Menuju konten utama

Petani Bekasi Memberontak Saat Gerhana Bulan

Gerhana bulan dirayakan dan diperingati dengan beragam cara, salah satunya dengan menjadikannya siasat melancarkan pemberontakan. Seorang jawara dari Bekasi pernah melakukan hal itu pada abad ke-19.

Petani Bekasi Memberontak Saat Gerhana Bulan
Peristiwa gerhana bulan, Rabu (31/1/2018). ANTARA FOTO/Zabur Karuru/pd/18

tirto.id - Gerhana bulan terjadi ketika matahari, bumi, dan bulan sedang dalam posisi sejajar. Dalam situasi normal, letak seperti itu akan menghasilkan bulan purnama. Namun, pada saat tertentu, dengan letak dan sudut khusus, bayangan bumi justru menutupi bulan. Alhasil, para penghuni bumi akan melihat bulan yang bersinar terang itu "dimakan" bayangan gelap.

Peristiwa astronomi itu dimaknai bermacam-macam oleh pelbagai peradaban sepanjang sejarah umat manusia. Di Bekasi, misalnya, gerhana bulan pernah menjadi penanda dimulainya sebuah pemberontakan.

Saat itu, di zaman kolonial, wilayah Bekasi adalah distrik dari Afdeling Meester Cornelis (Jatinegara) di bawah Karesidenan Batavia. Letaknya persis di sebelah timur Betawi.

“[Bekasi] dialiri Sungai Cileungsi dan Sungai Bekasi. Salah satu daerah yang terkenal ramai oleh pedagang dari hilir hingga ke pedalaman. Di sana juga berdiri pasar dan perkampungan Tionghoa yang terbentuk sejak 1752," sebut Encyclopaedie van Nederlandsch-Indie (1896) yang diterbitkan Martinus Nijhoff-E.J. Brill di 's-Gravenhage.

Dalam Pemberontak Tak Selalu Salah (2009), sejarawan Petrik Matanasi menyebutkan, Bekasi dihuni sekitar 73.000 jiwa pada 1868. Ada 68.000 penduduk pribumi, 4.601 warga keturunan Tionghoa, 25 orang Arab, dan 11 orang Belanda di sana. Sebagian besar pribumi adalah pendatang, salah satunya dari Cirebon. Mereka didatangkan dari Cirebon ke Bekasi pada 1823-1824 sebagai buruh yang dipekerjakan di pabrik gula Karang Congok (hlm. 152).

Tanah Partikelir dan Derita Petani

Sejarawan Betawi Alwi Shahab, sebagaimana dikutip Mulyawan Karim dalam artikelnya di harian Kompas (23/4/2009), “Cerita Eksekusi di Alun-alun Bekasi”, mengatakan bahwa Tambun (wilayah Bekasi bagian timur) merupakan kawasan tanah partikelir milik seorang keturunan Cina pada abad ke-19. Penguasaan tanah itu dibolehkan melalui skema jual-beli tanah partikelir dalam peraturan agraria pemerintah kolonial.

Pada kenyataannya, skema itu berujung derita untuk petani di Tambun. Menurut Mulyawan, kaum petani penggarap lahan di Tambun selalu diperas tuan tanah. Pajak panen yang dipungut pun sering melebihi ketentuan. Selain itu, jika tidak sanggup membayar utang, mereka kerap dipaksa menyerahkan kerbaunya kepada para tuan tanah.

Petrik mengisahkan, salah satu petani yang mengalami hal itu adalah Arpan. Dia mengaku sebagai pemilik sah dari tanah di Cipamingkis, sebuah daerah yang letaknya di antara sungai Cisadane dan Citarum. Klaim itu diyakini Arpan karena pesan ayahnya mengatakan bahwa tanah itu diwariskan kepadanya. Arpan pun menceritakan penderitaannya ini kepada seorang jawara yang dikenal dengan nama Bapak Rama (hlm. 153).

