Menuju konten utama

Petani di Kalimantan Selatan Mengadu ke PBNU soal Sengketa Lahan

Sebelum menentukan sikap, pengurus PBNU minta mereka mengirimkan sejumlah dokumen-dokumen detail menyangkut persoalan yang terjadi.

Petani di Kalimantan Selatan Mengadu ke PBNU soal Sengketa Lahan
Pengurus PBNU menerima Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Mafia Tanah di Kalimantan Selatan, di Gedung PBNU, Jakarta, Rabu (15/6/2022). (FOTO/Dokumentasi LTN PBNU)

tirto.id - Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menerima perwakilan sejumlah petani dan LSM yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Mafia Tanah di Kalimantan Selatan, Rabu (15/6/2022). Koalisi yang dipimpin pengacara Denny Indrayana ini mengadu soal sengketa lahan.

Ketua PBNU Bidang Pendidikan, Hukum, dan Media, Savic Ali mengatakan, ada beberapa hal yang bisa dilakukan untuk memenangi persengketaan secara hukum dan mendapatkan dukungan publik. Salah satunya dengan mengumpulkan dokumen detail terkait persoalan tersebut.

“Agar semangat itu tercapai, kami membutuhkan sejumlah informasi detail menyangkut persengketaan lahan yang terjadi di Kalimantan Selatan,” kata Savic saat menerima koalisi, di Gedung PBNU, Jakarta dalam pernyataan tertulis yang diterima Tirto.

Tak hanya Savic, audiensi tersebut juga dihadiri Ketua PBNU lainnya KH. Amin Said Husni dan Sekretaris Lembaga Penyuluhan dan Bantuan Hukum NU (LPBH NU), Hakam Aqsho.

Amin Said menyatakan sebelum menentukan sikap, dirinya minta mereka untuk mengirimkan sejumlah dokumen-dokumen detail menyangkut persoalan yang terjadi di sana. Data-data itu, kata dia, nantinya akan digunakan NU untuk mengambil sikap tegas terhadap kasus yang terjadi.

Dalam audensi dengan pengurus PBNU, sejumlah petani, LSM, dan Denny mengungkapkan kondisi yang terjadi di Kalimantan Selatan. Menurut Denny, Kalimantan Selatan saat ini dalam kondisi darurat mafia. Mulai dari mafia tanah untuk sawit juga mafia lahan untuk tambang batu bara.

Denny menggambarkan, kondisi masyarakat di daerah itu sangat kontras dengan perusahaan-perusahaan sawit dan tambang batu bara yang beroperasi di sana.

“Kapal-kapal pengangkut batu bara lewat di sungai di mana di tepi sungai itu hidup masyarakat miskin. Padahal batu bara itu memiliki nilai yang demikian besar. Ini sangat kontras," kata mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM era Presiden Susilo Yudhoyono ini.

Menurut Denny, sejumlah tambang dan sawit di Kalimatan Selatan itu dikuasi oleh sejumlah pengusaha besar yang punya pengaruh besar ke kekuasaan. Pengaruh ini, kata dia, bisa dilihat dari sejumlah kasus-kasus yang banyak dilaporkan ke penegak hukum, tapi tidak ada tindak lanjutnya sampai sekarang.

Denny menyebut ada kasus yang sudah dilaporkan ke KPK, tapi sampai saat ini belum ada titik terangnya. "Padahal kasus korupsinya terang benderang, konstruksi hukumnya jelas," ujar pemilik Integrity Law Firm ini.

Yang menyedihkan, kata Denny, setiap ada orang yang mempersoalkan masalah sengketa lahan yang menyangkut pengusaha besar itu akan siap-siap dengan kekerasan. Mulai teror, pembunuhan, dan kriminalisasi.

Salah seorang petani yang bercerita, harus rela lahannya 20 hektar lebih diserobot pengusaha sawit. Kasus yang sudah terjadi sejak dua tahun lalu sampai saat ini juga belum jelas ganti ruginya yang layak. "Saat ditanya berulang-ulang dijawab 'nanti akan diselesaikan’" kata dia.

Hal yang sama, kata dia, juga terjadi dengan petani-petani lain. Paling banter para petani itu hanya menerima ganti rugi Rp35 ribu untuk satu tanaman sawit yang dimilikinya. "Tanahnya tidak diganti," katanya.

Petani lainnya mengamini cerita rekannya itu. Kata dia, ketika dirinya dan masyarakat lain menuntut ganti rugi tanah, mereka akan menerima ancaman dari aparat penegak hukum. "Apa kamu mau digelang putih (borgol). Padahal Kami mau mencari keadilan bukan mau memberontak," ujar petani yang tak mau disebutkan namanya itu.

Karena aparat hukum tak bisa banyak diharap, ia berharap PBNU bisa membantu menangani persoalan-persoalan yang ada di Kalimantan Selatan tersebut.

Baca juga artikel terkait SENGKETA LAHAN atau tulisan lainnya dari Abdul Aziz

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Maya Saputri