Menuju konten utama

Pesan-pesan Perdamaian dari Tembok Perbatasan

Tembok kota tidak hanya berfungsi untuk melindungi dari serangan musuh atau dari ancaman lainnya. Tembok bisa menjelma menjadi kanvas untuk menyampaikan pesan perdamaian di wilayah konflik.

Pesan-pesan Perdamaian dari Tembok Perbatasan
Mural perdamaian di tembok perbatasan Israel dan Palestina di Rammalah. Getty Images

tirto.id - Rencana pembangunan tembok di perbatasan Amerika Serikat dan Meksiko kembali menjadi perbincangan hangat. Salah satu janji kampanye Donald Trump ini nampaknya benar-benar akan direalisasikan.

Tembok sepanjang 2.000 mil ini diperkirakan akan menelan biaya sekitar 8 miliar dolar AS atau sekitar Rp106 triliun namun ada kemungkinan dapat bertambah dua kali lipat, menurut Trump.

Tembok ini untuk mencegah masuknya imigran gelap dan penyelundupan narkoba dari Meksiko. Bagi Trump itu adalah salah satu tindakan untuk mengamankan AS dari tindakan kejahatan dan ancaman dari luar. Bagi pekerja musiman apalagi imigran gelap dari Meksiko, tembok ini akan menyulitkan. Selama ini beberapa sisi perbatasan AS-Meksiko sudah dipagar dengan konstruksi besi.

Selain AS, Israel juga membangun tembok perbatasan yang memisahkan negara itu dengan Palestina. Bagi Israel tembok ini sangat vital sebagai penghalang untuk mencegah serangan teroris dari warga Palestina. Bagi warga Palestina, keberadaan tembok sebagai bentuk perampasan lahan secara ilegal karena tidak sesuai dengan garis perbatasan Israel dengan di Tepi Barat sebelum Perang Enam Hari 1967.

Aksi protes warga Palestina dituangkan di tembok tersebut. Pada 2009 lalu, lebih dari 900 grafiti memenuhi tembok itu. “Jika semua manusia adalah sama, mengapa mereka harus tinggal terpisah,” salah satu kalimat di tembok tersebut. “Dapatkah kita bersama?” pesan dalam grafiti lainnya.

Tak jauh berbeda dengan AS dan Israel, pemerintah Irak membangun tembok beton di distrik-distrik Kota Baghdad. Alasannya karena ada lonjakan serangan bunuh diri dan pemboman lainnya pada 2007 yang terjadi di Irak.

Tembok-tembok itu tidak hanya melindungi penduduk sipil tetapi juga tempat ibadah dan infrastruktur pubik lainnya. Pemerintah AS juga turut membangun tembok pembatas di Baghdad. Namun, tembok yang dibangun itu malah digunakan oleh kelompok-kelompok politik dan pasukan bersenjata sebagai tempat untuk menyebarkan berbagai slogan bernada propaganda politik dan sektarian.

Infografik Tembok Perdamaian

Kota Penuh Warna

Perang yang berkecamuk di Irak membuat seorang mahasiswa tingkat akhir di salah satu universitas di Kota Baghdad, Ali Abdulrahman bersama 370 relawan dari berbagai latar belakang, seperti tukang kayu, seniman, mahasiswa, pandai besi, dan dokter membentuk sebuah kelompok yang diberi nama Imprint of Hope.

Mereka membuat proyek untuk menghidupkan kembali Kota Baghdad melalui karya seni. Samantha Robinson, pendiri grup seniman dan aktivis yang dikenal dengan Awareness & Prevention Through Art (aptART), mengungkapkan bahwa bagi masyarakat yang tinggal di lingkungan konflik atau pascakonflik, seni bisa menjadi bagian dari proses pemulihan.

Di tangan mereka, tembok yang sebelumnya berwarna abu-abu dan berisi pesan propaganda diubah menjadi penuh warna dan sarat pesan perdamaian. Di salah satu tembok itu, mereka melukiskan tangan yang saling berjabatan dengan latar belakang hati. Tangan yang di sisi kiri terdapat gambar salib di lengan bajunya dan di sisi lainnya bergambar bulan sabit. Di bawah gambar tersebut terdapat pesan “marilah kita hidup dalam perdamaian dan persatuan.”

