Menuju konten utama

Pesan Terselubung dalam Iklan Tanpa Editan

Sejumlah perusahaan menarik perhatian publik lantaran merilis iklan-iklan dengan penampilan model yang tak dipulas secara digital. Namun, perusahaan-perusahaan ini belum tentu tulus melakukannya.

Pesan Terselubung dalam Iklan Tanpa Editan
Ilustrasi plus size model. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - “I see the magazine workin' that Photoshop

We know that s***t ain't real, come on now, make it stop

If you got beauty, beauty, just raise 'em up

'Cause every inch of you is perfect from the bottom to the top

Petikan lirik tersebut diambil dari lagu “All About That Bass” yang dipopulerkan Meghan Trainor. Pesan mengenai penerimaan terhadap kondisi tubuh alias body positivity kencang disuarakan oleh penyanyi kelahiran 1993 tersebut.

Di tengah terpaan gambaran ideal tentang tubuh, produk budaya seperti yang ditelurkan Trainor tentu saja mengundang perhatian khalayak, terutama mereka yang bisa mengaitkan diri dengan konten yang disampaikannya. Internet, musik, atau film menjadi saluran-saluran yang dimanfaatkan untuk mengekspresikan kepenatan terhadap tubuh nyaris tanpa cacat cela sebagian publik.

Mulanya aktivisme penerimaan tubuh dan resistensi terhadap gambaran ideal dan keterlibatan teknologi yang memperindah tampilan seseorang hanya bekerja di lingkup-lingkup kecil. Seiring dengan meningkatnya kesadaran tentang hal ini, banyak industri yang lantas ikut serta berkampanye tentang body positivity dan mencoba membawanya ke tengah-tengah wacana publik.

Baru-baru ini, toko online asal Inggris, ASOS mendulang simpati dari publik lantaran merilis iklan pakaian renang dengan model-model yang tak diedit penampilannya. Gambaran perempuan-perempuan dengan stretch marks atau bekas jerawat tanpa ragu ditunjukkan oleh ASOS. Banyak warganet menyambut baik pilihan ASOS ini.

“Terima kasih karena tidak menyembunyikan stretch mark-nya (model iklan baju renang). Dia terlihat memesona dan ini akan membantu anak-anak perempuan untuk menerima kekurangannya,” demikian ditulis salah satu warganet di Twitter.

Beberapa warganet lain pun menyampaikan komentar senada. Akun @OliviaTuffrey menulis, “Sangat bagus ASOS. Stretch marks dan bekas jerawat tidak disembunyikan.” Sementara @amyrowlandsx berkata, “Sangat terkesan dengan @Asos karena tidak memulas stretch marks model-modelnya. Dia (si model) tampak mengagumkan.”

Aksi yang dilakukan ASOS bukan yang pertama menarik perhatian publik. Jauh sebelum itu, sejumlah perusahaan pun telah ambil andil dalam kampanye penerimaan kondisi tubuh. Tahun 2012, Julia Bluhm, siswi kelas 8 dari Maine, AS, membuat petisi online yang meminta majalah Seventeen untuk tidak memulas model-model halaman editorial mereka.

Lebih dari 80.000 orang menandatangani petisi yang dibuat Bluhm. Ann Shoket yang kala itu menjabat sebagai pemimpin redaksi menyatakan Seventeen telah berkomitmen untuk tidak mengubah bentuk tubuh alami model-modelnya. Akan tetapi, ia mengakui tidak bisa mengendalikan para pengiklan yang tak berkomitmen untuk menampilkan model-model bebas editan.

Petisi yang dibuat Bluhm ini tak pelak membuat Shoket mengundangnya bertemu dan merevisi kebijakan tentang pengolahan foto di majalah tersebut. “Sementara kami bekerja keras di balik layar untuk memastikan kami telah mengedepankan autentisitas, suratmu [Bluhm] menyadarkan saya bahwa sudah saatnya kami menekankan kembali komitmen yang kami buat kepada publik,” demikian ditulis Shoket dalam surat kepada pembaca yang dipublikasikan di Times.

Seventeen juga berjanji akan lebih transparan mengenai proses pengambilan gambar. Caranya adalah merilis publikasi di balik layar secara online.

Pada musim semi 2014, produsen pakaian dalam asal AS, Aerie, juga mengampanyekan body positivity lewat iklan #Aeriereal. Keputusan Aerie untuk merilis iklan tanpa editan ini bisa dibilang berani lantaran segmentasi pasar terbesar mereka adalah remaja usia 15-21 tahun. Berdasarkan hasil banyak studi, kepercayaan diri remaja-remaja putri tergolong rendah akibat paparan gambaran kecantikan ideal di media-media massa.

