Menuju konten utama

Perusahaan Rokok Mundur, Prestasi Tenis Indonesia Hancur

Prestasi tenis lapangan dan tenis meja Indonesia hancur setelah perusahaan rokok menghentikan dukungannya.

Petenis meja Indonesia Banyu Tri Mulyo/Wawan Widiantoro mengembalikan bola ke arah petenis meja Filipina Gaela Benedicto/Catalan Jr Pablo dalam perebutan tempat ketiga para tenis meja TT 8-9 ganda putra Asian Para Games 2018 di Jakarta, Rabu (10/10/2018). ANTARA FOTO/Galih Pradipta

tirto.id - Sitti Hikmawatty, Komisioner KPAI, tak kaget ketika Djarum Foundation memutuskan untuk menghentikan sementara Audisi Umum Beasiswa Bulutangkis mulai tahun 2020 mendatang.

Tanda-tanda itu sudah terlihat ketika Djarum tidak menghadiri rapat koordinasi lanjutan pada 5 September 2019 yang melibatkan KPAI, Kemnkopolhukam, Kemenpora, perwaklian Pemda, KONI, dan PBSI.

Menurut Sitti, rapat tersebut sangat krusial karena akan membahas negosiasi Djarum Foundation soal pemasangan logo Djarum di dalam audisi.

Polemik antara Djarum Foundation dan KPAI berawal pada Juli 2019. Saat itu, KPAI bersama Lentera Anak menyebut audisi yang dilakukan Djarum sebagai bagian dari eksploitasi anak. Selain itu, audisi tersebut juga dianggap bertentangan dengan PP Nomor 109 tahun 2012, karena menyertakan logo rokok dan berpotensi membuat anak-anak mengesampingkan bahaya rokok.

Djarum Foundation langsung menampik tuduhan itu. Menurut Yoppi Sorimin, Program Director Bakti Olahraga Djarum Foundation, meskipun bernama “Djarum” dan berada di bawah naungan PT Djarum, PB Djarum tidak ada sangkut pautnya dengan kampanye rokok, melainkan murni bergerak di bidang pengembangan olahraga.

Permasalahan ini akhirnya melibatkan pemerintah. Kemenpora menilai tuduhan KPAI kurang tepat. Menpora Iman Nahrawi sampai mengirim surat kepada lembaga tersebut.

Dalam surat bertanggal 30 Agustus 2019, Imam Nahrawi menjelaskan perbedaan antara Djarum Foundation dan PT Djarum. Ia juga memuji Djarum Foundation dalam upaya pengembangan bulutangkis di Indonesia. Ia tak luput menyebut bahwa PB Djarum berhasil melahirkan sejumlah atlet kelas dunia seperti Liem Swie King, Hariyanto Arbi, hingga Kevin Sanjaya.

KPAI tak menggubris surat tersebut. Bahkan saat Djarum akhirnya “mengalah”, mereka justru berkelit. Menurut Sitti, KPAI hanya menuntut audisi menghilangkan unsur eksploitasi anak dan mengubah format seleksi agar tak melanggar Undang-undang, bukan menuntut audisi dihentikan.

“Jadi pembinaan tetap berjalan, audisinya yang kita cari bentuk lain. Harusnya masalah ini disikapi dengan tetap berkepala dingin, tidak baper dan lebay,” kata Sitty kepada Tirto, Senin (9/9/2019).

Permasalahan yang membelit olahraga paling berprestasi dan populer di Indonesia ini kemudian menarik perhatian publik. Sebagian membela Djarum, sebagian lagi mau memahami tuntutan KPAI, dan sisanya menyerang sikap gamang pemerintah yang tidak punya solusi untuk melakukan pembinaan bulutangkis di luar uluran tangan perusahaan rokok.

Peran perusahaan rokok dalam prestasi olahraga Indonesia bukan hanya dalam bulutangkis. Beberapa waktu ke belakang, perusahaan rokok pun punya andil dalam mendongkrak prestasi tenis lapangan dan tenis meja. Namun, saat mereka menghentikan dukungannya, prestasi pun langsung terjun bebas.

Wild Card di Turnamen Wismilak International

Prestasi tenis lapangan Indonesia di mata publik internasional barangkali hanya identik dengan nama Yayuk Basuki. Namun, tenis lapangan Indonesia pun pernah menjadi sorotan karena punya turnamen Wismilak International.

Mulai digelar di Surabaya pada 1994, Wismilak International adalah turnamen tenis perempuan kelas tiga, dua kelas di bawah Grand Slam. Meski demikian, turnamen ini sering kali menjadi ajang bagi ratu-ratu tenis dunia untuk melakukan pemanasan menjelang turnamen-turnamen yang lebih besar.

Elena Dementieva, Svetlana Kuznetsova, dan Lindsay Daveport pernah jadi juara di turnamen ini. Angelique Widjaja, petenis andalan Indonesia ini juga sempat jadi juara kejutan pada tahun 2001.

Sebelum gelaran Wismilak International, Angie, demikian sapaannya, sedang jadi buah bibir karena baru saja menjadi juara Wimbledon Junior usai mengalahkan Dinara Safina lewat pertarungan tiga set: 6-4,0-6,7-5.

Namun, karena peringkat WTA masih berada di luar 20 besar, Angie tidak bisa mengikuti Wismilak International yang saat itu mulai digelar di Nusa Dua, Bali. Beruntung, pada usianya yang saat itu masih berusia 16 tahun, ia akhirnya bisa ikut dan menjadi juara lewat fasilitas wild card.