Melihat situasi itu, Bapak Rama, yang kerap dipanggil Pangeran Alibasah, gerah. Menurutnya, tanah-tanah yang terletak di antara sungai Citarum dan Cisadane adalah tanah warisan nenek moyang.

Kemudian, Bapak Rama pindah ke kampung Ratujaya, Citayam, Depok. Di sana, dia bertemu dengan Bapak Kolot. Pada 1868, keduanya menghadap Raja Jawa di Solo untuk mempelajari soal kepemilikan tanah.

Pulang dari keraton Solo, Bapak Rama memutuskan untuk melancarkan pemberontakan. Tujuannya: membebaskan tanah-tanah tanah-tanah partikelir di sekitar antara Cisadane dan Citarum. Untuk itu, Bapak Rama menghimpun ratusan massa dari Tambun, Citayam, Depok, Parung, dan Cibarusah.

"Pemberontakan akan dibagi dalam beberapa kelompok yang akan berontak di wilayah-wilayah tersebut. Setelah tanah berhasil direbut, mereka akan berkumpul di Teluk Pucung. Dari Teluk Pucung, di bawah pimpinan Bapak Rama mereka bersama-sama akan menyerang Batavia," sebut Petrik (hlm. 154).

Rama meramalkan akan terjadi gerhana bulan pada 3 April 1869 dan itu adalah waktu yang tepat untuk melancarkan pemberontakan. Menurut laki-laki yang disebut berasal dari Cirebon itu, gerhana bulan membuat tentara Belanda tidak dapat melihat.

Infografik Tunggal Fakta Supermoon

Tewasnya Tuan de Kujper dan Ditangkapnya Bapak Rama

Tapi ramalan Bapak Rama meleset. Gerhana baru terjadi pada 5 April 1869. Rencana pemberontakannya pun bocor. Namun, kehendaknya tetap: perlawanan mesti dilancarkan tepat pada malam gerhana bulan dengan target serangan di Tambun. Maka di hari yang sudah ditetapkan itu, sekitar 300 orang bergerak dari Cimuning menuju Tambun.

Di pihak lawan, Asisten Residen Meester Cornelis E.R.J.C. de Kujper menunggu Rama dengan niat ingin berunding. Tapi, seperti dicatat Encyclopaedie van Nederlandsch-Indie, de Kujper justru tewas dalam peristiwa tersebut. Delapan orang yang mendampingi de Kujper juga mengalami nasib serupa.

Setelah itu, Bapak Rama jadi buronan. Sebanyak 302 pengikutnya ditangkap. Dia sendiri pada akhirnya ditangkap polisi pada 17 Juni 1869.

“Dalam sidang pengadilan pada 29 September 1869, dua pelaku divonis hukuman mati, sementara 19 terdakwa lain diganjar hukuman kerja paksa selama 15 tahun. Pangeran Alibasah sendiri tak sempat diadili. Ia meninggal dunia dua hari sebelum sidang pengadilan digelar,” sebut Mulyawan Karim.

Menurut Mulyawan, ada kemungkinan dua orang yang dihukum mati itu dieksekusi di Bekasi pada hari Rabu, 24 Agustus 1870. Keduanya adalah bagian dari acht Tamboenmoordenaars—istilah yang digunakan pemerintah kolonial untuk menyebut delapan jagal dari Tambun.

Mulyawan juga menemukan peristiwa itu diberitakan Bintang Barat, salah satu koran yang terbit di Betawi pada masa itu. "Ini perkara soeda djadi seblonnja itoe 8 orang brandal di gantoeng," sebut surat kabar tersebut pada edisi Sabtu 3 September 1870.

Bapak Rama memang gagal. Namun, peristiwa pemberontakan di Tambun itu menjadi penanda penting digunakannya gerhana bulan sebagai siasat pemberontakan.

Baca juga artikel terkait GERHANA BULAN TOTAL atau tulisan lainnya dari Husein Abdulsalam

tirto.id - Politik
Reporter: Husein Abdulsalam
Penulis: Husein Abdulsalam
Editor: Ivan Aulia Ahsan