Menuju konten utama

Pesantren Krapyak, Pelopor Tahfiz Al-Qur'an Pertama di Indonesia

Pesantren Krapyak melahirkan sejumlah ulama yang menjadi tokoh Nahdhatul Ulama dan nasional.

Pesantren Krapyak, Pelopor Tahfiz Al-Qur'an Pertama di Indonesia
Header Mozaik Pesantren Krapyak. tirto.id/Ecun

tirto.id - Kecewa dengan sistem perkuliahan di Universitas Al-Azhar, Mesir, yang mengharuskannya mengulang pelajaran di pesantren, KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur hengkang dan mendaftar di Fakultas Sastra Universitas Baghdad, Iraq.

Minatnya terhadap sastra Arab menguat sejak belajar kepada K.H. Ali Maksum, ulama sekaligus pakar bahasa Arab dari Pesantren Krapyak. Namun, pesantren yang dirintis oleh K.H. M. Munawir itu awalnya justru fokus pada pembelajaran dan hafalan Al-Qur’an.

Pencetak Kader Ulama

K.H. Ali Maksum harus berpikir masak-masak sebelum hijrah dari Lasem di Jawa Tengah ke Krapyak, Yogyakarta. Bagaimanapun Pondok Pesantren Al-Hidayah milik ayahnya, K.H. Maksum, juga sedang berbenah pasca pendudukan Jepang.

Ketika akhirnya pindah ke Krapyak untuk mengurus pesantren mertuanya, Kiai Ali segera melakukan pengkaderan tenaga pengajar. Pengalamannya menimba ilmu dan menjadi penggerak modernisasi sistem pendidikan di Pesantren Tremas, Pacitan, menjadi modal yang sangat berharga.

Pesantren Krapyak didirikan oleh K.H. M. Munawir pada 1911. Pesantren ini merupakan pesantren tahfiz Al-Qur'an pertama di Indonesia.

Kiai Munawir merupakan putra K.H. Abdullah Rosyad, seorang abdi dalem Keraton Yogyakarta dalam bidang keagamaan. Setelah belajar di Makkah selama 21 tahun, ia pulang ke rumahnya di daerah Kauman dan membuka pengajian.

Situasi Kauman yang terletak di jantung kota Yogyakarta memaksa Kiai Munawir mempertimbangkan saran Kiai Said, seorang ulama dari Cirebon, untuk memindahkan kegiatannya ke tempat yang agak jauh dari pusat kota. Berkat dukungan H. Ali, juga asal Cirebon, lokasi pengajian dipindahkan ke Krapyak, sekitar 2 kilometer selatan Keraton.

Pesantren Krapyak berhasil mencetak hafiz (penghapal Al-Qur'an) dan pakar dalam ilmu-ilmu Al-Qur’an, di antaranya K.H. Arwani Amin (Kudus), K.H. Ahmad Umar Abdul Manan (Solo), K.H. Umar Harun (Cirebon), dan K.H. Muntaha (Wonosobo). K.H. Ahmad Azhar Basyir yang merupakan Ketua Umum Muhammadiyah periode 1990-1995 juga alumni Pesantren Krapyak.

Setelah kepemimpinan beralih kepada K.H. Ali Maksum, Pesantren Krapyak membuka kesempatan kepada para santrinya untuk memperdalam ilmu-ilmu keislaman yang lain, khususnya yang bersumber dari literatur Islam klasik.

Di bawah asuhan Kiai Ali inilah sejumlah tokoh nasional lahir. Di antaranya K.H. Abdurrahman Wahid (Presiden RI ke-4), K.H. A. Mustofa Bisri, KH. Buchori Masruri (pencipta lagu-lagu Nasida Ria), K.H. Said Aqil Siroj (Ketua Umum PBNU 2010-2020), KH. As’ad Said Ali (Wakil Kepala BIN), dan K.H. Yahya Cholil Staquf (Ketua Umum PBNU 2020-2025).

K.H. Ali Maksum dan Nahdhatul Ulama (NU)

Seturut Ahmad Athoillah dalam K.H. Ali Maksum: Ulama, Pesantren, dan NU (2019), Kiai Ali bukan hanya mahir dalam penguasaan literatur keislaman tapi juga terampil dalam melakukan pengkaderan ulama.

Sejak mondok di Pesantren Tremas, bacaannya sudah terbentang dari kitab-kitab mu’tabarah (otoritatif) khas pesantren hingga karya para pembaru, seperti Tafsir Al-Manar karya Rasyid Ridha, Tafsir Al-Maraghi karangan Ahmad Mustafa al-Maraghi, dan Majmu’ Fatawa susunan Ibnu Taimiyah.