Mereka juga melukis dinding-dinding panti asuhan, tempat penitipan anak serta bangunan-bangunan publik lainnya. Lukisan yang dibuat tidak hanya untuk menyampaikan pesan perdamaian tetapi juga untuk meningkatkan kesadaran tentang penggunaan air bersih, listrik dan pentingnya kerja sama dari warga sipil. Kerja sama yang dimaksud adalah agar warga sipil turun mengambil bagian dalam menciptakan perdamaian dan memupuk persatuan di antara warga Irak.

“Hal ini akan meredakan ketegangan sektarian dan berpotensi untuk menciptakan rasa persatuan,” kata Ali yang menjadi pemimpin dari Imprint of Hope seperti dilaporkan BBC.

Menciptakan kehidupan yang layak di Baghdad adalah prioritas mereka di tengah rasa putus asa dan frustrasi yang menggelayuti penduduk Irak. Mereka juga ingin mengubah persepsi orang di seluruh dunia tentang kotanya.

Selain Baghdad yang mulai berwarna, Sudan Selatan yang juga dipenuhi konflik mulai diwarnai oleh pada seniman Sudan Selatan. Bersama-sama mereka meluncurkan project seni di Kota Juba.

Mereka tidak membangun tembok pembatas seperti Irak atau Israel, namun kanvas mereka adalah tembok-tembok kota mulai dari dinding sekolah, pusat budaya hingga toko kue menjadi kanvas karya seni mereka. Setiap lukisan mereka diselipkan kata Ana Taban. Kata Ana Taban berasal dari bahasa Arab yang artinya Aku Lelah.

Warga Sudan Selatan sudah cukup lelah dengan perang saudara yang meletus pada 2013. Perang yang berawal dari perebutan kekuasaan antara Presiden Salva Kiir dan mantan wakilnya Riek Machar. Hingga pertengahan tahun lalu, pecah konflik yang dipicu oleh perang mulut antara pengawal Kiir dan Machar.

Di salah satu tembok di Kota Juba, para seniman melukiskan berbagai orang dengan beragam profesi. Ada dokter, pastor, pemain bola, pelari hingga nelayan. Di sisi atas lukisan tertulis “mari kita lakukan bagian kita.” Di sisi kanan atas di tuliskan #Anataban.

Kota lainnya yang diselimuti konflik adalah Nabek, Suriah. Seniman perempuan dari seluruh Suriah membuat project seni dengan melukis dinding dan tembok Kota Nabek. Tujuan yang ingin mereka sampaikan adalah bagaimana perempuan akan membangun kembali Suriah dan membuat tempat itu kembali berwarna.

“Bila Anda tinggal di wilayah perang, Anda harus berusaha untuk hidup, untuk keluar dari frustrasi dan depresi. Meski kematian dan kehancuran terjadi di Suriah, kami mencoba untuk membawa pesan pengharapan. Anda tidak dapat hidup tanpa harapan, itulah sebabnya mengapa perempuan kami memilih untuk membawa warna kepada rakyat Nabek,” kata pendiri Syrian Women’s Forum for Peace, Mouna Ghanem dalam wawancaranya dengan Newsdeeply.

Para kelompok tadi tentu menghadapi masalah saat mengungkapkan gagasannya di tembok-tembok pembatas. Seperti project di Irak yang mengalami krisis dana. Untuk menjalankan project ini, para relawan menggunakan dana mereka sendiri dengan membayar biaya bulanan sebesar 10.000 dinar Irak atau sekitar Rp106 ribu yang dialokasikan untuk membeli kuas dan cat.

Kelompok Imprint of Hope juga awalnya mendapat tekanan dari beberapa partai politik yang berusaha melakukan sabotase karena mencurigai kelompok ini memiliki agenda politik tersembunyi. Namun setelah mereka menunjukkan bahwa tujuan mereka adalah untuk menyuarakan perdamaian, penduduk setempat pun mulai ikut bergabung dengan kelompok ini. Mereka juga mendapat sumbangan bahan-bahan untuk melukis dari UNICEF dan Uni Eropa.

Menyuarakan pesan damai melalui tembok memang tidak serta merta mengubah keadaan kota menjadi betul-betul penuh dengan warna dan damai, apalagi bisa meruntuhkan tembok-tembok angkuh. Namun, kelompok-kelompok ini mampu membuktikan tembok bisa memberi pesan perdamaian, dan suatu saat harapan mereka barangkali bisa jadi kenyataan.

Baca juga artikel terkait TEMBOK PERBATASAN AS atau tulisan lainnya dari Yantina Debora

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Yantina Debora
Penulis: Yantina Debora
Editor: Maulida Sri Handayani