Menuju konten utama

Pesona Karpet Iran dan Sejarah Perlawanan di Baliknya

Sejarah kejayaan karpet Iran tercatat pada masa Dinasti Safawiyah (1501-1722) yang raja-rajanya dikenal berselera seni tinggi.

Pesona Karpet Iran dan Sejarah Perlawanan di Baliknya
Penjual karpet Iran memperlihatkan karpet Persia kepada wisatawan di toko karpet. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Awal Agustus 2019, media Iran ramai memberitakan peluncuran karpet buatan tangan (handmade) terbesar di dunia dalam acara pameran karpet nasional di kota Tabriz. Karpet yang dikerjakan 230 penenun mahir dan memakan waktu sekitar tujuh tahun ini luasnya mencapai 600 meter persegi. Sebelumnya, rekor karpet juga dicatat oleh para seniman karpet Iran dengan luas 563 meter persegi yang dipesan untuk melapisi masjid Abu Dhabi.

Iran memang punya sejarah panjang memintal karpet. Pada 1949, karpet tertua bernama “Pazirik” ditemukan di kompleks pemakaman seorang bangsawan di pegunungan Siberia. Menurut penemunya, Sergei Rudenko, usia karpet yang diperkirakan lebih dari 2.000 tahun itu berasal dari masa Achaemenid, salah satu dinasti Persia sebelum Islam.

Sejarah kejayaan karpet Iran tercatat pada masa Dinasti Safawiyah (1501-1722). Para Raja Safawiyah dikenal memiliki minat tinggi terhadap seni dan kebudayaan. Khusus untuk seni karpet, di lingkungan istana sendiri banyak dibangun galeri-galeri karpet. Bahkan, Raja Abbas I mengundang banyak seniman karpet dari mulai desainer sampai penenun untuk mendirikan sentra usaha karpet yang sampai hari ini memberikan ruh bagi industri karpet di berbagai wilayah Iran.

Setiap daerah di Iran memiliki jenis karpet dengan karakter khas. Ada beberapa wilayah yang punya tradisi panjang pembuatan karpet, di antaranya Tabriz, Kashan, dan Kerman. Tiga wilayah ini dikenal memiliki teknik khas memintal karpet. Pada 2010, situs budaya UNESCO menetapkan teknik pembuatan karpet tradisional Kashan sebagai warisan budaya tak benda, yang sekaligus menunjukkan pengakuan atas keunikan karpet handmade Iran.

Pembuatan karpet bikinan tangan jauh lebih rumit ketimbang karpet produksi mesin. Warna dan bahan dasar pada karpet tradisional Iran lebih banyak memanfaatkan sumber dari alam, seperti safran, delima, kulit walnut yang masih muda, dan sebagainya. Penggunaan warna natural ini selain memiliki nilai seni tinggi, membuat karpet lebih awet dan tahan lama. Bahkan ketika kembali dicuci, warnanya akan semakin berkilau. Sistem pewarnaan tradisional, meski tidak mudah, tetap dipertahankan untuk mendapatkan kualitas terbaik.

Benang-benang yang sudah dikeringkan disusun dalam mesin pemintal (dar). Di sinilah fase terpanjang sekaligus paling melelahkan dalam produksi karpet. Bahkan, ada sebuah lagu yang khusus digubah untuk menyemangati para pemintal yang sebagian besar perempuan. ”Wahai para penenun, ikatlah hasrat tersembunyi di hatimu ke dalam rambut yang dikepang dari empat puluh wig. Dan tunggu kekasihmu di tepi mata air”. Lirik ini terdengar ingin meyakinkan para pemintal bahwa di depan sana ada harapan yang menanti.

