020 melalui partai Demokrat. Namanya: Pete Buttigieg. Sepintas tidak ada yang menarik mengenai kabar tersebut, kecuali satu hal: Buttigieg adalah seorang gay.

Buttigieg bukanlah satu-satunya pejabat pemerintah di AS yang secara terbuka menyatakan orientasi seksualnya. Pada awal April 2019 ada juga Lori Lightfoot, wali kota Chicago, yang bersikap demikian. Lightfoot, 56, adalah mantan jaksa federal yang sebelumnya tidak memiliki jabatan politik. Dia juga mengepalai Dewan Polisi Chicago, sebuah badan pengawas sipil yang mendisiplinkan petugas polisi.

Dalam pemilihan wali kota tersebut, Lightfoot bertarung melawan 13 kandidat lain. Di putaran kedua ia mendominasi dengan meraih lebih dari 74% suara. Selain terpilih menjadi wali kota kulit hitam pertama, Lightfoot juga merupakan wali kota gay pertama di Chicago.

"Di luar sana, malam ini banyak anak perempuan dan anak laki-laki menonton. Mereka mengawasi kita. Dan mereka melihat awal dari sesuatu, yah, sedikit berbeda," ujar Lighfoot ketika merayakan kemenangannya di atas panggung dengan istri dan putrinya.

Fenomena politikus gay sejatinya tidak hanya di AS saja. Pada 2017, Edgar de Souza, wali kota Lins, sebuah kota kecil di Brazil, melangsungkan pernikahan dengan pasangan sesama jenisnya, Alexsandro Luciano Trindade, setelah keduanya memadu kasih selama 13 tahun. Pernikahan tersebut turut mengundang sekitar 300 keluarga dan kerabat mereka.

"Ini pertama kalinya terjadi di Brazil, di mana wali kota menggelar pernikahan sesama jenis!" ujar Souza sambil tertawa kala merayakan hari sakral baginya tersebut. "Kami ingin memberikan gambaran terkait pernikahan kaum gay dan mendorong orang lain untuk menggunakan hak-hak mereka."

Di Brazil, pernikahan sesama jenis sudah dilegalkan sejak 2013 melalui keputusan Dewan Nasional Kehakiman. Usai terbitnya keputusan tersebut, dalam tiga tahun pertama terdapat lebih dari 14.000 pasangan sesama jenis yang mendaftarkan pernikahan. Amerika Latin selama ini selalu menjadi perintis untuk hak-hak gay, kendatipun wilayah tersebut kerap dianggap sebagai benteng bagi nilai-nilai Katolik konservatif.

Sebelumnya, pada September 2013, wali kota gay pertama di Meksiko, Benjamin Medrano, juga pernah terpilih dalam sebuah upacara di kota Fresnillo. Ia mengatakan bahwa orientasi seksualnya hanya menjadi masalah yang digunakan lawan politiknya saat kampanye pemilihan di negara bagian Zacatecas. Medrano mengatakan dia berharap bisa membuat perubahan bagi warga kota Fresnillo.

Namun demikian, tak semua politikus yang memiliki kebesaran hati untuk berani menyatakan orientasi seksualnya di muka publik. Banyak pula di antara mereka yang berlagak anti LGBT ternyata homoseksual. Pada 14 November 2017, Wes Goodman, politikus Republikan dari Ohio, mengundurkan diri dari jabatannya usai kepergok mencari layanan seksual dari pria gay di situs Craigslist. Ia juga kedapatan mengirim dan menanggapi iklan kencan online menggunakan nama samaran "Brady Murphey" kepada seorang kolega lelaki di gedung Capitol Hill.

Selama ini Goodman memiliki reputasi solid sebagai politikus anti-LGBT garis keras dan kerap mempromosikan dirinya sebagai seorang “Kristen Konservatif” yang peduli dengan “nilai-nilai keluarga”. Ia juga dikenal lantang mendorong pengesahan produk-produk hukum anti-LGBT.

Hingga kemudian semesta membongkar borok Goodman.

Potensial Memimpin AS di Masa Depan

Dalam kolomnya di New York Times berjudul "Why You Love Mayor Pete" yang tayang pada 1 April 2019, David Brooks menjelaskan beberapa faktor mengapa Buttigieg cukup potensial memimpin AS di masa depan.

Dari segi pendidikan, Buttigieg merupakan lulusan dari Harvard University dan Oxford. Dia juga pernah bergabung dengan militer sebagai perwira intelijen Angkatan Laut pada 2009. Bahkan ketika Buttigieg mulai menjabat sebagai wali kota pada 2013, ia kembali ditugaskan ke Afganistan selama tujuh bulan. Saat itu ia sudah berpangkat letnan dan bertugas dengan Naval Reserve. Tak sampai setahun sekembalinya bertugas dari medan perang, Buttgieg lantas menyatakan secara terbuka orientasi seksualnya.

Bagi Brooks, sederet fakta tersebut menjadikan Buttigieg adalah calon pemimpin AS yang ideal, terutama untuk menggeser rezim Donald Trump. Ia menulis:

“Rahasia Buttigieg adalah ia mampu melampaui sekian ketegangan yang menjalar di masyarakat kita dengan cara yang membuat semua pihak merasa nyaman. Pertama, ia masih dan mewakili generasi muda saat ini, tetapi ia juga memenuhi gagasan orang tua tentang apa yang seharusnya dilakukan oleh anak muda.”