Wild card merupakan fasilitas khusus yang diberikan kepada petenis untuk mengikuti sebuah turnamen. Pemberian wild card biasanya merujuk kepada petenis junior demi menimba pengalaman atau petenis tuan rumah.

Federasi Tenis Internasional (ITF) selaku otoritas tertinggi tenis dunia tidak ikut campur dalam urusan pemberian wild card. Mereka menyerahkan sepenuhnya kepada panitia penyelenggara.

Dalam gelaran Wismilak International, Angie mendapat fasilitas tersebut pada 2001, 2004 dan 2006. Sementara Wynne Prakusya pernah mendapatkannya pada tahun 2005.

Sayang, kesempatan atlet-atlet tenis Indonesia untuk menimba pengalaman di turnamen internasional itu mulai pupus setelah Wismilak tak lagi menjadi sponsor turnamen sejak 2007. Mulai tahun 2012, di bawah sponsor Commonwealth Bank, salah satu bank terbesar di Australia, turnamen ini pindah ke Sofia, Bulgaria. Fasilitas wild card tak lagi didapat dan sampai sekarang Indonesia kesulitan melahirkan para petenis andal.

“Tak dijelaskan mengapa Wismilak, yang sejak 1994 menjadi sponsor utama, memutuskan mundur sebagai penyandang dana turnamen yang akan berlangsung pada 9-16 September mendatang itu,” tulis Koran Tempo edisi 30 Mei 2007.

Infografik Sponsor Pergi Prestasi Hilang

Infografik Sponsor Pergi Prestasi Hilang. tirto.id/Fuadi

Prahara Tenis Meja

“Satu emas, satu perak, dan empat perunggu,” kata Oegrosono, ketua Persatuan Tenis Meja Seluruh Indonesia (PTSMI), pada 2 September 2019.

Oegroso menilai target medali PTSMI di SEA Games 2019 memang tak muluk, sebab timnas tenis meja Indonesia babak belur dalam dua gelaran SEA Games sebelumnya.

Namun, jika target tersebut ia canangkan pada akhir tahun 1980-an hingga awal 1990-an, Oegroso barangkali akan banjir hujatan dari publik. Penyebabnya dalam periode tersebut Indonesia tak pernah kekurangan atlet tenis meja berprestasi.

Salah satu alasan tenis meja Indonesia dapat berprestasi ialah keberadaan Perkumpulan Tenis Meja (PTM) Surya Gudang Garam, Kediri. PTM Surya didirikan oleh Susilo Wonowidjoyo, anak kandung pemilik Gudang Garam, pada 14 Oktober 1982.

PTM Surya yang semula hanya mendominasi kejuaraan di tanah air, memilih untuk melangkah lebih jauh dengan melakukan pembinaan atlet. Mereka pun mulai mengumpulkan pemain-pemain muda potensial dari seluruh negeri, mendatangkan pelatih-pelatih asing, dan mengirim para atlet binaannya ke turnamen internasional untuk memperbanyak jam terbang.

“Setiap tahun [pengeluaran Gudang Garam untuk pengembangan tenis meja] rata-rata mencapai 3 miliar,” tulis Antara.

Pembinaan tersebut amat mujarab. PTM Surya mampu menghasilkan pemain andal seperti Rossy Sjech Abu Bakar, petenis meja putri yang pernah meraih 12 medali emas dari SEA Games 1987 hingga 1995. Sementara di sektor putra, PTM Surya punya Bambang Sudarto, Edi Sutomo, serta Toni Santoso yang prestasinya tak kalah moncer.

Puncaknya, atlet-atlet jebolan PTM Surya menjadi penyumbang terbesar ketika Indonesia berhasil menyapu bersih medali emas dalam gelaran SEA Games 1993.

Sayangnya, kiprah PTM Surya harus berhenti pada Oktober 2008. Menurut Antara, keputusan ini disebabkan berhentinya pasokan dana yang diberikan Gudang Garam kepada klub. Juni Styawati, yang saat itu memimpin baru Gudang Garam, memilih memangkas pengeluaran perusahaan.

Bubarnya PTM Surya menjadi awal menurunnya prestasi tenis meja Indonesia di level internasional. Dalam beberapa SEA Games, raihan medali turun. Bahkan pada gelaran SEA Games 2009 pun Indonesia gagal total.

Ironisnya, alih-alih memperbaiki keadaan, PTMSI justru membikin kisruh suasana. Saat tenis meja membutuhkan wadah baru untuk melakukan pembinaan, para petinggi PTMSI malah berselisih sampai akhirnya muncul dualisme kepengurusan.

Atlet-atlet tenis meja Indonesia akhirnya menjadi korban, salah satunya M. Zahru Nifular yang dipersiapkan untuk mengikuti SEA Games 2019. Zahru menilai kisruh itu membuat PTMSI lupa akan pentingnya pencarian bakat untuk regenerasi atlet.

Ia mengatakan: “Harusnya tiap generasi itu ada, jadi Indonesia nggak mati tenis mejanya. Cuma yang jadi kendala, ya, kepengurusan yang sekarang. Coba kalau kepengurusannya satu, itu bisa bagus banget.”

Baca juga artikel terkait PERUSAHAAN ROKOK atau tulisan lainnya dari Renalto Setiawan

tirto.id - Olahraga
Penulis: Renalto Setiawan
Editor: Irfan Teguh
-->