Neda Azami, seorang desainer karpet yang juga hobi melukis, pernah menggelar sebuah pameran bertajuk “Para Penenun Perempuan yang Terlupakan” padan 19-29 Agustus 2016 di Galeri Vista, Teheran, Iran. Pameran ini dibuat sebagai bentuk empati terdalamnya kepada sesama kaum perempuan. Azami menggambarkan bagaimana para penenun karpet berbulan-bulan berada di ruang tertutup yang pengap untuk menghasilkan karpet mahal. Karya ini lahir setelah kunjungannya ke salah satu industri rumahan karpet di propinsi Kerman. Di balik keindahan dan kemewahan karpet Iran, ternyata ada wajah-wajah lelah yang kerap terabaikan.

Desain Karpet Iran di antara Keindahan dan Mitologi

Selain karena penggunaan bahan dasar, pilihan warna, dan kerapatan benang, karpet Iran juga banyak diminati karena memiliki desain yang indah. Nazila Daryai, seorang ahli karpet dalam papernya yang dimuat di jurnal Asosiasi Karpet Iran, menilai desain karpet klasik Iran mengusung keseimbangan pola antara bagian tengah maupun pinggiran karpet. Motif karpet Iran juga cukup bervariasi. Sebagian besar menonjolkan motif kebun yang kaya aneka ragam bunga dan dedaunan sebagai lambang kehidupan yang terus tumbuh dan bergerak.

Setiap motif karpet punya filosofi dan ceritanya sendiri, apalagi corak karpet kuno yang biasanya memiliki simbol-simbol tertentu, misalnya bentuk segi tiga dan belah ketupat sebagai simbol untuk menangkal pengaruh jahat, kambing sebagai simbol permintaan hujan, ikan dan ular sebagai lambang penjagaan, dan sebagainya. Tak jarang simbol-simbol itu dikombinasikan dalam satu bidang, misalnya karpet Joushaqan. Di dalam nya terdapat gambar kalajengking raksasa berkepala manusia dan memiliki enam kaki ular berbisa. Para pengamat budaya menyebutkan, gambar ini merupakan simbol kekuatan untuk melawan pengaruh jahat.

Cerita mitologi lainnya juga dapat dilacak dalam sebuah potongan karpet dengan motif Tabrizi yang kembali pada abad ke-16, era Dinasti Safawiyah. Awalnya adalah sebuah karpet utuh yang dipotong sama persis. Satu bagian terdapat di Museum seni dekorasi Paris, bagian lainnya di Museum Nasional Krakow, Polandia. Karpet ini juga sering disebut sebagai karpet Krakow. Ali Hasouri, seorang ahli karpet mengungkapkan dua alasan mengapa karpet ini terpotong menjadi dua bagian.

Pertama, ketika ada anggota keluarga yang sakit. Mereka bernazar, jika anaknya sembuh, karpet yang digunakan untuk berbaring anak yang sakit tersebut dipotong menjadi dua bagian sama persis dan diberikan kepada fakir miskin. Kedua, karpet yang dipotong itu sebelumnya digunakan untuk prosesi pemakaman, kemudian dipotong dan dibagikan kepada orang yang membutuhkan agar si pemilik karpet tak lagi mendapat musibah. Dua alasan ini berangkat dari pijakan, sebuah pengorbanan untuk memberikan apa yang paling disukainya untuk memperoleh kebahagiaan sebenarnya.

Sampai hari ini, di tengah pertarungan berbagai desain karpet modern, motif karpet klasik masih bertahan, terutama dibuat oleh kalangan Ashayer, yaitu suku nomaden yang hidup bebas di alam dan berpindah-pindah. Jumlah mereka yang hanya 1,66 persen dari seluruh penduduk Iran, tak hanya mampu memenuhi kebutuhan sektor peternakan kaum perkotaan, bahkan karpet yang mereka hasilkan, termasuk yang dicari oleh para kolektor karena konon dibuat dengan totalitas rasa dan keyakinan kuat pada alam.