Masih dengan semangat dan dari negara yang sama, ritel Target meluncurkan iklan baju renang yang menampilkan perempuan-perempuan dari etnis dan bentuk tubuh bervariasi. Alih-alih mengabaikan mereka yang bertubuh gemuk, memiliki stretch marks, atau berwarna kulit non-putih, Target justru merayakan keberagaman ini dan banyak publik pun menyambutnya dengan tangan hangat.

Selintas tampak tidak ada yang salah dengan keberanian sejumlah bisnis untuk menyuarakan body positivity atau iklan-iklan berkonten pesan sosial lainnya. Namun jika dicermati, ada sisi lain dari iklan-iklan tersebut yang luput dari perhatian publik umumnya.

Kaila Prins menuliskan perspektifnya mengenai iklan bermuatan kampanye body positivity dalam situs Everyday Feminism. Pada saat banyak orang mengapresiasi Dove atas upayanya mengedepankan body positivity dalam iklan, Prins justru memandang miring hal tersebut. Iklan, menurutnya, tetaplah iklan yang bertujuan membuat orang yang melihatnya membeli produk perusahaan yang merilisnya.

Di mata Prins, para pengiklan sadar betul bahwa cara menggoda calon pembeli adalah berusaha menyuarakan aspirasinya dan membuat mereka takut jika tak menggunakan produk pengiklan, si konsumen tak akan bisa mencapai impiannya.

Lebih lanjut Prins menyatakan, sebagai konsumen orang kerap kali mengejar autentisitas. Maka ketika kampanye “real woman” yang melibatkan perempuan-perempuan dengan bermacam-macam penampilan dipakai pengiklan, konsumen sering kali menelan mentah-mentah pesan iklan yang perusahaan buat dan terbujuk untuk membeli produknya.

Prins pun melihat iklan-iklan yang bermuatan kampanye seperti Dove acap kali mengeksploitasi sisi emosional calon pembeli. Mereka yang disasar seolah mesti mengakui dirinya berkekurangan dan dengan cara mengonsumsi produk perusahaan-perusahaan yang berkampanye semacam inilah mereka bisa “memaafkan” dan menerima diri mereka sebagaimana adanya. Alih-alih memandang pengiklan lain yang menggambarkan bentuk tubuh ideal sebagai ‘penindas’, calon-calon pembeli disugesti untuk mengamini bahwa diri mereka sendirilah yang menciptakan frustrasi.

infografik iklan tanpa photoshop

Kampanye tentang penerimaan tubuh yang terkait kecantikan juga mendatangkan kritik dari perspektif lain. Dalam laporan Huffington Post, Lisa Wade, associate professor Sosiologi dari Occidental College dan editor Sociological Images mengungkapkan pendapatnya seputar iklan-iklan yang mengedepankan body positivity.

“Ide bahwa setiap perempuan itu cantik masih menekankan bahwa kecantikan adalah hal yang penting,” katanya.

Kampanye #ImNoAngel yang dibuat Lane Bryant yang melibatkan perempuan bertubuh besar mengenakan lingerie pun tak luput dari kritik. Dalam salah satu iklan Lane Bryant, seorang model mengucapkan kata “sexy”, “hot”, dan “beautiful”, serta berbisik “Honey, have you seen all this?” Tujuan Lane Bryant membuat iklan ini adalah meredefinisi keseksian. Namun sayangnya, iklan tersebut tidak bisa lepas dari pemaknaan bahwa perempuan bisa menjadi obyek seksual.

Jessica Cwynar-Horta (2016) dari York University pun berpendapat senada dalam penelitiannya yang bertajuk “The Commodification of the Body Positive Movement on Instagram”. Alih-alih melihat sebagai kampanye berdampak positif penuh, ia memandang kampanye ini justru mendatangkan beberapa efek negatif.

Selain dimanfaatkan untuk kepentingan komersial, kampanye body positivity yang menampilkan tubuh-tubuh perempuan berpakaian dalam saja juga malah melanggengkan male gaze—sebuah istilah yang dicetuskan Laura Mulvey (1975) terkait kepentingan laki-laki mengobyektivikasi tubuh perempuan.

Memang benar bahwa segelintir perusahaan mengambil sikap berani dengan mempromosikan nilai yang tak sejalan pandangan dominan, dan ini dipandang sebagai suatu hal yang positif. Namun, sebagaimana banyak hal di dunia, tak ada satu pun yang lepas dari maksud tersembunyi yang kerap tak tertangkap oleh banyak konsumen.

Baca juga artikel terkait IKLAN atau tulisan lainnya dari Patresia Kirnandita

tirto.id - Marketing
Reporter: Patresia Kirnandita
Penulis: Patresia Kirnandita
Editor: Maulida Sri Handayani