Menuju konten utama

Pestisida yang Mengancam Lebah dan Kita Semua

Populasi lebah di dunia terancam oleh penggunaan pestisida hingga polusi udara hasil pencemaran manusia.

Pestisida yang Mengancam Lebah dan Kita Semua
Ilustrasi lebah. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Petani bunga dan tanaman lain di Eropa sudah dua dekade lebih memakai pestisida yang mengandung neonicotinoid. Namun, lama-kelamaan, mereka merasa ada penurunan jumlah lebah yang kerap berkunjung ke kebun. Pada Minggu (14/8/2017) sebuah penelitian yang diunggah di Jurnal Nature menjawab keheranan tersebut: neonicotinoid-lah yang membuat populasi lebah menurun secara signifikan.

Kepala peneliti Profesor Nigel dari University of Guelph, Kanada, mengatakan bahwa paparan neonicotinoid pada ratu lebah menurunkan kemungkinannya untuk bertelur dan memulai koloni hingga 26 persen. Penurunan sebesar ini, kata Raine kepada The Guardian, “secara signifikan meningkatkan kemungkinan punahnya populasi lebah liar.”

Kabar tentang hilangnya lebah di kawasan Eropa sesungguhnya bukanlah hal baru. Pada dua tahun silam, International Union for Conservation of Nature (IUCN) merilis penelitian yang menunjukkan satu dari tiap sepuluh spesies lebah sedang terancam kepunahan.

IUCN mendata 1.965 spesies lebah di Eropa saja, dan jumlahnya secara global bisa lebih banyak lagi. Dari jumlah tersebut IUCN menemukan ada 9,2 persennya yang terancam kepunahan, 12,6 persen berada dalam jumlah yang stagnan, dan hanya 0,7 persen yang jumlahnya mengalami tren kenaikan. Penelitian yang melibatkan 40 ahli itu terbatas hanya memasukkan data yang dapat diverifikasi, sehingga jumlah spesies lebah yang terancam punah bisa lebih tinggi lagi.

Sejak penemuan tersebut, penelitian serupa lainnya bermunculan, dan rata-rata mengafirmasi beragam jenis bahaya yang sedang mengancam populasi lebah di Eropa.

Riset yang dilaksanakan Penelope Whitehorn dari University of Stirling, Skotlandia, misalnya, menyatakan efek buruk pemakaian pestisida jenis neonicotinoid menurunkan kemampuan lebah dalam menggetarkan bunga dan menyingkirkan serbuk sari untuk menyuburkan tanaman.

Baca juga: Memakan Serangga untuk Mengatasi Krisis Pangan

Sejumlah tanaman seperti tomat dan kentang mesti mendapat getaran yang cukup kuat dari lebah agar mengeluarkan serbuk sari, dan biasanya lebah piawai dalam melakukan tugas ini. Namun, penelitian Whiteron menunjukkan gerakan tubuh lebah yang terpapar neonicotinoid punya lebih lemah ketimbang yang tak terpapar. Mereka tetap mampu bergetar, tapi cenderung lemah sehingga mendapat serbuk sari bunga yang lebih sedikit.

Pada awal Maret lalu, laporan Center for Biological Diversity menyebut ihwal penurunan yang signifikan atas populasi lebih dari 700 spesies lebah di Amerika Utara. Selain akibat penggunaan pestisida, ada juga faktor, yakni hilangnya habitat lebah. Studi ini makin mengencangkan volume alarm atas eksistensi lebah, sebab menurut laporan PBB pada 2015, populasi lebah menurun hingga 37 persen, dan 9 persennya terancam punah.

Kabar buruknya, tren ancaman pada lebah dalam satu dekade terakhr tak hanya terjadi di kawasan Eropa dan Amerika Utara (Amerika Serikat, Kanada), tapi juga menjalar hingga Cina, Jepang, hingga ke Afrika Utara terutama Mesir, demikian menurut laporan Program Pembangunan PBB (UNEP).

Para ilmuwan mengajukan teori mengapa fenomena ini muncul. Tracey Newman, misalnya. Berdasarkan hasil riset grupnya, ilmuwan dari Universitas Southampton, Inggris, itu mengajukan kesimpulan bahwa penurunan kemampuan lebah madu untuk mengenali wangi bunga disebabkan oleh paparan polusi asap diesel. Polusi asap dapat mengubah aroma bunga yang menarik perhatian lebah, demikian sebagaimana dipublikasikan dalam jurnal Nature.