Karpet sebagai Ekspresi Budaya dan Perlawanan

Meskipun karya seni itu bersifat universal dan bertujuan untuk dinikmati oleh seluruh penikmat seni dari berbagai latar belakang, tetapi tak bisa dipungkiri, karya seni juga lahir dari seorang seniman yang memiliki pergulatan rasa dan batinnya sendiri. Identitas kedirian dan kelompoknya juga turut memberikan warna dalam lahirnya sebuah karya. Dari sinilah justru pesan-pesan terdalam dari seorang seniman dapat dibaca dan direnungkan.

Karpet sebagai salah satu karya seni juga digunakan untuk mengekspresikan kepercayaan dan keyakinan para penenun. Misalnya, karpet asal daerah kashan abad ke-20 yang menggambarkan sebuah desa yang tenang, bagian atas gambar ini terdapat sebuah cawan besar yang bertuliskan bahasa Ibrani. Karpet ini dibuat oleh para penenun dari kelompok Yahudi. Lewat desain ini, agaknya para penganut Yahudi yang minoritas juga ingin menunjukkan eksistensinya.

Sebuah karpet lain bercorak darvishi yang berasal dari wilayah Sarouq atau Farahan. Seperti Namanya, karpet ini didesain dan dikerjakan oleh para penenun dari kelompok Darwish atau sufi. Motif karpet yang menggambarkan benda-benda yang digunakan oleh para sufi. Misalnya, gambar kulit harimau yang terhampar, kapak emas, topi darwis, dan dua papan catur di bagian bawah. Setiap simbol memiliki makna khusus. Di dalam desain karpet itu juga terdapat syair-syair sufistik. “Dalam surga kejujuran hanya akan lahir ketenangan, dalam kantong si fakir hanya ada kefanaan. Dalam ruang para sufi, hanya tersisa cinta dan kesetiaan”.

Infografik Karpet Iran

Infografik Karpet Iran. tirto.id/Quita

Bicara karpet Iran memang kompleks, tak hanya soal keindahan dan ekspresi budaya, ada juga cerita perlawanan. Pada tanggal 8 Desember 2012, situs budaya UNESCO mencatat tradisi unik Ghali Shuyan sebagai warisan budaya dunia. Ghali Shuyan merupakan upacara pencucian karpet massal di kota Mashhad Ardahel yang didakan setiap bulan Oktober. Tradisi yang telah berlangsung lebih dari seribu tahun ini, sebagai aksi perlawanan atas pembunuhan seorang tokoh yang dicintai masyarakat oleh penguasa. Pada saat kejadian, rakyat berbondong-bondong datang mengusung jenazah dan memandikannya dengan menggunakan karpet.

Hari ini, bentuk-bentuk perlawanan dengan media karpet menjadi luas dan beragam. Perlawanan kelompok minoritas umat kristiani mencoba mengekspresikan komunitasnya lewat desain karpet bunda Maria, Almasih, dan perjamuan malam. Atau perlawanan para penenun perempuan di ruang-ruang tertutup dengan menghadirkan desain karpet para perempuan yang mengenakan baju daerah berwarna-warni.

Dalam perang dagang dunia, agaknya pemerintah Iran juga menggunakan karpet sebagai alat perlawanan embargo yang melilit kuat. Di tengah lesunya ekspor minyak, industri karpet Iran masih terlihat berjaya. Iran Tourism dan Touring Organitation melansir laporan, pada akhir tahun 2019 nilai ekspor karpet Iran mencapai $ 424. 451 juta ke lebih dari 70 negara, terutama negara-negara Eropa. Sementara Pusat Karpet Nasional Iran mencatat, industri karpet ini melibatkan dua juta pengrajin dengan hasil tenunan sekitar 3500 karpet handmade setiap tahunnya. Meski terseok-seok, industri karpet Iran ternyata masih menyimpan harapan.

Baca juga artikel terkait IRAN atau tulisan lainnya dari Afifah Ahmad

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Afifah Ahmad
Editor: Windu Jusuf