Dalam Muktamar ke-34 NU di Lampung pada 2021 lalu, tiga dari empat kandidat Ketua Umum PBNU adalah santri Kiai Ali. Selain petahana K.H. Said Aqil Siroj, juga ada K.H. Yahya Cholil Staquf dan K.H. As’ad Said Ali.

Sebelum menjadi Ketua Umum PBNU dua periode, K.H. Said Aqil Siroj dipercaya sebagai Katib Aam PBNU pada era Gus Dur. Sementara K.H. Yahya Cholil Staquf pernah menjadi juru bicara Gus Dur saat menjabat presiden. Dan K.H. As’ad Said Ali pernah menjadi Wakil Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) di era Presiden Gus Dur.

Ketika mendapat amanah sebagai Rais ‘Am PBNU, Kiai Ali mengemban sejumlah tugas berat sebagaimana dirumuskan pada Muktamar NU ke-26 di Semarang (1979) dan Munas Alim Ulama NU di Kaliurang (1981).

Seturut Greg Fealy dan Greg Barton dalam Tradisionalisme Radikal: Persinggungan Nahdhatul Ulama-Negara (1997: 127), di antara tugas-tugas tersebut adalah menindaklanjuti seruan kembali kepada Khittah NU 1926, termasuk menyikapi desakan pemerintah untuk menerima Pancasila sebagai asas tunggal.

Saat menjabat Rais ‘Am, Kiai Ali juga harus menghadapi kemelut hubungan antara NU dan PPP yang berujung pada tuntutan kepada K.H. Idham Chalid untuk mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Ketua Umum PBNU.

Tuntutan tersebut mengemuka lantaran K.H. Idham Chalid dinilai “sama sekali tidak melakukan apa pun” menghadapi sepak terjang H. John Naro yang menyingkirkan sejumlah politikus kawakan NU dari daftar calon anggota DPR dari PPP pada Pemilu 1982.

Infografik Mozaik Pesantren Krapyak

Infografik Mozaik Pesantren Krapyak. tirto.id/Ecun

Karya dari Krapyak

Keterampilan berbahasa Arab adalah syarat penting untuk memahami literatur keislaman. Salah satu cabang ilmu yang harus dikuasai santri-santri pesantren untuk memiliki kemahiran berbahasa Arab adalah sharaf atau ilmu tentang perubahan bentuk kata (morfologi).

Santri di banyak pesantren di Indonesia umumnya menggunakan kitab al-Amtsilah at-Tashrifiyyah untuk mempelajari sharaf, sebuah kitab karya K.H. M. Ma’shum bin Ali menantu K.H. M. Hasyim Asy’ari, pendiri NU.

Di Krapyak, Kiai Ali menggunakan kitab sharaf yang berbeda, yaitu ash-Sharf al-Wadhih. Kitab itu disusun oleh Kiai Ali saat menjadi Direktur Madrasah Nizhamiyyah di Pesantren Tremas pada warsa 1920 hingga 1930-an.

Banyak pihak menilai kitab Ash-Sharf al-Wadhih lebih ringkas dibanding al-Amtsilah at-Tashrifiyyah. Hingga kini kitab tersebut dipergunakan sebagai buku wajib bagi santri-santri di Pesantren Tremas dan Pesantren Krapyak.

Kepakaran Kiai Ali dalam bahasa Arab mengantarkannya menjadi salah satu anggota penerjemah Al-Qur’an. Karena faktor yang sama, Krapyak menjadi pesantren yang banyak melahirkan ulama sekaligus ahli bahasa Arab. Ini terlihat dari empat kamus Arab-Indonesia yang lahir dari pesantren tersebut.

Kamus pertama terbit pada warsa 1980-an, judulnya al-Munawwir. Kamus Arab-Indonesia karya K.H. A. Warson Munawwir itu ditashih (diperiksa) oleh Kiai Ali. Kamus kedua berjudul Kamus Kontemporer Al-‘Ashry, merupakan karya K.H. Atabik Ali dan K.H. A. Zuhdi Mukhdhor.

K.H. Adib Bisri dan K.H. Munawir Abdul Fatah yang juga santri Kiai Ali mengikuti pendahulunya dengan menulis kamus yang bertajuk al-Bisri. Jika al-Munawwir adalah kamus Arab-Indonesia, al-Bisri memuat kosakata Indonesia-Arab dan Arab-Indonesia.

Kamus yang keempat berjudul sama dengan karya K.H. A. Warson Munawwir, yaitu al-Munawwir. Bedanya kamus susunan K.H. Fairus Warson Munawwir ini menggunakan sistematika yang berkebalikan dari pendahulunya, yaitu Indonesia-Arab.

Baca juga artikel terkait KRAPYAK atau tulisan lainnya dari Firdaus Agung

tirto.id - Pendidikan
Kontributor: Firdaus Agung
Penulis: Firdaus Agung
Editor: Irfan Teguh Pribadi