Guy Poppy, seorang profesor ekologi yang bekerja dengan Newman, mengatakan pada Reuters bahwa lebah madu memerlukan proses belajar untuk mengenal tanaman. Proses ini dapat terganggu oleh gas NOx, khususnya nitrogen dioksida yang dapat ditemukan di knalpot diesel dan polusi lainnya.

Baca juga: Partikel yang Membunuh dalam Senyap itu Bernama PM 2,5

Infografik Lebah-Lebah yang Menghilang

Dalam riset tersebut, Poppy, Newman dan rekan peneliti lain mengambil sampel delapan bahan kimia yang ditemukan dalam minyak bunga, lalu mencampurkannya dengan asap diesel dan dengan udara bersih. Mereka menemukan bahwa enam dari delapan bahan kimia tersebut jumlahnya berkurang ketika dicampur asap diesel dan dua bahan kimia lainnya langsung hilang dalam hitungan menit.

Kondisi tersebut menunjukkan terjadinya perubahan pada bahan kimia yang ada dalam minyak bunga. Di sisi lain, bahan yang dicampur dengan udara bersih tidak menunjukkan adanya perubahan.

Ketika peneliti menggunakan proses yang sama dengan menggunakan gas NOx yang ditemukan dalam asap diesel, mereka menemukan hasil sama. Namun saat bahan kimia yang telah berubah tersebut diberikan kepada lebah madu, yang terkenal dengan sensitivitas penciumannya, mereka tidak mengenalinya.

Peneliti di UNEP sendiri menyebutkan ada empat faktor utama yang mengakibatkan penurunan populasi lebah. Pertama, hilangnya habitat atau tempat tinggal lebah, yakni tumbuhan berbunga yang sekaligus berperan sebagai sumber makanannya. Kedua, parasit dan hama, salah satunya tungau Varroa.

Ketiga, adanya serangan insektida yang secara sistematis bermigrasi tempat tinggal dari satu tanaman ke tanaman baru. Keempat, serupa dengan hasil penelitian Newman, ada polusi udara yang menghambat lebah saat sedang mencari bunga tanaman. Faktanya, di era 1800-an bau sumber makanan bisa dicium oleh lebah pada jarak 800 meter. Namun, kini di era asap polusi makin mencemari udara, bau itu hanya bisa terdeteksi kurang dari 200 meter.

Baca juga: Dibunuh Polusi Udara

Lebah, plus persoalannya, barangkali terlihat sepele bagi orang awam. Padahal, serangga ini berjasa menyerbuki sepertiga dari semua makanan yang kita konsumsi serta memainkan peran penting dalam menjaga ekosistem di planet bumi.

Sekitar 84 persen tanaman yang ditumbuhkan untuk kepentingan makan manusia, yang mencakup kurang lebih 400 jenis tanaman, membutuhkan lebah sebagai penyerbuk dan membuat panen berhasil, entah kualitas maupun kuantitasnya. Ini meliputi hampir semua jenis buah dan sayuran, mulai dari kacang-kacangan hingga bunga matahari, yang diproduksi untuk minyak goreng sampai kopi dan teh.

Menurut Intergovernmental Science-Policy Platform on Biodiversity and Ecosystem Services (IPBES), nilai pangan dunia dengan perkiraan mencapai $235-$577 miliar bergantung pada kurang lebih 25.000 spesies lebah yang ada di muka bumi.

IPBES menambahkan bahwa jumlah produksi pertanian warga dunia yang bergantung pada penyerbukan telah melonjak 300 persen dalam 50 tahun terakhir. Sektor produksi makanan yang besar ini telah menyediakan lapangan kerja bagi jutaan orang, antara lain pemetik kopi di Brasil, petani kakao di Ghana, petani kacang almond di California atau produsen apel di Cina.

Namun, di luar nilai moneter dalam bidang penjagaan pasokan makanan, lebah memiliki kontribusi yang tak ternilai bagi ekosistem bumi. Mulai dari benih dan buah-buahan yang dimakan burung hingga mamalia kecil, semuanya berasal dari tanaman yang diserbuki oleh lebah. Lebah adalah penjaga rantai makanan dan keanekaragaman hayati spesies lainnya.

Pendek kata, masa depan lebah adalah masa depan kita semua.

Baca juga artikel terkait KRISIS PANGAN atau tulisan lainnya dari Akhmad Muawal Hasan

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Akhmad Muawal Hasan
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Akhmad Muawal Hasan