Simaklah penjelasan Brooks tersebut: kendati masih muda, Buttigieg tidak serta merta dapat dilabeli stereotip anak muda AS kebanyakan seperti saat ini. Posisi kultural dan politiknya, disadari Buttgieg atau tidak, dengan demikian berada di in between. Brooks sempat menjelaskan secara satir apa yang ia maksud dengan “anak muda AS saat ini”.

“Anak muda seharusnya menjadi SJW (Social Justice Warrior) yang jijik dengan generasi tua. Buttigieg adalah model pemuda yang mengesankan para orang tua—Harvard, penerima beasiswa Rhodes, (pernah bekerja) di McKinsey, Angkatan Laut. Anak muda hipster berduyun-duyun pindah ke wilayah dekat pantai seperti Brooklyn dan Portland; setelah lulus, Buttigieg kembali ke Indiana. Anak muda seharusnya anti-institusional, tetapi Buttigieg sangat institusional—hidupnya ditentukan oleh layanannya kepada organisasi, bukan pemberontakannya terhadap mereka.”

Faktor lain yang dijelaskan Brooks adalah tentunya bagaimana Buttigieg juga dapat mewakili kaum LGBTQ setelah ia secara terbuka menyatakan orientasi seksualnya. Satu lagi yang tak kalah penting: karakter politik Buttigieg memungkinkannya dapat diterima oleh kalangan Washington maupun kaum elite.

“Dia gay dan (karenanya) menjadi personifikasi gerakan progresif LGBTQ, tetapi dia tidak melakukannya dengan cara yang terasa mengancam kalangan konservatif. Dia sendiri memiliki nilai-nilai keluarga yang konservatif; nyaman dengan imannya, dan mengatakan bahwa ketika ke gereja, dia lebih memilih liturgi konservatif daripada yang eksperimental. Poin lain, Buttigieg adalah seorang lokalis dan orang luar Washington, tetapi dia tidak membawa kebencian populis dan dapat dengan mudah berbicara menggunakan bahasa elite pesisir.”

Infografik Pete Buttigieg

undefined

Buttigieg terpilih sebagai wali kota South Bend pada 2011 di usia 29. Selain terhitung sangat muda, dia juga menjadi pejabat gay pertama dalam pemerintahan Indiana. Ia mengumumkan orientasi seksualnya kepada publik melalui tulisan berjudul "Why Coming Out Matters" yang tayang di South Bend Tribune pada 16 Juni 2015 atau 10 hari sebelum Mahkamah Agung melegalkan pernikahan sesama jenis.

Dalam tulisan tersebut, Buttigieg mengungkapkan bagaimana kesulitan yang ia hadapi dengan seksualitasnya dan terbuka tentang hal itu di depan umum. Namun demikian, pada akhirnya Buttigieg tidak memedulikan hal tersebut sebab baginya menjadi gay sama sekali tidak memengaruhi kinerjanya sebagai pejabat publik maupun menjadi warga negara yang baik.

"Menjadi gay tidak memengaruhi kinerja pekerjaan saya di bisnis, di militer, atau dalam peran saya sekarang sebagai wali kota. Hal itu membuat saya tidak lebih baik atau lebih buruk dalam menangani spreadsheet, senapan, rapat komite, atau memutuskan perekrutan. Itu tidak mengubah cara penduduk dapat menilai keefektifan saya dalam melayani kota kami: dengan kemajuan lingkungan kami, ekonomi kami, dan layanan kota kami."

Hal serupa kembali ia kemukakan ketika diwawancarai ABC News pada Rabu (10/4/2019): bahwa pilpres 2020 seharusnya tidak hanya tentang identitas kandidat. "Saya orang gay pertama yang secara terbuka mencalonkan diri menjadi nominasi presiden Demokrat. Tapi ini bukan hanya tentang profil, pada akhirnya ini harus tentang gagasan,” ucapnya.

Buttigieg, yang menikah dengan pasangannya, Chasten Glezman, pada Juni 2018, kelak akan tercatat sebagai kandidat gay pertama sekaligus yang termuda dari partai Demokrat yang maju pilpres AS. Nantinya ia juga akan menghadapi beberapa calon lain yang juga berjuang mendapatkan tiket capres mewakili partai tersebut, seperti senator Kamala Harris, senator Kirsten Gillibrand, dan senator Elizabeth Warren.

Sejauh ini sudah ada 15 tokoh Partai Demokrat yang secara agresif berkampanye untuk menghadapi Donald Trump tahun depan. Di antara sekian nama, tentunya Bernie Sanders menjadi calon yang paling populer saat ini. Lalu bagaimana peluang Buttigieg nanti? Jika menengok kembali analisis Brooks di atas, rasa-rasanya Buttigieg memang cukup potensial memimpin AS, tapi mungkin tidak untuk tahun depan.

Baca juga artikel terkait POLITIK AMERIKA SERIKAT atau tulisan lainnya dari Eddward S Kennedy

tirto.id - Politik
Penulis: Eddward S Kennedy
Editor: Ivan Aulia Ahsan